Jika Kamu Pernah Ketinggalan Pesawat

Jika Kamu Pernah Ketinggalan Pesawat

Jika Kamu Pernah Ketinggalan Pesawat

Tidak ada firasat apapun yang dapat terbaca jika saya akhirnya mengalami ini pertama kali dalam hidup.

Saya sudah berlari sekuat tenaga hingga nafas hanya tersisa di kerongkongan. Tersengal-sengal. Berhenti. Lalu berlari lagi. Berhenti. Berlari lagi. Megap-megap

Tetap saja jarum jam dinding di konter penerbangan sebuah maskapai sudah mendekati pukul dua siang, waktu pesawat lepas landas.

Dari pengeras suara, saya tahu pesawat yang seharusnya saya tumpangi sudah siap mengambang di langit Banten. Tapi, tetap saja manusia harus selalu punya harapan akan ada keajaiban dalam hidup.

Usaha di luar itu sudah saya lakukan. Di atas kereta Manggarai menuju Bandara Soekarno-Hatta, saya mencoba berkali-kali mendaftar daring. Tapi, selalu dijawab waktu mendaftar seharusnya dilakukan empat jam sebelum keberangkatan.

Akhirnya saya berharap laju kereta bisa lebih cepat dari biasanya, hal yang juga mustahil. Dalam situasi begitu, jalan kereta mirip perasaan terdakwa yang digiring ke sel penjara.

Waktu tiga jam lebih dari rumah, rupanya tak cukup untuk tiba di Bandara Soetta tepat waktu jika pergi dengan kereta. Itu salah satu kekeliruan besar.

Kekeliruan besar lainnya, saya mengira petugas konter berhati mulia membantu orang yang sudah kesusahan. Seorang petugas konter tempat saya mendaftar bertanya pada teman di sampingnya, apa masih mungkin saya naik pesawat.

“Sudah tidak bisa Pak, penumpang sudah boarding,” katanya dengan wajah datar.

Siapa yang bisa saya salahkan, kecuali diri sendiri. Setelah itu saya meratapi diri dan mengingat-ingat dosa apa yang pernah saya perbuat di masa lalu.

Tadinya saya hendak berakting di depan petugas. Berlutut di hadapannya seperti cara orang Korea yang lihat di film-film Korea. Ingin juga saya katakan, kepergian saya ini bukan untuk pelesiran, tapi masih berhubungan dengan kehidupan republik ini. Tapi, tak saya lakukan sebab rasanya tak akan mengubah apa-apa.

Hidup harus berjalan dan masalah harus segera dituntaskan. Hari itu juga saya harus tiba di Makassar.

Apa yang paling menyedihkan adalah untuk membayar kekeliruan itu, saya harus mengeluarkan uang yang seharusnya tak perlu keluar dan menunggu penerbangan pukul 6 sore.

Kadang-kadang hidup harus menanggung risiko yang perih.