Setelah mengamati kasus seorang murid perempuan di Bantul yang konon mengalami depresi setelah dipaksa mamakai jilbab di sekolahnya, saya bisa mengerti mengapa orang-orang marah. Namun, saya tidak mengerti mengapa reaksinya adalah “kembalikanlah standar seragam sekolah negeri kayak dulu”. Yang dimaksud “kayak dulu” itu apa dan kapan?
Dari berbagai unggahan di medsos saya menerka bahwa apa yang dimaksud “dulu” adalah era Orde Baru. Pada masa itu, digambarkan di meme yang beredar luas, para perempuan memakai pakaian lengan pendek dan rok selutut, tentu saja tanpa jilbab. Rupanya itulah “standar” ideal yang dibayangkan orang-orang yang cukup pasti berpikiran sekuler itu. Bagi mereka, tampaknya, seragam anak sekolah sekarang–yang berjilbab–adalah sebuah kemunduran dan bahkan kemerosotan.
Tidak perlu berfilsafat serius untuk mengatakan betapa pikiran orang-orang yang ingin mengembalikan standar pakaian anak sekolah negeri ke era Orde Baru itu sebagai anah. Tidak hanya aneh, tetapi juga berbahaya. Mengapa tidak mengusulkan agar standar pakaian disesuaikan saja dengan kepantasan sosial dan kenyamanan personal masing-masing? Yang mau pakai jilbab boleh, yang tidak pakai jilbab juga silakan.
Saya tidak tahu apakah orang-orang yang mengusulkan “kembalikanlah standar seragam sekolah negeri kayak dulu” itu sungguh paham sejarah. Bagi anak-anak santri yang ingin belajar di sekolah umum negeri, era Orde Baru menimbulkan trauma tersendiri. Pada tahun 1980-an, anak perempuan harus mencopot jilbabnya ketika berangkat ke sekolah negeri. Kalau tidak mau melakukannya, silakan belajar di madrasah yang saat itu dikesankan (atau diperlakukan?) lebih rendah. Apakah kaum sekuler membayangkan itu?
Rasanya tidak karena sejak awal kaum sekuler dibayangi ketakutan yang mendalam terhadap agama. Inilah leitmotif yang menggerakkan mereka. Khususnya sejak akhir 1980-an, agama yang dimaksud tidak lain adalah Islam, tepatnya Islam politik. Seluruh energi kaum sekuler dikerahkan untuk menghadang kebangkitan Islam politik.
Karena terfokus pada ketakutan terhadap kebangkitan Islam politik, kaum sekuler melupakan sisi otoriter Orde Baru. Yang diingat oleh mereka adalah pada masa itu perempuan bebas berkebaya atau bersanggul tanpa diribeti para kadrun seperti sekarang. Yang diingat hanya aspek kulturalnya, tetapi sisi politik dan ekonominya dibuang entah kemana. Dalam situasi kejumudan seperti ini, jilbab adalah ancaman; seolah-olah ia adalah simbol yang tersisa dari Abad Pertengahan yang jauh dari kemodisan dan apalagi kebebasan.
Seperti pernah saya katakan, masalah seperti terjadi di Bantul itu akan terus bermunculan. Inilah yang saya sebut sebagai konflik etis sebagai resiko masyarakat multikultural. Sementara kaum santri disuruh sekolah tinggi-tinggi agar bisa mengkritik agamanya sendiri, kaum sekuler santai saja healing-healing ke luar negeri atau ke Bali–tanpa baca buku, tanpa berkaca pada sejarah, tanpa mempertanyakan lebih lanjut dogma-dogma yang diyakininya. Ya sudah, jumudlah!
*) Dr Amin Mudzakir, peneliti BRIN