Dua kali saya pernah diimami shalat oleh Ustadz dari Banyumas, beliau menyebut ‘Alamin itu jadi Ngalamin, atau ‘Ain (ع) jadi (Ngain), contoh Alhamdulillahi Rabbil Ngaalamiin. Apakah itu salah?
Boleh jadi secara ilmu tajwid itu salah, boleh jadi secara Fiqh juga salah, dalam Fiqh lidah orang tersebut disebut (Lahn) kesalahan. Sebenarnya ‘ain jadi (ngain) itu adalah Lughatu Qaumin, itu sudah paten mungkin sangat sulit untuk diubah, ada juga al-Fatihah jadi al-Fatekah.
Kalau Lahn (kesalahan) biasanya orang tidak bisa membedakan panjang pendeknya tanda baca dalam al-Qur’an, rata-rata persoalan Mad (hukum memperpanjang bacaan), kadang lisan yang Lahn itu sering kali salah dan ia membaca dengan pendek saja.
Berbeda dengan ini, yang sesuai dengan logat bahasa orang Jawa yang mungkin generasi lama orang Jawa yang tidak pernah mondok bisa jadi masih susah untuk melafalkan Makharij al-Huruf sesuai Lughatul ‘Arab.
Al-Fatekah Pak Jokowi saya kira tidak ada masalah, karena itu hanya nama Surat saja. Adapun pembacaannya saya kira Pak Jokowi tak begitu salah, tidak mengatakan ‘Ain dadi Ngain dan lain sebagainya. Al-Fatekah (Alfatihah) itu sudah kebiasaan orang Jawa mengatakan seperti itu.
Apakah saya harus menghakimi Imam Shalat itu? Apakah saya juga harus menghakimi pelafalan Pak Jokowi?
Yaa, ndak bisa dong. Bisa jadi antara keduanya ini (Imam Shalat dan Pak Jokowi) membaca al-Fatekah dengan ikhlas, sehingga Allah lebih suka orang yang ikhlas dari pada orang yang banyak mengatur tapi gak Riya dengan ilmunya. Saya kira fine-fine aja, gak masalah.