Di media sosial sedang beredar foto murid perempuan berburqa di sebuah sekolah SMA di Tegal yang dikelola oleh sekolah swasta Islam. Penutup muka model burqa itu hanya menyisakan lubang di bagian mata. Beberapa waktu lalu, seorang pimpinan di perguruan tinggi Islam melarang dosennya mengajar dengan wajah tertutup atau burqa. Atas dua fenomena itu sedikit banyak memunculkan persoalan.
Fenomena penggunaan penutup muka secara total ini membutuhkan penyikapan. Misalnya dari pemerintah utamanya terkait dengan penggunaan di sekolah-sekolah. Tulisan ini mengulas serta menawarkan pilihan. Tahun 1982, untuk penelitian di sebuah kelompok tarikat di Singaparna, Jawa Barat, saya juga menggunakan burqa bersama santri-santri di pesantren itu. Di sana jamaah perempuan menggunakannya, terutama jika sedang keluar pesantren.
Burqa antara budaya dan agama
Apakah penggunaan burqa merupakan ajaran agama atau semata-mata merupakan kebiasaan budaya? Apakah burqa dimaknai sebagai kewajiban agama yang memiliki landasan teologis dalam Islam meskipun merupakan adopsi terhadap kebudayaan Arab pra-Islam atau semata mata budaya berpakaian tradisi gurun pasir yang muncul sebagai adaptasi kultural atas keadaan alam padang pasir yang panas dan berdebu.
Irisan atas keduanya memang sulit dipisahkan sebab pada hakikatnya pakaian (perempuan) merupakan daya cipta manusia yang didorong oleh campuran antara keadaan alam/cuaca, pemikiran, tafsir atas posisi perempuan dalam sebuah kaum yang mengakomodasi nilai-nilai kepantasan, keyakinan, kelas sosial, persepsi tentang tubuh perempuan dan politik.
Salah satu elemen yang mengkonstruksikan nilai kepantasan, kepatutan, batasan dan persepsi tentang perempuan dalam komunitasnya adalah agama/keyakinan.
Ada lima ayat dari dua surat, Al-Ahzab dan An-Nur yang biasa digunakan sebagai dalil penggunaan jilbab. Ayat-ayat itu umumnya sebagai berita dan ayat yang bersifat sosiologis. Misalnya Surat Al-Ahzab 59 tentang perintah kepada istri-istri Nabi, perempuan dari keluarga yang telah menyatakan beriman untuk menggunakan penutup kepala sebagai penanda/identitas kelompok (mudah dikenali sebagai perempuan muslim dan merdeka), dengan menggunakannya mereka tidak mendapatkan gangguan.
Dalam konteks ini jilbab diartikan sebagai identitas sekaligus pembeda dan proteksi politis dari Nabi agar perempuan tak mendapatkan gangguan dari para lelaki Jahiliyah (di luar Islam). Ayat ini terkait dengan upaya proteksi Nabi kepada perempuan dalam lingkungan insider-nya agar pihak lain jangan ada yang “macem-macem” kepada perempuan-perempuan yang telah masuk Islam.
Masih selaras dengan penegasan identitas ini, Surat Al Ahzab: 33 meminta perempuan mukmin untuk tinggal di rumah, tidak mematut diri berlebihan layaknya perempuan Jahiliyah.
Ayat ketiga, dan ini mulai populer di kalangan mahasiswa/i di Indonesia sejak revolusi Iran, Surat An-Nur ayat 31 tentang aturan etika bagi kaum perempuan. Ini niscaya terkait dengan penegasan-penegasan identitas sosial sebagai sebuah kelompok yang secara sosial politik sedang mulai berkembang dan menyusun kekuatan sosial/politiknya. Kaum perempuan harus punya identitas dan punya etika; misalnya dalam cara berkomunikasi – menundukkan pandangan; cara berpakaian, dan larangan bagi para perempuan kaya pamer perhiasan dan karenanya mereka diperintahkan menutup kain di dadanya.
Masih terkait dengan etika pergaulan sebagai penanda keadaban, ayat keempat yang sering digunakan adalah Al Ahzab: 53. Ayat ini mengatur cara lelaki dalam menunjukkan kesopanan kepada perempuan, dalam konteks itu kepada istri-istri Nabi. Ayat ini mencontohkan kalau ada keperluan kepada istri-istri Nabi tidak dibenarkan menghadap langsung tapi harus dari balik tabir. Tujuannya agar mereka – yang memiliki hajat untuk bertemu dengan istri Nabi, begitu pun sebaliknya para isteri Nabi terhindar dari fitnah.
Sementara ayat yang kelima, Surat Nur: 60 terkait dengan tata cara beretika bagi perempuan yang telah menopause, kepada mereka diberi kelonggaran untuk tidak menggunakan penutup jilbab atau kain penutup dada namun dengan penegasan untuk tetap menjaga kehormatan diri.
Dalam perkembangannya watak sosiologis dan etis dari ayat-ayat ini kemudian berubah di tangan para penafsir menjadi ayat-ayat teologis yang menekankan kewajiban menggunakan jilbab tanpa selalu terhubung dengan konteksnya. Bahkan corak dan bentuk jilbab sepenuhnya merupakan penafsiran dari para penafsir yang umumnya didasarkan kepada bacaan dan pemahaman atas sejumlah hadits.
Beberapa hadits populer ternyata tak selalu menekankan kepada pihak perempuan untuk menjaga aurat melainkan kepada lelakinya juga. Namun secara umum hadits-hadits itu menjelaskan apa yang boleh dan tidak boleh baik untuk perempuan maupun laki-laki terkait dengan aurat. Misalnya hadits diriwayatkan Ibn Umar, berupa larangan kepada lelaki memakai pakaian berbahan sutera dan Nabi meminta mereka agar sutera itu dipotong-potong menjadi kerudung bagi perempuan.
Hadits lain berisi larangan bagi laki-laki memperlihatkan auratnya kecuali kepada istrinya dan budak sahayanya. Atau hadits yang melarang pria mengintip aurat perempuan. “Seorang lelaki tidak diperkenankan melihat ‘aurat perempuan, begitupula perempuan tidak boleh melihat ‘aurat sesama perempuan” HR. Muslim, Abu Daud dan At-Turmdzi.
Pada hadits yang berbentuk larangan umumnya juga berlaku bagi kedua belah pihak. Ibn Abbas berkata, “Rasulullah saw melarang perempuan yang meniru-niru gaya kaum pria, begitu pula sebaliknya laki-laki yang meniru-niru kaum wanita.” HR. Al-Bukhari dan Abu Daud.
Diriwayatkan juga Nabi mengizinkan putrinya Fatimah yang sedang bersama pembantunya menaikkan bajunya untuk menutup kepalanya yang menyebabkan sebagian kakinya tersingkap. Nabi mengatakan hal itu tidak masalah karena yang ada di hadapannya adalah Ayahandanya dan hamba sahayanya.
Baik dari ayat-ayat maupun hadits memperlihatkan bahwa berpakaian baik lelaki maupun perempuan adalah sebuah bagian dari etika tata tertib terkait kepantasan, dan konstruksi sosial tentang menjadi lelaki dan perempuan dalam kaitannya dengan aurat. Manakala dianggap sebagai ajaran agama, jenis ayat yang terkait jilbab atau burqa (penutup muka) bersifat sosiologis kontekstual.
Sebagai konstruksi yang niscaya mengandung kontestasi, perempuan pada kenyataannya lebih diatur terkait kepantasannya. Karenanya bagi perempuan bentuk hukum dalam cara berpakaian menjadi berbeda dibandingkan lelaki. Misalnya, pada lelaki perintah-perintah tentang kepantasan dalam berpaiakan yang bersifat wajib dikenakan semata-mata terkait dalam perintah ketika beribadat/shalat menutup badan dari pusar ke lutut atau ketika berihram. Di luar itu aturan berpakaian lelaki sama sekali tak “diurus”.
Sebaliknya pada perempuan perintah menutup aurat ketika beribadat (shalat) yaitu menampakkan muka dan telapak tangan ditafsirkan berlaku meluas sampai di luar waktu-waktu ibadat. Karenanya perintah penggunaan penutup aurat bagi perempuan menjadi berbeda dengan aturan bagi lelaki. Pada perempuan ditafsirkan waktunya melebar ke luar waktu-waktu beribadat (shalat).
Konteks Indonesia
Perempuan Indonesia sejak masa kolonial dikenali telah menggunakan kerudung. Ini menjadi identitas kaum santri untuk membedakannya dari kaum abangan. Asal muasalanya mungkin dibawa perempuan-perempuan dari Gujarat India oleh keluarga kaum pedagang. Dalam kerangka kebangsaan, Ibu Fatmawati menggunakannya sebagai identias perempuan dari sebuah bangsa yang merdeka, sebagaimana kaum lelaki menggunakan kopiah hitam.
Perkembangan sangat serius terkait politik identitas kemusliman yang menolak rezim represi Orde Baru, jilbab berkembang paska revolusi Iran. Terjadi ketegangan sangat tajam ketika sejumlah perempuan muda murid SMA dan mahasiswi menggunakan jilbab dan mendapatkan tekanan dari rezim penguasa. Jilbab selain sebagai identitas kemusliman lalu menjadi identias perlawanan politik.
Namun di akhir masa Orde Baru, keluarga Cendana “meng-hijeck” jilbab ketika Tutut menggunakannya. Dan jilbab pun kemudian bertambah maknanya sebagai identitas kelas menengah yang loyal kepada rezim Orde Baru.
Namun begitu pemaknaan yang tetap menganggap jilbab sebagai kewajiban terus meluas. Sekolah-sekolah swasta berbasis agama dan sekolah umum mulai mewajibkan murid dan guru perempuan berjilbab, awalnya hanya hari Jum’at namun lama-lama menjadi seragam wajib.
Pada pendapat saya, penggunaan jilbab seharusnya ditanggapi sebagai pilihan. Bagi umat Islam yang menghendaki jilbab sebagai identitas kemusliman, negara tidak boleh campur tangan apalagi melakukan pelarangan. Namun dalam kaitannya dengan politik kebangsaan, negara juga harus mampu mencari jalan tengah. Para pemikir Islam seharusnya tidak membiarkan Islam berhenti pada simbol-simbol atau mengadopsi sebuah budaya seperti burqa itu. Seharusnya kita dapat bersikukuh pada Islam yang substantif yang di dalamnya termuat nilai-nilai pluralisme, kesetaraan antara manusia, berlomba untuk hal yang baik bagi kemanusiaan dan seterusnya.
Pemikir Islam harus segera mencari jalan keluar dalam kaitannya dengan isu sehari-hari namun terkait dengan hubungan antar warga. Contoh sederhananya adalah soal seragam sekolah itu. Seragam sekolah semula diciptakan untuk mengeliminasi perbedaan antar status sosial warga, suku, ras, dan agama. Namun seragam kemudian dititipi atribut agama atas nama pengajaran moral bagi anak didik.
Saya bukan tidak setuju dengan pendidikan moral, budi pekerti, tetapi bagi saya pendidikan moral di sekolah harusnya memiliki nilai-nilai universal dan berlaku umum bagi semua murid dan guru, tidak didasarkan pada salah satu pandangan mazhab dalam fikih.
Mengajarkan tentang kebersihan, kejujuran, sopan-santun, berbuat baik kepada sesama teman, menghormati perempuan, merupakan hal yang lebih substantif dan berlaku umum ketimbang mewajibkan anak perempuan memakai rok panjang atau anak laki-laki memakai baju koko di hari Jumat.
Kalau menghendaki bahwa penggunaan baju itu diberi nilai-nilai agama, mengapa tidak pada yang substansinya. Misalnya memenuhi nilai-nilai kebersihan, kepantasan, jauh dari riyâ’(pamer) dan sombong.
Katakanlah sebagai mayoritas kita ingin agar cara berpakain tetap bersumber dari nilai-nilai fiqhiyah, mengapa kita tidak mencari pandangan yang lebih moderat, misalnya batas-batas aurat dari mazhab Hanafi yang memberi batas sedengkul. Jadi dengan menggunakan rok seperti itu, bagi anak-anak Muslim memenuhi tuntutan fikih, bagi kelompok berbeda tak ada pemaksaan mengikuti keyakinan orang lain.
Substansinya adalah murid perempuan menggunakan seragam dengan tetap islami, sopan, memenuhi nilai-nilai kepantasan dan bisa digunakan oleh semua siswa apapun latar belakang agamanya. Dari segi praktisnya rok semacam itu memudahkan bagi anak-anak perempuan untuk bergerak sesuai dengan perkembangan kejiwaannya sebagai remaja.
Sekolah umum menurut pandangan saya seharusnya mengutamakan sebuah “ruang” dimana persamaan menjadi pengikat warga belajar dan seragam sekolah adalah salah satu medianya. Namun ketika seragam kemudian diintervensi oleh salah satu pandangan agama yang bersifat mengikat, yang secara nyata membeda-bedakan warga belajar berdasarkan keyakinannya, maka sebuah pembedaan telah dimulai. []
*Kali pertama terbit dengan judul Merebut Tafsir: Sekali Lagi Tentang Jilbab dan Burqa Mubadalahnews.com diterbitkan setelah seizin redaksi