Jika Umat Islam Terpinggirkan, Lalu Siapa yang Meminggirkan?

Jika Umat Islam Terpinggirkan, Lalu Siapa yang Meminggirkan?

Beberapa pihak menyebut Islam di Indonesia terpinggirkan, tapi oleh siapa?

Jika Umat Islam Terpinggirkan, Lalu Siapa yang Meminggirkan?
Sebagian umat islam Indonesia merasa tertekan, entah karena politik atau karena rezim. Tapi, benarkah demikian? Source: Reuters/Beawiharta

Umat Islam terpinggirkan di negeri mayoritas muslim. Pernyataan ini sering saya dengar. Terlebih dalam tahun politik akhir-akhir ini. Tak terkecuali sang Profesor di kampus saya juga berkali-kali sampaikan ini di kelas. Benarkah begitu?

Saya paham pernyataan ini tidak berdiri sendiri. Pernyataan ini umumnya dimaksudkan untuk mengesankan bahwa umat Islam tertindas, lalu timbul perasaan terdholimi. Harapannya, akan muncul simpati, kemudian politik identitas keagamaan bangkit kembali. Sentimen ini dikapitalisasi untuk melawan rezim yang berkuasa demi kemenangan pertarungan politik. Pilkada DKI adalah hasilnya. Sekarang sedang diujicobakan kembali pada Pilpres 2019.

Jujur saja, sampai sekarang saya belum menemukan di mana ketertindasan dan keterpinggiran umat Islam. Kecuali bahwa mayoritas orang miskin, pengangguran, anak jalanan, dan orang tidak bisa sekolah adalah umat Islam. Saya tidak membantah bahwa sebagian aset sumber daya alam dikuasai konglomerat yang beragama non-Islam.

Tapi kita perlu bertanya secara kritis, realitas ini potret penguasaan agama ataukah oligarki konglomerasi ekonomi; keterpinggiran ataukah konsekuensi logis dari jumlah umat Islam yang mayoritas dan sebagian besar tinggal di pedalaman dan pedesaan yang sumber dayanya sangat terbatas. Sebab di daerah di mana mayoritas non-muslim singgah, kemiskinan dan pengangguran juga disandang oleh umat non-muslim. Lihatlah, di daerah Papua, Bali, dan Maluku, mayoritas orang-orang miskin beragama non-Islam.

Bahwa di negeri ini masih terjadi ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi, saya setuju 100 persen. Ini problem besar dan tantangan kita yang harus terus dibenahi. Tapi jangan dikaitkan dengan isu agama, sehingga penyelesaiannya sangat sektarian dan tidak menyeluruh.

Kalau ketertindasan dimaksudkan adalah kriminalisasi ulama, juga perlu dipertanyakan ulama yang mana? Dikriminalisasi ataukah memang melakukan tindakan kriminal? Di sinilah, kita perlu berpikir dan bersikap terbuka dan dewasa, meskipun tetap harus waspada.

Saya menolak keras bahwa dari sisi politik umat Islam termarjinalkan dan tertindas. Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, Presiden dan Wakil Presiden selalu beragama Islam. Para menteri-menteri dan kepala daerah juga didominasi muslim. Kecuali beberapa daerah yang mayoritas non muslim, kepala daerah beragama non-Islam. Tentu wajar dan bisa dipahami. Menteri agama juga selalu beragama Islam.

Lebih dari itu, umat Islam di Indonesia memiliki pengadilan sendiri, yakni Pengadilan Agama. Di istana negara juga hanya ada masjid. Bahkan hampir di setiap gedung pemerintahan ada selalu masjid. Beberapa ajaran Islam juga sudah dilegislasikan, seperti UU Perkawinan, UU Wakaf, UU Zakat, UU Haji, UU Perbankan Syari’ah, UU Peradilan Agama, dll. Fasilitas-fasilitasi ini tidak diperoleh agama lain.

Secara demokratik, tentu bisa dipahami karena faktor kesejarahan dan jumlah umat Islam yang memang mayoritas. Yang tidak bisa dipahami adalah bila umat Islam yang demikian istimewa dalam struktur kenegaraan ini masih dipersepsi terpinggirkan, kalah, dan tertindas.

Pernyataan pejoratif dan inferior ini hanya bisa dipahami karena umat Islam yang dimaksud adalah dirinya dan kelompoknya. Mereka tidak memandang bahwa di dalam PDIP, Gerindra, Hanura, Golkar, Nasdem, PSI, dan Perindo juga banyak umat Islam di sana. Tidak sekadar Islam, tetapi juga santri dan ulama. Sebaliknya, mereka tidak pernah merasa bahwa di dalam PKS, PAN, PKB, dan PPP juga terdapat eksponen non-muslim. Di daerah-daerah yang mayoritas non-muslim, partai-partai ini juga memiliki Caleg dan kepala daerah yang beragama non-Islam.

Jadi, kesimpulan saya keterpinggiran dan ketertindasan ini hanyalah perasaan subjektivitas politiknya yang digeneralisasi dan diklaim sebagai kondisi umat Islam. Juga, ketertindasan ini adalah alat politik yang sengaja diungkapkan untuk mengaduk-aduk sentimen umat Islam yang pada akhirnya dikapitalisasi untuk kepentingam politik praktis dalam merebut kekuasaan. Lagi-lagi, ujungnya adalah politisasi perasaan dan permainan politik identitas.

Jika umat Islam terpinggirkan, lalu siapa yang meminggirkan? Bukankah yang di tengah juga umat Islam?

Paling juga, yang terpinggirkan itu kamu… iya kamu… iya ya betul kamu… Dan yang meminggirkan itu dia… ya dia… ya betul dia. Bukan umat Islam!! Paham?!