Jika Wafat, Sudikah Kamu Dikubur Bersama Pemeluk Agama Lain?

Jika Wafat, Sudikah Kamu Dikubur Bersama Pemeluk Agama Lain?

Jika kamu wafat nanti, apa rela kuburanmu berdamping dengan pemeluk agama lain?

Jika Wafat, Sudikah Kamu Dikubur Bersama Pemeluk Agama Lain?

Bagaimana saya, yang seorang Jawa ini, menjadi Islam? Pertanyaan itu tak pernah saya gubris sebelumnya.

Sejarah Islamisasi di Jawa selalu meletakkan dominasi peran elit kerajaan (top down), dan sangat jarang merupakan gerakan relijius yang diinisiasi kalangan bawah (bottom up). Sungguh pun demikian proses islamisasi ini tidaklah sederhana.

Terdapat dua opsi yang muncul saat Jawa berhadapan dengan Islam. Pertama, menjadi Jawa sekaligus Muslim, yang itu berarti kemusliman seorang Jawa tidak serta merta melucuti kesetiaannya pada tradisi jawa. Kedua, memilih secara tegas; menjadi Muslim atau Jawa. Dalam konteks ini, seumpamanya, menjadi Muslim berarti meninggalkan seluruh atribut sosial budaya kejawaan. Misalnya, harus menyebut “sholat” ketimbang “sembahyang,”; “Alloh,” daripada “Gusti,” atau “Musholla,” ketimbang “Langgar,”

Sebelum tahun 1850, pascaperang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro yang mengaku menjadi pemimpin Islam Jawa karena mendapat wahyu langsung dari Allah, para elit kerajan memilih opsi yang pertama. Dengan semangat yang sepenuhnya ingin melakukan Islamisasi, mereka menggunakan,menciptakan, dan memaknai simbol-simbol kejawaan dalam semangat Islam.

Islam dan Jawa benar-benar didamaikan. Misalnya, Sultan Agung membuat Kitab Usulbiyah, di mana Nabi Muhammad dicitrakan memakai mahkota emas dari Majapahit. Ia tidak lagi menggunakan kalender Jawa-kuno (saka) dan beralih ke Jawa-Islam (hijriyah). Sekaligus, ia menikahkan adik perempuannya dengan pangeran Surabaya yang masih seketurunan dengan wali senior dari Wali Songo.

Beberapa penerusnya, misalnya Pakubuwono II, melanjutkan tradisi mendamaikan Islam dan Jawa, melalui peran sentral neneknya yang dikenal sufi, sepuh dan tunanetra, Ratu Pakubuwono. Kitab Usulbiyah ditulis ulang menggunakan versi yang lebih Islami.

Pendek kata, menurut Ricklefs, islamisasi di Jawa menggunakan apa yang disebut sebagai sintesis mistik, yang berisi tiga hal yang diharapkan (harus) diimani setiap orang Jawa; bahwa menjadi orang Jawa adalah menjadi Muslim; melaksanakan rukun Islam; dan, penerimaan terhadap realitas kekuatan spiritual khas Jawa, misalnya Ratu Kidul, Sunan Lawu (Dewa Angin) dan makhluk adikodrati yang lain.

“Setelah memeluk agama yang suci ini (Islam), setiap batang rumput di tanah Jawa, mengikuti Sang Nabi yang terpilih,” — Pakubuwana V dalam Serat Centhini.

Lalu, bagaimana dengan Kekristenan di Jawa? Entahlah. Anda bisa bayangkan situasi masyarakatnya di tengah didikan dogma sintesa mistis di mana hanya ada dua identitas yang terakomodasi; Jawa dan Islam.

Pascakekalahan Diponegoro oleh VOC, untuk pertama misi Kristen mengalami keberhasilan dalam kadar tertentu. Pada 1900, diperkirakan ada sekitar 20.000 ribu orang Kristen di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Angka ini sekitar 0,1 persen dari total populasi Jawa saat itu.

Kiai Kristen Jawa pertama, menurut Ricklefs, adalah Conrad Laurens Coolen, seorang Indo-Rusia yang fasih berbahasa Jawa. Ia bisa dikatakan menggunakan model yang digunakan raja-raja Jawa saat mengislamisasi Jawa. Yakni, mendamaikan kejawaan dengan kekristenan. Di sisi lain, ada juga model kekristenan a la Londo, di mana menjadi Kristen berarti keharusan meninggalkan seluruh atribusi kejawaan.

Kekristenan a la Jawa a la kemudian tidak bisa dilepaskan dari kontribusi Tunggul Wulung asal Juwana Pati. Kabarnya, setelah dibaptis oleh Jellesma, namanya ditambah menjadi Ibrahim Tunggul Wulung.

Selain Tunggul Wulung, tokoh Kekristenan Jawa yang cukup fenomenal lainnya adalah Kiai Sadrach, yang kabarnya pernah nyantri di Jombang.

Wulung dan Sadrach bahu membahu membangun komunitas Kristen Jawa pada saat dogma “menjadi Jawa adalah menjadi Muslim,” terus meranggas.
Betul sekali, benturan tak bisa dielakkan.

Beberapa kalangan Muslim Jawa tidak suka dengan penyebaran Kristen karena dianggap mengkhianati kejawaannya. Itu sebabnya antara 1882-1884 hampir semua bangunan gereja yang didirikan pengikut Sadrach dibakar.

Mungkin ini kekerasan pertama terhadap gereja di pulau Jawa.

***

Betapa asyiknya mencari tahu kenapa saya menjadi Muslim — dengan cara melihat bagaimana Jawa mengalami Islamisasi.

Bagi saya sekarang ini, menjadi Jawa adalah kodrat, tidak bisa diubah, sekuat apapun. Sedangkan menjadi Islam atau Kristen (atau yang lain) adalah konstruksi sekaligus opsional.

Menjadi Jawa-Islam itu baik, sebaik menjadi Jawa-Kristen, Jawa-Katolik, Jawa-Hindu, Jawa-Buddha, atau bahkan Jawa-tanpa-agama sekalipun. Itu sebabnya saya tidak keberatan disandingkan dengan mereka saat mati, dalam satu areal pekuburan.