Pernikahan adalah ritual sakral yang pernah atau akan dialami hampir semua orang, bahkan mayoritas berpandangan bahwa pernikahan adalah sebuah prosesi suci yang hanya dilakukan sekali seumur hidup.
Banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melaksanakan pernikahan, salah satunya adalah pasangan, karena memilih seseorang untuk dinikahi, berarti memilih orang tersebut untuk menemani kita sepanjang hidup.
Dengan teman hidup yang baik, hidup akan terasa bahagia, sebaliknya hidup akan terasa bagai siksaan jika teman hidup tidak menyenangkan. Maka wajar jika seseorang akan mencari pasangan yang ia rasa cocok dengan dirinya.
Namun tak jarang terjadi, sebagian orang menikah bukan dari pilihannya sendiri, namun karena perintah orangtua. Bagaimana Islam memandang pernikahan yang demikian?
Dalam literatur fikih dijelaskan bahwa seorang laki-laki bisa menikahkan dirinya sendiri, berbeda dengan perempuan yang harus melalui perantara wali nikah. Bahkan, jika putrinya masih gadis, orangtua sebagai wali nikah dapat menikahkan tanpa persetujuan darinya.
Hal ini karena secara naluri, orangtua tidak akan menjerumuskan anaknya, memilihkan yang terbaik. Namun, karena baik dan buruk teramat sangat subjektif, syariat menentukan batasan-batasannya. Sebagaimana keterangan dalam I’anah al-Thalibin:
والحاصل الشروط سبعة: أربعة للصحة – وهي التي تقدمت – أن لا يكون بينها وبين وليها عداوة ظاهرة، ولا بينها وبين الزوج عداوة وإن لم تكن ظاهرة، وأن تزوج من كف ء، وأن يكون موسرا بمهر المثل أو بحال الصداق على الخلاف. فمتى فقد شرط منها كان النكاح باطلا إن لم تأذن.
“Kesimpulannya, syarat menaksa anak untuk menikah ada tujuh, 4 syarat berdampak pada sah dan tidaknya pernikahan yaitu –sebagaimana sudah dijelaskan- tidak ada perseteruan yang nyata antara wanita dan walinya, samasekali tidak ada perseteruan antara wanita dan calon suaminya, wali menikahkannya dengan laki-laki yang sepadan (kufu’), dan calon suaminya mampu membayar mahar yang pantas (mahr mitsl) atau mahar tunai (hall al-Shadaq), jika salah satu dari empat syarat ini tidak terpenuhi, maka pernikahannya tidak sah, kecuali calon mempelai putri bersedia”
Di atas disebutkan bahwa salah satu syaratnya adalah harus dicarikan calon yang sepadan, sebatas manakah seorang laki-laki dikatakan sepadan dengan wanita?
Imam an-Nawawi dalam Minhajut Thalibin menjelaskan bahwa ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, seperti tidak ada kecacatan atau aib yang ada di diri calon, kesalehan, nasab, dan beberapa hal lain.
Kelima aspek ini perlu dipertimbangkan betul oleh orangtua demi kebaikan putrinya di masa depan. Jika seluruh syarat telah terpenuhi, alangkah baiknya jika orangtua tidak memaksa anaknya, namun menawarkan dan membujuknya terlebih dahulu agar semuanya berjalan atas dasar kerelaan.
Lebih baik lagi jika sang anak memiliki calon yang sepadan atau lebih baik dari calon yang ditawarkan oleh orangtua.
Wallahu A’lam.