Jilbab, Puber Agama dan Perubahan Kita

Jilbab, Puber Agama dan Perubahan Kita

Jilbab, Puber Agama dan Perubahan Kita

Kamu sekarang enak. Mau jilbab model apa, ada. Saya pakai jilbab sejak 1986. Harus beli sendiri bahan meteran, lalu cari penjahit untuk neci. Atau benang di ujung kainnya dilepas-lepas searah, sampai tepian jilbab riwis-riwis. Begitu saja. Pakainya pun beda gaya. Tidak seluwes sekarang kita. Entah kenapa dulu jilbab kami hampir membentuk kotak di dahi.

Baju muslim? Jangan tanya. Istilahnya pun belum ada. Baju ya baju saja. Baju wanita atau kemeja/baju pria. Baju anak-anak, baju dewasa. Tidak ada embel-embel agama.

Waktu saya pertama berjilbab itu, tidak ada satupun yang memuji “subhanalloh cantik sekali”. Atau mendoakan “semoga istiqomah” “alhamdulillah ya, dapat hidayah”. Nehi. Yang ada, kalau naik angkot atau Kopaja abangnya suka becanda separuh menghina “salamualaikum bu haji. Sendalnya dipake aja bu haji”. Malesin amat si abang.

Saya pakai jilbab sebetulnya juga karena ikut peraturan. Sebagai santri pesantren modern di Bogor, jilbab itu seragam harian. Kalau masuk SMP, tentu ceritanya beda. Waktu itu di luar memang yang berjilbab tidak ada.

Termasuk di pesantren-pesantren tradisional salafi milik Paman saya dan kerabat Bapak lainnya, di Banten. Para santri dan bu Nyai hanya memakai selendang saja. Itu pun tidak selalu. Kadang-kadang saja jika perlu.

Tetapi, lama-lama waktu itu mulai menyelinap di pikiran saya rasa kasihan pada ibu saya, bibi-bibi saya, teman saya, guru saya yang semua tidak berjilbab. Saya mendapat ajaran bahwa pada intinya jilbab itu wajib. Yang tidak menutup aurat itu dosa. Saya sampai suka menangis di pojok musola. Membayangkan orang-orang kesayangan saya masuk neraka. Apakah kamu merasakan hal yang sama.

Di situlah sebetulnya muncul benih rasa lebih benar, yang di luar salah. Baru tahu segitu saya sudah merasa di jalan paling lurus menuju surga. Sedang yang lain nampak menyimpang jalannya. Mungkin ungkapan kekiniannya saat itu, saya ingin “menggandeng” orang lain.

Aduh, apa hak saya mengkhawatirkan mereka? Siapa pula diri ini? Sungguh pandangan yang polos ya? Maklum sedang semangat-semangatnya belajar. Puber agama level dasar.

Singkat cerita, kekhawatiran itu teralihkan dengan berbagai kesibukan santri. Tetapi komitmen pada diri sendiri sesuai tuntutan lingkungan menguat. Rambut ini aurat. Mau tersisir rapih atau awut-awutan itu urusan dalam yang tak boleh nampak karena tabu, malu, dan perintah Quran. Itu doktrinnya.

Kalau ada abang karyawan lewat depan asrama, santri yang buka kerudung pasti sembunyi. Saking nggak mau terlihatnya. Atau bila terlanjur terpergok, menjerit kaget manja, hahaa. Si abangnya ya ketawa saja. “Rapopo. Abang nggak gigit. Kalau abang lihat, apa rambut Eneng bakal meranggas? Woles,” mungkin gitu kata hatinya.

Mengertilah Abang. Bila ajaran aurat sudah terpatri, biar hanya sedikit saja terbuka ya pelanggaran juga. Sekedar terlihat rambut mungkin tidak rugi. Tapi menanggung rasa salah berdosa itu berat di hati. Paham, ya Bang?

Lebih histeris lagi kalau yang lewat itu ustad atau santri putra. Nggak ikhlas banget kayaknya. Sensasi malunya berlipat ganda. “Awww baniin! Ehh, laysal banin, itu Abang-abang” (taunya bukan cowok. Cuma abang-abang). Deuhh, sebelah mata.

Jadi, ini yang saya sayangkan. Saat itu, guru dan kyai pesantren kami tidak cukup memberi perspektif mengapa kaum muslimat di luar, bahkan istri kyai kami sendiri pakai selendang ringan saja, bukan jilbaban. Juga tidak dijabarkan bahwa tafsir tentang jilbab dan aurat itu tidak tunggal, serta harus kontekstual.

Apalagi sampai memberikan opsi moderat, misalkan bahwa: prinsip jilbab itu bukan hal baku. Di Indonesia saja itu baru. Jadi ini pilihan. Yang mau pakai silahkan, yang tidak pakai silahkan. Tidak ada. Bahkan Sampai sekarang di pesantren mana pun tak ada yang moderat begini.

Padahal penyeragaman paham ini menjadi kekakuan yang terus terbawa hingga berpuluh tahun kemudian. Kearifan kain selendang pun akhirnya habis terkikis. Terlebih kemudian mulai era 90an kelompok Tarbiyah dengan kajian Liqo-nya marak di kampus-kampus dan rumah. Makin ke sini, makin menambah jamaah. Pandangan moderat ulama terdahulu tentang aurat akhirnya tergerus sudah…

 

*) Nisa Alwis, lulusan Flinders University, Australia