Jika Allah Faham Semua Bahasa, Mengapa Kita Diajarkan Lafaz-lafaz Doa Berbahasa Arab?

Jika Allah Faham Semua Bahasa, Mengapa Kita Diajarkan Lafaz-lafaz Doa Berbahasa Arab?

Bukannya Allah maha mengetahui dan maha mendengar? Mengapa kita masih perlu berdoa dengan bahasa Arab?

Jika Allah Faham Semua Bahasa, Mengapa Kita Diajarkan Lafaz-lafaz Doa Berbahasa Arab?
Ilustrasi perempuan berdoa (Freepik)

Sebagai negara mayoritas muslim, Indonesia telah menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam bahkan sejak usia pendidikan anak usia dini (PAUD). Beberapa di antaranya bahkan tidak hanya mengajarkan nilai akhlak saja, namun juga nilai-nilai spiritual seperti baca tulis Al-Qur’an, hafalan surah pendek, hingga do’a-do’a harian. Sehingga anak-anak balita di sekitar kita kini tak hanya mahir bernyanyi lagu anak-anak lagi, namun juga jago melafalkan surah-surah pendek dan do’a-do’a harian, kendati belum ada di antara mereka yang memahami makna dari do’a-do’a yang mereka hafalkan.

Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar, mengapa mereka diajarkan untuk menghafal kalau ujung-ujungnya mereka tak mengerti juga apa yang mereka lantunkan. Bagaimana mungkin seorang pemohon tak memahami apa permohonanannya? Mengapa mereka tak diajarkan saja bahwa Allah memang menciptakan manusia dalam berbagai suku dan bahasa, perbedaan bahasa adalah sunnatullah. sebagaimana firman Allah dalam surah ar-Rum ayat 22 :

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.  (Q.S Ar-Rum : 22)

Dengan memberikan pemahaman terkait ayat tersebut, bukankah anak jadi lebih percaya diri untuk berdoa setiap waktu tanpa harus memikirkan lafaz-nya terlebih dahulu? Misalkan do’a sebelum makan, anak tidak perlu lagi menghafalkan Allahumma Barik Lana Fii Ma Razaqtana Wa Qina ‘Adzabannar. Mereka cukup mendoakan agar makanan yang ia makan memberi manfaat dan keberkahan untuk tubuhnya.

Ternyata asumsi-asumsi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas tak sesederhana kelihatannya. Ada banyak alasan positif dan logis mengapa lafaz doa berbahasa Arab perlu dihafalkan sejak kecil. Berikut ini adalah beberapa alasan  mengapa doa-doa berbahasa Arab memang masih perlu dilestarikan sebagai budaya spiritual kita.

Pertama, kaya akan nilai etika

Doa adalah aktivitas meminta dari seseorang yang lebih rendah derajatnya, kepada entitas yang lebih agung. Menampilkan nilai etika dalam doa sangat penting, terlebih karena lafadz do’a dan amr (perintah) dalam bahasa Arab memiliki format yang sama. Yang membedakan hanyalah hirarki pemohon kepada termohonnya. Oleh karenanya, lafaz doa dalam bahasa Arab seringkali menggunakan format fi’il amr (kata perintah).

Hal ini menyebabkan pemunculan nilai etika jadi penting. Misalkan dalam lafaz doa salat dhuha di bawah ini:

اللهُمَّ إِنَّ الصَّحَاءَ ضَحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بهاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ رِزْقِي فِي السَّمَاءِ فَأَنْزَلْهُ وَإِنْ كَانَ فِي الْأَرْضِ فَأَخْرِجُهُ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا (مُعَسَّرًا) فَيَسِرْهُ وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهَرْهُ وَإِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرَبْهُ بِحَقِّ ضَحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِي مَا أَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْ

Wahai Tuhanku, sungguh dhuha ini adalah dhuha-Mu, keagungan ini adalah keagungan-Mu, keindahan ini adalah keindahan-Mu, kekuatan ini adalah kekuatan-Mu, kuasa ini adalah kuasa-Mu, dan penjagaan ini adalah penjagaan-Mu.Wahai Tuhanku, jika rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah. Jika berada di dalam bumi maka keluarkanlah. Jika sukar atau dipersulit (kudapat), mudahkanlah. Jika (tercampur tanpa sengaja dengan yang) haram, sucikanlah. Jika jauh, dekatkanlah. Dengan hak dhuha, keelokan, keindahan, kekuatan, dan kekuasaan-Mu, datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada para hamba-Mu yang saleh.

Doa atau permintaan pada lafaz di atas sebenarnya hanya dimulai dari Allahumma In Kaana Rizqi dan seterusnya. Lafaz permohonannya dimulai dari Fa Anzilhu (maka turunkanlah..). namun mengapa do’a ini dimulai dengan penyebutan asma-asma Allah yang cukup panjang?.

Inilah salah satu etika penting dalam berdoa, yakni mendahulukan puji dan sanjung kepada Allah Sang Maha Terpuji. Ini adalah tanda bahwa sebagai hamba kita tak dapat melakukan apa-apa tanpa kebesaran Sang Pencipta. Hal ini sangat masuk akal mengingat bagaimana cara kita melakukan rayuan-rayuan maut kepada orang terlebih dahulu sebelum mengutarakan niat untuk meminjam uang.

Secara tidak langsung, memohon tanpa didahului aktivitas memuji Allah adalah perilaku tak sopan, serta keengganan mengakui diri sebagai hamba yang lemah yang tak tahu diri. Do’a-do’a berbahasa Arab, baik yang ma’tsur dari al-Qur’an dan hadis maupun yang berasal dari ijtihad para ulama’ bukanlah sekedar alih bahasa sebuah do’a, melainkan adalah pengejawentahan sifat hamba yang dituangkan dalam do’a.

Kedua, estetika lafaz dan makna

Intuisi seorang penutur bahasa adalah efisiensi dan efektivitas komunikasi. Sehingga berdoa menggunakan bahasa Ibu cenderung membuat kita menyikapi doa sebagai bentuk komunikasi dengan Allah SWT. Padahal bukan doa bukanlah aktifitas berkomunikasi, doa adalah penyampaian rasa. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-A’raf ayat 55:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S Al-A’raf: 55)

Dalam bahasa jawa, tadharru’ biasa dimaknai ndephe-ndephe (memohon belas kasih). Ayat ini secara langsung menyatakan bahwa pembawaan perasaan serta penggunaan bahasa (termasuk intonasi) adalah unsur yang penting dalam menyampaikan doa. oleh karenanya, pemilihan kata serta ekspresi adalah komponen penting doa, karena mendorong proses tadharru’ serta khufyah.

Makna-makna asma Allah yang dibawa dalam doa tersebut juga adalah asma-asma yang mengandung nilai kuasa sehingga memperkuat nilai doa yang disebutkan setelahnya. Terkait penggunaan asma Allah yang berima hamzah bukanlah sebuah masalah, sajak yang dilarang dalam doa menurut Imam al-Ghazali adalah rima-rima yang dipaksakan, sehingga menomor duakan esensi tadharru’ dalam doanya.

Ketiga, menggugah rasa ingin tahu di masa mendatang

Meskipun dipelajari dan dihafalkan di masa kecil, doa yang dihafalkan di masa golden age tersebut akan menempel di otak manusia sepanjang masa. Ini adalah metode penanaman yang penting, karena suatu saat akan timbul rasa penasaran terhadap maknanya di masa yang akan datang.

Oleh karenanya, Sifat Maha Mengetahui Allah bukanlah alasan yang tepat untuk berhenti menghafalkan lafaz-lafaz doa berbahasa Arab, baik yang ma’tsur maupun hasil ijtihad para ulama’. Doa-doa yang sudah tersedia tersebut ibarat sebuah masakan matang yang sudah disiapkan oleh para ulama’ untuk kita santap, dengan harapan suatu hari kita akan penasaran dengan rahasia resep dibalik lezatnya masakan tersebut.

(AN)

Sumber Referensi:

Ihya’ Ulumuddin – Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali – Penerbit Dar al-Ma’rifah

Fashalatan – KH. Asnawi – Penerbit Menara Kudus Original