Jokowi bukan islam, ia bukan sebuah agama atau keyakinan, Jokowi adalah seorang penganut dari ajaran Nabi Muhammad yang kita sebut islam. Maka siapapun yang berkata bahwa Jokowi adalah islam, maka ada baiknya orang itu bertobat dan berpikir kembali. Jokowi bukanlah agama, dia manusia biasa yang mungkin tidak lebih baik daripada saya.
Beberapa waktu lalu Jokowi mengaku jika ia bukan bagian dari islam yang mengkafirkan sesamanya. Saya lantas baru tahu jika ia Islam. Selama ini saya tak pernah peduli dengan keyakinan seseorang. Bagi saya agama adalah hal yang tak perlu dipamer pamerkan.Agama adalah apa yang saya yakini sebagai sebuah kebenaran dan menjalaninya sebagai tuntunan hidup.
Saya terpukau dengan kata kata Jokowi yang mengaku bahwa ia tidak ingin mengkafirkan sesama, apalagi menyakiti sesamanya. Ia juga mengatakan bahwa dirinya bukan bagian dari segelintir Islam yang menutupi perampokan hartanya, menutupi pedang berlumuran darah dengan gamis dan sorban. Ia bukan pula bagian dari Islam yang membawa ayat-ayat Tuhan untuk menipu rakyat.
:Saya bukan bagian dari Islam yang menindas agama lain. Saya bukan bagian dari Islam yang arogan dan menghunus pedang ditangan dan dimulut,” katanya. Ia barangkali mengenal hadis Nabi yang berbunyi la dlarara wa la dlirara fil Islam, bahwa dalam Islam, tidak boleh mencelakai diri sendiri dan tidak boleh mencelakakan orang lain. Ia membawa lagi nafas islam yang rahmatan lil’alamin.
Saya percaya bahwa Jokowi bukanlah Islam. Islam lebih dari itu. Islam adalah kedamaian, seperti juga kata dasar salam yang artinya damai. Menganggap Jokowi sama dengan islam adalah sebuah kenaifan, jika tidak kefasikan. Jokowi hanya mahluk, bukan pula nabi yang membawa ajaran baru. Menyematkan islam pada Jokowi, bagi saya adalah kekerdilan. Saya amat keberatan ajaran dan keyakinan saya disematkan kepada Jokowi.
Beberapa waktu lalu ibu saya, yang seorang simpatisan partai islam, bertanya. Apakah benar jika Jokowi itu keturunan cina? Apakah benar dia itu sebenarnya kristen? Menarik bagaimana berita berita semacam ini bisa sampai di pelosok desa jawa timur yang susah Internet. Tapi bukan itu poin saya, Ibu saya adalah perempuan kelas pekerja yang menerima ajaran islam hanya dari guru ngaji dan televisi di pagi hari. Bagi dia kebenaran tentang islam adalah apa yang disampaikan ustad di pengajian dan mama Dedeh di pagi hari.
Saya berusaha untuk tidak menghina atau merendahkan posisi para pemuka agama yang demikian. Mereka berjasa dalam menyebarkan islam sebagai agama yang sederhana dan mudah dicerna. Tapi saat agama masuk ke dalam ranah politik dengan menjelek-jelekkan seseorang, di sini keberatan saya mulai muncul. Bagaimana mungkin Islam sebagai agama yang damai dan rahmatan lil’alamin digunakan sebagai kampanye kebencian? Lebih dari itu mengkafirkan seseorang yang bahkan tidak kita kenal, hanya karena ia tidak menunjukan identitasnya sebagai muslim.
Abdul Qadir Audah, seorang pemikir islam asal Mesir, pernah berkata bahwa tentang problem umat Islam hari ini adalah “Al-Islam baina Jahli Abnaihi wa ‘Ajzi Ulama’ihi”, Islam berada di antara kebodohan umat nya dan ketidakmampuan ulamanya. Saya percaya ibu saya tidak bodoh, sebagaimana kita hormat kepada guru guru yang kita anggap mulia, kadang kadang kita lupa untuk memfilter mana yang ajaran agama dan mana yang opini pribadi.
Nurcholish Madjid pernah berkata bahwa umat muslim Indonesia sekarang ini mengalami kejumudan dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam. Hal ini ia sampaikan lebih dari empat puluh tahun yang lalu dan masih relevan hingga hari ini. Pilpress 2014 membawa kita kepada polemik dangkal, siapa yang paling islam dari calon yang ada. Tapi kita lupa untuk bertanya dan berpikir kembali, siapa yang tindakannya paling islam dari calon calon yang ada.
Keimanan seharusnya adalah hal yang intim dan sunyi. Ia bukanlah petasan yang mesti bising dan ramai. Keimanan bukan pula kembang api yang penuh warna tapi hanya sesaat. Iman bukan pula balon yang besar tapi isinya kosong. Iman semestinya sederhana. Ia tidak perlu ditunjukan dan tak perlu dibesar besarkan. Iman yang dipertontonkan hanya akan berakhir menjadi riya’, sebuah kesia-siaan yang tidak perlu.
Saya mendukung pernyataan bahwa Jokowi bukan islam. Karena islam tidak mengajarkan umatnya untuk pamer dalam beribadah. Mereka yang berusaha kerasa menunjukan identitas keyakinannya sebenarnya tengah malu dan tidak yakin. Sikap riya’ dalam ibadah merupakan awal sikap ghuluw. Ghuluw adalah sikap melampaui batas kebenaran. Sesuatu yang berlebih-lebihan pasti akan keluar dari jalan yang lurus. Ibn Hajar mengatakan: “Ghuluw adalah berlebih-lebihan terhadap sesuatu dan menekan hingga melampau batas.”
Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena sikap berlebihan dalam agama, demikian kata Imam Ahmad. Maka sekali lagi saya katakan, Jokowi bukanlah Islam. Jokowi adalah seorang manusia yang kebetulan memeluk agama islam dan ajaran Nabi Muhammad. Ia tidak perlu membuktikan keislamannya hanya agar diterima oleh orang yang imannya lemah. Ingatkah kita kepada kaum Musa yang memaksa meminta ditunjukan wajah Allah, namun mereka tetap berpaling? Maka yang demikian sebenarnya sedang terulang.
Saya percaya Jokowi bukan islam. Saya katakan ini kepada ibu saya secara langsung. Bahwa Jokowi bukan islam, tidak juga saya dan tidak juga beliau. Islam lebih daripada sekedar siapa yang sedang menjadi calon presiden, atau siapa yang sholatnya lebih benar. Islam adalah tentang menjadi orang yang bermanfaat bagi sesamanya. Seperti yang Kanjeng Rasul sampaikan dalam kotbah di haji Wada’.
“Ketahuilah bahwa setiap Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya dan seluruh kaum Muslimin itu bersaudara. Oleh sebab itulah, tidak halal baginya mengambil sesuatu dari saudaranya kecuali bila ia menyetujuinya. Janganlah kalian suka menzalimi diri kalian.”
Dalam kesempatan berbeda Imam Ali bin Abi Thalib, pintu kota ilmu pengetahuan yang mulia, mengatakan kekafiran berdiri pada empat topangan: mengumbar hawa nafsu, saling bertengkar, menyeleweng dari kebenaran, dan perpecahan. Maka barangsiapa mengumbar hawa nafsu, ia tidak cenderung kepada yang benar; barangsiapa banyak bertengkar dalam kejahilan akan selalu buta terhadap yang benar; barangsiapa menyeleweng dari kebenaran, baginya baik menjadi buruk dan buruk menjadi baik dan ia tetap mabuk dengan kesesatan; dan barangsiapa membuat perpecahan (dengan Allah dan Rasul-Nya), jalannya menjadi sulit, urusannya menjadi rumit dan jalan lepasnya menjadi sempit.
Sesungguhnya islam itu tidak pernah rumit. Menjadi rumit ketika kita menganggap bahwa satu manusia bernama Jokowi adalah representasi dari Islam. Bahwa ia adalah seorang calon presiden atau presiden sekalipun, tidak bijak menyematkan satu ajaran kepadanya. Demikian pula jika ia seorang muslim, tidak patut seseorang meminta atau bahkan memerintahkan Jokowi untuk menunjukan keislamannya.
Bukankah kita pernah mendengar tentang seorang sahabat yang demikian cinta kepada agama lantas melupakan kemanusiaannya? Sang sahabat ini berkata di depan Nabi bahwa dia rajin shalat malam tanpa jeda, melakukan ibadah puasa setiap hari dan siap tidak menikah untuk memuliakan Allah. Rasulullah melarang sikap yang demikian. Beliau ingin umat muslim melaksanakan apa yang telah diperintahkan syariat. Islam terlalu mulia untuk kemudian dimainkan sebagai isu kebencian.
Rashid Ridla, seorang pemikir modernis, mengatakan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan longgar, bukan agama yang sulit dan sempit. Memulai kebencian atas nama agama, apalagi kemudian mengkafirkan orang yang nyata-nyata islam adalah kekafiran itu sendiri. Saya tak wajib menunjukan keimanan saya kepada anda, sebagaimana anda tak harus menjadi islam di depan saya.
Keimanan adalah hal yang paling pribadi dan paling intim. Relasi mahluk kepada tuhannya. Tentu jadi sangat aneh jika kemudian seseorang memaksakan kepada orang lain agar menunjukan keimanannya. Saya memohon kepada Jokowi agar tidak mengaku Islam. Karena islam lebih daripada ia. Islam yang saya kenal adalah ajaran kanjeng Nabi Muhammad yang santun dan tulus. Ia tidak menyebarkan kebencian apalagi hobi menyesatkan sesamanya.
Jika memang anda tak percaya Jokowi bukan muslim, baiknya minta saja ia bersyahadat. Sesederhana itu. Namun jika anda masih ragu atas keislaman seseorang setelah mendengar syahadat, anda boleh membaca lagi kitab Al-Islam wa al-Nashraniyyah karya Muhammad Abduh. Abduh berpendapat bahwa apabila seorang muslim menyatakan satu pendapat yang kalau dilihat dari seratus sisi tampak kufur, tapi ada satu sisi saja yang terlihat masih dalam iman, maka orang tersebut tidak bisa dicap sebagai kafir.
Dan tolong, sekali lagi, saya mohon. Jokowi bukan Islam. Islam lebih daripada semua yang anda pikirkan untuk kekuasaan.