Beberapa orang terbiasa menilai jilbab atau kerudung sebagai simbol kesalehan perempuan muslimah. Tentu saja hanya sekadar simbol, karena semestinya parameter kesalehan tidaklah ditentukan dari sehelai-dua helai kain di atas kepala.
Allah SWT berfirman:
یَـٰبَنِیۤ ءَادَمَ قَدۡ أَنزَلۡنَا عَلَیۡكُمۡ لِبَاسࣰا یُوَ رِی سَوۡءَ تِكُمۡ وَرِیشࣰاۖ وَلِبَاسُ ٱلتَّقۡوَىٰ ذَ لِكَ خَیۡرࣱۚ ذَ لِكَ مِنۡ ءَایَـٰتِ ٱللَّهِ لَعَلَّهُمۡ یَذَّكَّرُونَ
“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah agar mereka mengingat.” (QS Al-A’raf:26)
Pada suatu hari, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar debu.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim).
Bagi yang berhijab atau laki-laki yang meyakini bahwa perempuan berhijab itu pasti lebih saleh dari yang tidak, mungkin patut bermuhasabah, apakah jilbab yang kita pakai ini bukan menjadi refleksi takwa atau malah menjadi refleksi kesombongan, karena kita meremehkan orang lain yang tidak memakainya?
Setiap kita merasa lebih berhak atas surga daripada perempuan yang tidak menutup aurat, ingatlah Nabi pernah berkisah bahwa ada perempuan tuna susila yang masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Sungguh, bisa jadi kita yang repot-repot menutup aurat sedetail mungkin tidak lebih berhak atas surga dari seorang pelacur, karena kita merasa lebih baik dari pelacur tersebut.
Euforia berhijab di masyarakat kita saat ini menjadi terasa mulai berlebihan dan keluar dari substansinya. Memang, di satu sisi perempuan yang mulai berhijab akan mendatangkan banyak pujian dan dukungan. Tapi ketika perempuan tersebut memutuskan untuk membuka jilbab akan mendatangkan banyak hujatan dan menjadikan banyak orang merasa pantas untuk menghina orang lain.
Dengan menjadi “sok suci” dan menghina orang yang membuka jilbab sudah mencerminkan bahwa kita tidak lebih suci dari orang tersebut. Hal ini terbukti dengan mudahnya kita menyakiti sesama karena alasan yang bukan sama sekali urusan kita.
Terlebih lagi, jika secara esensial kita berhijab atas dasar perintah agama dan kita hidup di negara yang mempraktekkan ajaran agama, maka harusnya kita juga bebas untuk menjalankan atau tidak menjalankannya. Belum lagi ada sebagian ulama yang menganggap bahwa berjilbab bukanlah kewajiban mutlak, tentu kita juga harus menghargainya.
Fenomena ramainya reaksi negatif dari seleb yang memutuskan membuka jilbab menjadi refleksi bahwa kebebasan mempraktikkan ajaran agama di Indonesia masih sebatas ilusi. Perempuan tidak sebebas itu untuk membuka jilbabnya, karena konsekwensinya bisa mendapat hukuman sosial yang berat. Lalu bisakah kita menghormati seseorang perempuan berjilbab setara dengan ketika ia tidak berjilbab?
Apapun keputusan kita dalam berpakaian, kita harus intropeksi diri. Apakah ada kesombongan di hati kita karena pakaian yang kita pakai, ataukah kita ingin terlihat saleh di mata manusia? Apakah kita sudah terbebas dari kesombongan dan berpakaian atas dasar taqwa dan islah sesama manusia?
Kita perlu menengok kembali firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat: 11.
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا یَسۡخَرۡ قَوۡمࣱ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰۤ أَن یَكُونُوا۟ خَیۡرࣰا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَاۤءࣱ مِّن نِّسَاۤءٍ عَسَىٰۤ أَن یَكُنَّ خَیۡرࣰا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلۡأَلۡقَـٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِیمَـٰنِۚ وَمَن لَّمۡ یَتُبۡ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengejek kaum yang lain karena boleh jadi mereka lebih baik dari mereka yang mengejek. dan jangan pula perempuan-perempuan mengejek perempuan lain boleh jadi perempuan yang diejek lebih baik dari perempuan yang mengejek. Janganlah saling mencela satu sama lain dan janganlah memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS Al-Hujurat :11)
Wallahu A’lam.