Pertengahan tahun lalu saya sempat mengalami susahnya menemukan masjid untuk salat Jumat. Ada sih bentuk fisik bangunan “mirip” masjid, tetapi bahasannya politik, khususnya saat itu politik Ibukota. Bela membela agama boleh, tetapi jangan hanya muncul ketika momentum politik kekuasaan saja.
Saya jadi bertanya, ke mana aja cuy waktu kasus penipuan umroh, korupsi dana haji atau momentum seseorang mengatakan kitab suci itu fiksi. Dari zaman awkarin naik kuda, hingga kini jualan hijab, orang-orang pengaku bela agama lebih banyak berbicara kekuasaan dan ganti presiden daripada melakukan pendampingan terhadap masyarakat agar berdikari dan melawan tirani.
“Pengajian-pengajian disisipin politik itu harus, kalau nggak, lucu,” kata Eyang Amien Rais, sang tokoh penggagas istilah “Partai Allah” dan “Partai Setan”. Terangkan sudah bila kelompok Islam Eyang Amien (alumni bela agama) membahas politik kekuasaan, toh emang pengajiannya harus ada muatan politiknya. Kalau nggak, ya jadi lucu minimal menurut eyang pendiri partai PAN itu.
Saya tidak ada masalah kalau seorang politisi berbicara politik di pengajian. Kalau perlu berbicara politik di Masjid, asal majelis dan pengajian itu dibuatnya sendiri. Biaya tagihan listrik masjid dibayarkan dan panganan pengajian ditanggungnya. Tapi kalau terjadi di masjid masyarakat umum seperti kasus yang saya alami, ya itu namanya bikin perpecahan dari masjid.
Pandangan politik ada pada ranah privat, jika kemudian kita menyebarkan pandangan privat dan menyebutkan pandangan kita lebih baik dari yang lain di hadapan orang-orang tidak sependapat, maka salah satu konsekuensinya adalah orang akan risih. Tidak sedikit yang tidak akan datang ditempat kita menyebarkan pandangan. Tidak terkecuali masjid.
Dakwah prasangka
Apa yang membuat saya memilah-milah tempat untuk salat Jumat? Ya, karena beberapa masjid mulai membawa bahasan politik kekuasaan ke dalam ranah steril urusan duniawi tersebut. Buruknya pembicara agama kadang menyisipkan konten dakwah dengan isu-isu tanpa bukti yang kemudian menghadirkan prasangka.
Isu kriminalisasi ulama misalnya, saya tidak tahu seperti apa bentuk real dari isu tersebut, karena setahu saya yang dangkal jika kemudian ditemukan bukti otentik atas suatu perkara kriminal yang mengarah kepada seseorang, maka orang tersebut dinyatakan sebagai tersangka. Tidak peduli dia siapa. Tidak ada seseorang yang boleh kebal hukum, termasuk pembicara agama.
Kriminalisasi ulama hanyalah isu yang digoreng untuk menghadirkan prasangka kepada masyarakat. Isu ini dibuat seolah nyata dengan menggunakan cocokologi. Prasangka kemudian hidup dengan opini-opini kita sendiri, lalu prasangka membentuk cara pandang kita kepada sesuatu hal.
Bak orkes dangdut, makin digoyang makin sip, prasangka makin ditambahin ini itu makin sip biar orang lain mudah diracuni dengan prasangka berbasis isu mengada-ngada. Dari yang awalnya kriminalisasi ulama menjadi anti Islam kemudian jualan perasangka berkembang ke arah politik kekuasaan; #gantipresiden2019.
Politik dalam Masjid
Uniknya, prasangka hidup dengan nama kebencian dan telihat teduh karena dibawah agama dia berbicara, sehingga mudah diterima oleh orang yang sedang mencari jalan Tuhan. Alih-alih ingin mendekatkan diri kepada pemilik cinta kasih, prasangka membawa ke arah dengki dan benci. Rasa-rasanya penyakit macam ini lagi tumbuh subur.
Atas nama agama kemudian masjid kemudian menjadi tempat yang paling pas untuk mempromosikan politik. Sungguh menjadikan masjid sebagai bagian panggung politik adalah upaya memecah belah umat Islam itu sendiri.
Menurut Prof. Azyumardi Azra, politik lazimnya cenderung memecah belah dan membuat seseorang/kelompok bersifat partisan; mementingkan kepentingannya sendiri dengan mengorbankan pihak lain.
Di sinilah kemudian terjadi kontestasi kepentingan yang sering berujung pada konflik fisik dan kekerasan — yang tidak selaras dengan kesucian masjid.
Jika Masjid tidak lagi netral, saya yakin umat akan merasa tidak nyaman untuk ibadah. Jika politik masuk masjid akan banyak mengaku khotbah Jumat tapi bahasannya menyebar kebencian pada satu kelompok, kampanye politik, atau bahkan secara nyata mengajak orang melakukan kekerasan, karena itu kesucian masjid perlu dijaga dari politik kekuasaan.
Silakan berpolitik di tempat yang wajar, toh sudah ada larangan untuk tidak menggunakan masjid sebagai arena kampanye. Biarlah masjid menjadi rumah Allah di mana umat yang berbeda pandangan politiknya bisa duduk bersama dan berdoa agar Indonesia tidak bubar. Wallahu ‘alam bishawab.