“I’m not perfect, but can be perfect with your perfection”. Aku tidaklah sempurna, namun bisa menjadi sempurna dengan kesempurnaanmu.
Kesempurnaan, tak jarang menjadi candu manusia. Seluruh tenaga dikerahkan demi memperoleh predikat tersebut. Kata sempurna kadang dengan seenaknya merasuki hidup. “Sempurna..!” demikian deskripsi level tertinggi dari hasil upaya tertentu. Kesempurnaan juga acapkali disebut saat membahas cinta. Ya, cinta memiliki kekuatan magis yang bisa membuat sesuatu menjadi sempurna.
Banyak orang dewasa menghindari pembahasan tentang cinta. Menurut mereka, cinta hanyalah omong kosong, tak penting untuk dibahas, serta representasi kecengengan dalam memahami hidup. Padahal, tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa hidup tanpa cinta. Cinta membuat hidup menjadi sempurna. Saat kita kehilangan cinta, ada sesuatu yang kosong, membuat kita pincang dan tidak stabil, yang artinya tak lagi sempurna.
Sebegitu pentingnya peran cinta dalam hidup, sampai-sampai di antara 365 hari dalam satu tahun, ada satu hari yang dirasa layak untuk dirayakan sebagai hari kasih sayang, valentine day, saban 14 Februari. Bagi dua sejoli yang merayakan, hari valentine menjadi pelengkap sempurnanya hubungan cinta mereka. Bagi yang masih menjomblo, hari valentine menjadi momen untuk mencurahkan cinta dengan keluarga atau sahabat.
Cinta itu universal. Ia adalah perasaan unik yang diciptakan Tuhan, tidak hanya untuk menyatukan manusia namun juga mengaitkan batin seorang hamba yang sering kali berkelana jauh, agar kembali mendekat kepada-Nya. Pikirkan saja, kita lahir karena cinta, dibesarkan dengan cinta oleh keluarga, sukses belajar sesuatu atas dasar cinta, dewasa bersama cinta, sampai akhirnya meninggal karena cinta. Bukankah kematian merupakan fase kembali menghadap Tuhan, perwujudan cinta Tuhan?
Lantas, bagaimana menyandingkan cinta dengan kesempurnaan? Bukankah di dunia ini tak ada yang sempurna? Bukankah kesempurnaan hanya milik Allah semata? Kesempurnaan karena cinta, apakah itu ada?
Saya mencermati sejumlah hubungan dua insan. Santer terdengar kalimat : Jangan mencari pria/wanita yang sempurna untuk jadi jodohmu, sebab tak ada manusia yang sempurna. Masih banyak yang terjebak dengan perkara ini dan menunda pernikahannya karena menunggu atau mencari sosok yang sempurna.
Padahal ia tahu bahwa sejauh apa pun mencari, tak akan ada manusia tanpa cela. Pada akhirnya, setelah ia berkelana dan mendapatkan sosok yang dicintai, ia pasti akan mati-matian bilang bahwa jodohnya ini sempurna di matanya. Ia akan tetap mengungkapkan kesempurnaan itu, seberapa kuat orang lain mengungkapkan dalih tak ada yang sempurna. Begitulah, si sempurna selalu gemar bermain paradoks dengan manusia.
Salahkah kita menggunakan kata sempurna sebagai takaran atau ukuran? Dalam kondisi bagaimana sesuatu dapat dikatakan sempurna? Sempurna dalam kaca mata saya (dan mungkin bagi sebagian orang) adalah saat bisa mencapai sesuatu yang ideal bagi kita, dan ini relatif. Makanya tingkat kesempurnaan bagi tiap orang berbeda-beda.
Ada sebagian orang yang hidupnya merasa sempurna jika berjodohkan sosok kaya dan pintar, ada pula yang merasa sempurna jika berjodohkan sosok yang saleh meski tidak kaya dan pintar. Sebagian orang merasa hidupnya sempurna jika sudah bersama keluarga satu atap, sebagian lagi merasa sempurna jika mampu mengumpulkan banyak uang meski tidak tinggal satu atap. Kadar ideal kesempurnaan manusia tergantung pada orientasi hidupnya, apa yang ingin dikejar dan dicapai di dunia.
Lalu, apakah kesempurnaan versi manusia sama dengan kesempurnaan milik Tuhan? Tentu saja tidak! Bahkan dugaan menyamakannya pun sudah keliru, sebab sama saja kita menyamakan-Nya dengan makhluk. Kesempurnaan manusia itu relatif, dan untuk mencapai derajat sempurna, manusia membutuhkan orang atau bantuan lainnya.
Seperti kisah cinta dua insan, mereka akan merasa sempurna saat bertemu dengan pasangan yang ideal menurut kadar mereka. Dalam hal ini, manusia sebetulnya menyadari ketidaksempurnaannya, sehingga membutuhkan orang lain untuk menutupi kekurangannya itu agar menjadi sempurna. Ketika mereka bersatu, muncul defisini kesempurnaan versi mereka, yang mungkin berbeda di mata orang lain.
Di titik inilah kita menyadai bahwa kesempurnaan Tuhan itu mutlak. Adalah sebuah keniscayaan bahwa Tuhan sudah sempurna sejak awal. Tuhan tak perlu bantuan orang lain untuk menjadi sempurna. Tidak ada pula kadar tertentu yang membuat Tuhan berada di level sempurna. Kadar dan level hanya muncul akibat perbandingan, sedang Tuhan itu tak ada bandingnya.
Maka itu, jika Anda sudah mulai kecanduan dengan kesempurnaan, sebaiknya Anda perlu meredefinisi kata sempurna itu dalam hidup ini, dengan menyadari bahwa tidak ada manusia yang luput dari kekurangan. Setiap manusia dianugerahi kelebihan dan kekurangan secara seimbang oleh Tuhan yang Maha Sempurna. Manusia sudah diciptakan berpasang-pasangan untuk saling menyempurnakan.
*selengkapnya, klik di sini