Oligarki ibarat duri dalam daging. Ia menjadi salah satu sumber mala dalam sistem politik pemerintahan kita. Ketimpangan ekonomi, korupsi, represifitas aparatur negara kepada masyarakat sipil, dan lainnya, merupakan permasalahan yang dimunculkan olehnya.
Vedi Hadiz dan Robison, dalam The Political Economy of Oligarchy and Reorganizing of Power in Indonesia (2013), menjelaskan oligarki sebagai suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan kewenangan pada segelintir orang atau elit. Dalam konteks Indonesia, ia muncul sejak berakhirnya rezim otoriter Orde Baru karena hubungan negara dengan para elit-elit tersebut.
Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, jejaring oligarki ini kelihatannya semakin menguat dan tentu sangat memengaruhi arah demokrasi kita. Maka tak perlu heran, jika sistem demokrasi negri ini cenderung stagnan, dan hanya bersifat prosedural. Para oligarkh warisan Orde Baru yang dianggap telah banyak menduduki lembaga DPR ini, telah “membajak” sistem politik demokrasi negara melalui serangkaian kebijakan-kebijakan yang dibuat, seperti RUU KPK.
Alasan di balik perlemahan KPK menurut saya, tak lain hanya untuk membuat para oligarki ini mampu bergerak bebas dan leluasa untuk mengeruk kekayaan negara di era pemerintahan Jokowi-Maruf kedepannya. Para oligarki mungkin merasa kesulitan, jika KPK terus eksis dengan kewenangannya yang cukup besar, yang tak dapat diintervensi oleh siapa pun, serta dapat menangani lembaga tinggi negara seperti legislatif, yudikatif, dan eksekutif (dapat dilihat pada UU No. 30 tahun 2002 pasal 12).
Berbagai serangan pun dilancarkan kepada lembaga antirasuah tersebut, seperti tudingan tak berdasar bahwa KPK telah disusupi kelompok “radikal” Taliban. Banyak masyarakat kita yang termakan isu receh ini, membuat mereka bingung dan akhirnya membuahkan berbagai kubu yang saling berseteru.
Padahal, seandainya KPK memang telah disusupi kelompok Taliban, apakah harus dengan melakukan revisi UU KPK dan memilih para calon pemimpin dengan rekam jejak yang tak jelas atau bahkan sangat buruk? Tentu saja, tidak.
Maka isu tentang KPK yang disusupi oleh kelompok Taliban ini hanyalah propaganda belaka untuk membuat masyarakat meragukan KPK dan membuatnya semakin lemah. Edward Bernays, dalam bukunya Propaganda (1928), mengatakan bahwa propaganda merupakan suatu usaha terorganisasi untuk menyebarluaskan suatu kepercayaan atau opini pada masyarakat dalam mencapai suatu tujuan. Sedangkan propaganda baru (new propaganda) merupakan suatu yang tersebar lebih kompleks lagi, lebih kuat lagi, terutama di abad informasi ini.
Selain perihal KPK yang berusaha dikubur hidup-hidup oleh para elit-elit politik dan oligarki, serangkaian kebijakan yang dibuat jauh dari keberpihakan pada masyarakat sipil, di antaranya RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan yang tak berpihak pada kaum pekerja, RUU PKS, dan Revisi KHUP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang paling banyak disoroti oleh masyarakat.
RKHUP ini meliputi tentang pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat. Jika pada era pemerintahan Gus Dur keran kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat dibuka selebar-lebarnya, salah satunya dengan membubarkan Departemen Penerangan. Sedangkan, pada masa pemerintahan Jokowi, yang terjadi justru sebaliknya, dengan membatasinya melalui pasal karet yang mengatur tentang “Makar”.
Tak hanya persoalan makar, RKHUP ini pun meliputi ancaman pidana terhadap pasangan yang tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan, larangan seorang perempuan keluyuran malam, krminalisasi korban pemerkosaan jika tak memiliki bukti, dan yang paling konyol, perihal tindak pidana kepada kaum gelandangan dengan denda sebesar satu juta rupiah. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, sudah jadi gelandangan didenda juga. Kenyataan terakhir ini, jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945 pada pasal 34 ayat (1), dimana fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Karena itu, tak mengejutkan jika serangkaian RUU yang dibuat oleh DPR yang dianggap sangat menguntungkan para oligarki, tidaklah sepi dari kritikan. Berbagai elemen masyarakat, seperti aktivis mahasiswa, dosen, intelektual, pejuang lingkungan, buruh, dan lainnya, menolak pengesahan serangkaiang RUU tersebut.
Sebagian besar masyarakat sipil yang menolak pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran pada Senin siang (23/9/19) sampai Selasa malam (24/9/19) di berbagai wilayah. Dan lagi-lagi, mereka harus menghadapi represifitas aparatur negara, hingga memakan puluhan korban luka-luka dan dua orang pejuang demokrasi tewas ditembak aparat.
Melalui serangkaian RUU yang dibuat itu, membuat pemerintahan Jokowi menciderai prinsip-prinsip demokrasi yang selama ini diperjuangkan, dan cenderung membawa negri ini pada wajah yang lebih konservatif seperti pada era Orde Baru.
Jika pada zaman Orde Baru kekuasaan terpusat pada satu sosok pemimpin, Soeharto, yang tidak tunduk pada mekanisme apa pun. Dalam istilah Giorgio Agamben, seorang pemikir Italia ternama, hal itu disebut sebagai kekuasaan-berdaulat (the sovereign power), kekuasaan yang tidak tertandingi kekuatan apa pun karena menempatkan diri sebagai representasi tunggal dari seluruh rakyat.
Sedangkan pada masa pemerintahan Jokowi, kekuasaan-berdaulat itu sebagian besar terpusat pada kaum oligarki sisa-sisa Orde Baru. Kekuasaan dalam pemerintahan Presiden Jokowi merupakan kekuasaan yang terjerat oligarki berkedok nasionalis. Para oligarki ini bak Napoleon dalam novel Animal Farm karya George Orwel, yakni seekor babi yang culas dan menindas.
Dengan demikian, yang kelak harus dilakukan pemerintahan Jokowi, salah satunya adalah membekuk gerak para oligarkh. Jangan sampai termakan jebakan para oligarkh jika tak ingin negara ini mengalami kehancuran. Negeri ini terlalu lama menderita karena ulah para oligarkh.
Wallahu a’lam.