Jimat Perang atawa Bekal Keberanian Menghadapi Risiko

Jimat Perang atawa Bekal Keberanian Menghadapi Risiko

Jimat Perang atawa Bekal Keberanian Menghadapi Risiko

sp;[:id]Belum banyak yang mengungkap. Bahwa peristiwa heroik 10 November yang kemudian kita peringati sebagai Hari Pahlawan, selain didahului oleh berkumpulnya wakil-wakil dari cabang NU se-Jawa dan Madura di Surabaya, juga didahului jimat perang tulisan Ki Ageng Suryomentaram yang dipidatokan Bung Karno di RRI.

Ya, tidak lama setelah pidato Bung Karno di RRI yang mengutip intisari jimat perang Ki Ageng, tanggal 21-22 Oktober 1945 dengan dipimpin langsung oleh Rois Akbar NU Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, dideklarasikan bahwa perang kemerdekaan merupakan perang suci alias jihad. Belakangan deklarasi ini populer dengan istilah Resolusi Jihad. Adapun uraian singkat jimat perang Ki Ageng adalah sebagai berikut.

Kemuliaan sebuah bangsa atau negara menurut Ki Ageng adalah ketika warganya berani mati untuk berperang. Sebaliknya, jika warga negara tak punya keberanian untuk mati dalam berperang maka hinalah negara atau bangsa tersebut.

Raos wantun pejah utawi pejah perang, punika ugi dados dhedhasaring gesang sakeca kangge tiyang satunggal-satunggal. Jalaran tiyang punika yen wantun pejah, gesangipun

kraos sakeca. Kosok wangsulipun, yen tiyang punika ajrih pejah, gesangipun boten kraos sakeca, rewel. Utawi jagad saisinipun lan lelampahan sedaya, punika sarwa boten kaleresan.

Dalam konteks kekinian, kata berani mati untuk berperang dalam paragraf kunci jimat perang Ki Ageng di atas dapat diartikan dengan kesiapan menghadapi risiko. Sehingga dapat diterjemahkan dengan bebas bahwa kesiapan menghadapi risiko merupakan landasan hidup nyaman yang sebenarnya bagi setiap orang.

Dengan demikian maka hanya orang yang berani menghadapi risikolah yang bisa benar-benar merasakan nyamannya hidup. Sebaliknya, jika orang tidak memiliki keberanian menghadapi risiko dalam hidupnya, ia tidak akan dapat hidup dengan nyaman dan akan selalu rewel, terus menerus berkeluh kesah. Bagi orang yang tak berani menghadapi risiko dalam hidupnya, semesta dan segala peristiwa yang terjadi semuanya dipersalahkan.

Sebab di balik ketidakberanian menghadapi risiko

Yang menyebabkan orang tidak berani menghadapi risiko di dalam hidupnya, menurut Ki Ageng ada dua macam. Pertama adalah penyebab dari luar diri dan yang kedua adalah penyebab yang berada di dalam diri.

Penyebab dari luar diri adalah pengaruh dari proses pembelajaran yang tidak tepat, atau orang yang bersangkutan meniru-niru tindakan orang yang dianggapnya nyaman karena dorongan rasa malasnya untuk bisa berubah menjadi lebih baik (nglokro).

Ki Ageng mencontohkan di masa penjajahan Belanda. Pihak penjajah tentu berusaha memberikan pemahaman agar orang-orang pribumi tidak memiliki keberanian untuk memerdekakan diri. Dan para pribumi yang terjajah tidak menyadari bahwa mereka tengah dikondisikan sedemikian rupa, sehingga mereka pun santai-santai saja meskipun hidup tidak dalam kemerdekaan.

Penyebab dari dalam yang membuat orang tak berani menghadapi risiko adalah karena adanya rasa mapan (comfort zone?) di dalam diri yang disebut oleh Ki Ageng sebagai raos mukti. Raos mukti adalah rasa terlena oleh hidup (raos kerem dhateng gesang), yaitu merasa bahwa hidup sungguh menggembirakan dan mati itu sangat tidak menyenangkan.

Sanajan tiyang punika saben dinten sambatipun mboten sakeca, nanging meksa taksih ajrih pejah. Raos mukti punika raos boten tanggungjawab dhateng gesangipun. Raos mukti punika boten dupeh mlarat utawi sugih kawontenanipun. Malah kere ngemis punika kebak raos mukti lan raos tanggungjawab boten wonten, inggih punika raos tanggungjawab dhateng raja darbekipun, lah tiyang boten gadhah.

(Walaupun sepanjang hari orang mengeluh bahwa hidupnya tidak menyenangkan, tetap saja ia takut mati. Raos mukti adalah rasa tak bertanggungjawab terhadap hidupnya. Raos mukti tidak bergantung pada miskin atau kaya keberadaannya. Bahkan gelandangan yang mengemis hidupnya dipenuhi oleh raos mukti, dan samasekali tidak bertanggungjawab. Yaitu tak memiliki tanggungjawab terhadap harta karena merasa tak punya apa-apa.)

Tiyang sugih ingkang bingung anggenipun nyimpen bandhanipun, jalaran ajrih bok bilih ical, punika mukti, boten tanggungjawab dhateng awakipun piyambak utawi sadaya darbekipun. Tegesipun sampun boten pitados dhateng awakipun piyambak.

(Orang kaya yang kerepotan menyimpan harta bendanya karena takut akan hilang, juga karena raos mukti. Sehingga ia tidak memiliki tanggung jawab terhadap diri dan harta bendanya. Artinya sudah tak memiliki kepercayaan terhadap dirinya sendiri.)

Raos wantun pejah yen wonten ing jaman perang murugaken kendel perang, lan yen wonten jaman tentrem murugaken lairing kabudayan ingkang adiluhung, kadosta: Borobudur. Tiyang ajrih perang boten saged damel arupi Borobudur sanajan gadhah yatra, inggih namung kangge mraboti kamuktenipun.

(Rasa berani mati dalam keadaan perang akan melahirkan semangat pantang menyerah. Sedangkan di masa damai, ia akan melahirkan kebudayaan adiluhung sebagaimana Candi Borobudur. Orang yang takut menghadapi risiko tidak akan mungkin dapat melahirkan bangunan semegah Candi Borobudur walaupun hartanya berlimpah. Karena harta bendanya akan digunakan untuk memelihara rasa mukti-nya.

Kosok wangsulipun raos ajrih pejah yen wonten ing jaman perang murugaken licik, yen wonten ing jaman tentrem murugaken lairing kabudayan ingkang kosok wangsulipun, utawi kosok wangsuling kabudayan. Tembung ingkang kangge ngemot kosok wangsuling kabudayan punika kula dereng manggih. Mila rebat cekap, inggih dipun wastani kabudayan kemawon. Lah yen dipun wastani dede kabudayan sakit manahipun la rupinipun kados kabudayan.

(Sebaliknya, rasa takut mati dalam suasana perang akan melahirkan kelicikan. Sedangkan di masa damai akan melahirkan budaya pecundang. Yaitu yang merupakan kebalikan dari budaya adiluhung. Kata yang dapat memuat arti sebaliknya dari kata kebudayaan ini belum saya temukan, karenanya untuk menyingkat kalimat, ya sebut saja ia sebagai kebudayaan juga. Karena kalau disebut sebagai bukan kebudayaan, para pelakunya akan sakit hati, karena prilaku orang-orang yang tidak berani menghadapi risiko juga melahirkan semacam kebudayaan.)

Wallaahu a’lamu bishshawaab.

NB: Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan INFID