Jilbabisasi Balita, Perlu atau Tidak?

Jilbabisasi Balita, Perlu atau Tidak?

Bagaimana kita bersikap terhadap balita yang dipakai jilbab?

Jilbabisasi Balita, Perlu atau Tidak?

Jika Anda perhatikan foto-foto keluarga yang merayakan Lebaran tahun ini, baik foto keluarga inti atau keluarga besar, akan mudah didapati hadirnya sosok balita perempuan yang berpakaian tertutup mengenakan jilbab tak terkecuali bayi perempuan. Bahkan di beberapa keluarga tak hanya berjilbab tapi balita perempuan yang mengenakan pakain hitam menutupi sekujur tubuh (abayah) dengan kerudung yang juga lebih panjang (hijab) menutupi hampir separuh badannya. Dengan begitu anak ini telah memakai hijabnya sebagai lapisan ketiga setelah abayahnya dan pakaian dalamnya. Di bagian dalam, biasanya mereka dipakaikan celana panjang dengan tujuan untuk menutupi auratnya.

Di masa bayi, jika lahir di puskesmas atau RSB, para perawat, bidan, atau dokter akan menasihati agar setiap pagi bayi mereka dijemur matahari. Gunanya agar bayi tak kuning akibat bilirubin tinggi. Sinar matahari sebagai sumber vitamin D sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia terutama di masa pertumbuhan (balita). Vitamin D dari sinar matahari sulit untuk disubtitusikan dengan vitamin pengganti dalam bentuk obat. Lagi pula itu adalah anugerah Tuhan yang diperoleh secara gratis.

Dengan memakai pakain tertututup dan berlapis – lapis bagaimana balita kita akan mendapatkan sinar matahari. Arsitektur rumah Indonesia, apalagi di daerah padat penduduk tak selalu memungkikan matahari bisa menerobos ke bagian dalam atau halaman belakang rumah. Ini berbeda dengan arsiektur rumah- rumah Timur Tengah yang memiliki ruang keluarga tempat para perempuan sehari har berkumpul tanpa harus menggunakan hijabnya.

Lagi pula, jika kita perhatikan anak-anak perempuan dari keluarga-keluarga di Timur Tengah (jika itu menjadi patokan cara berpakaian) tak memakai baju abayah sampai mereka dianggap telah remaja (setelah mensutrasi).

Cara berpaian tertutup rapat kita tahu sumbernya karena dilandasi keyakinan. Jika basisnya keyakinan maka tentu kita harus mengacu kepada pandangan keagamaan. Dalam agama (fiqh) soal aurat dan karenanya diyakini membentuk cara berpaian hanya berlaku jika perempuan telah mumayyiz (dewasa- telah tiba kepadanya kewajiban untuk menjalankan ibadah), tapi tidak bagi anak-anak, apalagi balita.
Jika demikian, mengapa orang tua Muslim di Indonesia begitu tergila-gila pada pakain yang menutupi anak-anak perempuan balita mereka.

Padahal pakaian yang sedemikian rupa menutupi badan balita kita, mereka juga akan mengalami hambatan untuk bergerak bebas. Padahal usia lima tahun ke bawah adalah usia pertumbuhan otak yang dipicu oleh gerak motoriknya.

Jika basisnya keyakinan agama (fiqh), mengapa hijab telah dikenakan kepada balita sementara agamapun belum mewajibkannya. Banyak orang tua yang menyatakan bahwa mereka sedang mendisiplinkan anaknya/ cucunya. Tapi bukankah pendisipinan membutuhkan pengetahuan dan kesadaran sang subyek, sebab tanpa itu pendisiplinan hanya akan menjadi indoktrinasi yang menjadikan mereka bagai kambing dicocok hidung.

Saya melihat ini persoalan serius. Pihak kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama harus terbuka dan berani menyatakan sikap mereka bahwa ini membahayakan masa depan balita kita.

Kementerian Kesehatan harus melakukan pendidikan yang mengajarkan apa dampak kekurangan vitamin D bagi tumbuh manusia jika sejak bayi kurang terkena sinar matahari terutama matahari pagi. Orang tua harus memiliki pengetahuan cukup tentang manfaat sinar matahari bagi anak dan apa dampaknya jika perempuan kekuarangan sinar matahari terutama untuk kesehatan reproduksinya. Kementerian kesehatan harus memberi pengetahuan apa dampkanya bagi anak-anak jika karena pakaiannya mereka kurang mendapatkan bergerak secara motorik.

Agama memang untuk orang yang berakal dan menggunakan akalnya. ‘Afala taqilun’ Apakah kalian tidak berpikir, tanya Tuhan di sejumlah AyatNya.