Perdebatan terkait pemulangan eks ISIS masih belum kunjung selesai. Banyak sekali yang menolak berdasarkan kekejaman mereka di Suriah, juga tak sedikit yang menerima dengan alasan kemanusiaan.
Adhe Bakti, Direktur Pusat Kajian Terorisme dan Deradikalisasi (PAKAR) menyebutkan bahwa tidak baik membiarkan mereka seolah tanpa negara (stateless). Namun jika jadi dipulangkan, Adhe juga menyebut bahwa pemerintah perlu mempersiapkan infrastruktur yang matang untuk para eks ISIS tersebut.
“Sekedar mengingatkan, pasangan suami istri pelaku ledakan gereja di Jolo – Filipina, adalah deportan,” tutur Adhe.
Bagi Adhe, pemerintah harus belajar banyak dari beberapa kasus deportan yang ujung-ujungnya malah menjadi pelaku terorisme di beberapa daerah, bahkan di luar negeri.
Adhe menuturkan jika pemerintah perlu menyiapkan infrastrukturnya terlebih dahulu. Misalnya, Adhe mengusulkan, perlunya dilakukan identifikasi yang kuat, baik metode maupun personel, oleh pemerintah melalui lembaga atau pihak yang berwenang dan berpengalaman terhadap “penyimpangan ideologi” orang-orang yang (akan) dikembalikan ke Indonesia, baik kepada returnees, maupun para deportan.
Selanjutnya, menurut Adhe, jika assessment terhadap mereka nilainya masih “merah”, maka pembinaan kepada mereka harus dilanjutkan di Pusat Deradikalisasi BNPT. Namun, regulasi terkait hal ini masih belum ada dan belum disiapkan oleh pemerintah.
Adhe juga mengusulkan perlunya pembinaan di daerah-daerah setelah para eks deportan atau returnees tersebut dipulangkan. Namun, “Sayangnya ini masih belum dilakukan,” keluh Adhe.
Sedangkan Solahudin, peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia menilai bahwa dengan Undang-undang terorisme yang baru, sebenarnya siapapun yang terlibat mendukung ISIS bisa dikenakan pasal tersebut. Hanya butuh didalami masing-masing orangnya saja.(AN)