Jihad Membendung Hoaks yang Meresahkan

Jihad Membendung Hoaks yang Meresahkan

Maraknya hoaks di era digital seharusnya menggugah kita untuk jihad membendung hoaks yang meresahkan.

Jihad Membendung Hoaks yang Meresahkan

Pada era globalisasi seperti sekarang ini geliat bertukar informasi dan literasi digital tak bisa dihentikan. Masyarakat seakan kecanduan dalam berselancar di dunia virtual itu. Membaca, men-share, meng-upadate, dan mem-posting/meng-upload suatu berita di dunia maya menjadi bagian dari rutinitas masyarakat dunia. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang sudah tidak bisa dihentikan, ancaman perang informasi juga semakin dahsyat saja. Berita benar dan salah tak menjadi persoalan.

Diakui atau tidak, perang informasi telah membawa implikasi yang luar biasa dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemanfaatan yang positif dari perkembangan teknologi informasi untuk membangun sistem dan tata nilai kehidupan manusia sudah banyak dirasakan.

Namun, di sisi lain, dampak negatifnya tidak kalah besar dalam merusak karakter manusia yang juga berpotensi mengancam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta mudah untuk menghancurkan kedaulatan suatu negara dibandingkan perang fisik yang pernah mewarnai hubungan antar manusia di era Perang Dunia I dan Perang Dunia II maupun Perang Dingin. (Opini Harian Media Indonesia, Jumat 13 Januari 2017, h. 8).

Mengonsumsi berita juga perlu kita perhatikan. Asupan informasi yang baik tentu dapat membuat pikiran kita positif, pun sebaliknya dengan berita negatif dan provokatif, apalagi berita bohong atau informasi palsu (hoaks). Berita hoaks belakangan ini cukup meresahkan masyarakat. Pasalnya, tak hanya berita isu berskala lokal atau nasional, hoaks bisa menyerang seluruh aspek kehidupan manusia. Isu agama, ekonomi, politik, kesehatan, dan isu lainnya tidak luput dari sasaran empuk pembuat hoaks.

Istilahnya, hoaks ibarat bensin yang tersulut api, tidak hanya menyebar dengan cepat, tetapi juga mampu membakar apa saja yang ada di sekitarnya. Perumpamaan ini dirasa tak berlebihan karena banyak sekali orang yang sudah ‘terbakar habis’ karena hoaks. Logikanya, orang awam setelah menerima hoaks, tanpa pikir panjang mereka langsung menyebarkannya tanpa harus check and recheck terlebih dahulu.

Apalagi, teknologi informasi, khususnya internet membuat penyebaran hoaks menjadi lebih cepat dan masif. Media sosial menjadi salah satu sarana gratis yang sangat ampuh untuk menyebarkan hoaks, mengingat sebagian masyarakat Indonesia memiliki akun media sosial (medsos).

Ironisnya, penyebaran hoaks tak hanya dilakukan orang awam, tetapi juga banyak yang berasal dari kalangan akademisi. Ada adagium yang menyatakan jika berita bohong disebarkan terus-menerus dan masif, lambat laun akan dipercaya masyarakat sebagai sebuah kebenaran. Kecenderungan masyarakat Indonesia yang sangat responsif terhadap suatu fenomena merupakan peluang yang sangat mungkin dimanfaatkan orang tidak bertanggungjawab untuk menyebarkan hoaks.

Di era sekarang ini siapa saja bisa menciptakan informasi dengan motif bermacam-macam. Berhati-hati dalam memercayai dan menyebarkan informasi (sharing information) adalah salah satu upaya preventif menghentikan mata rantai penyebaran hoaks. (Harian Media Indonesia, Jumat 13 Januari 2017, h. 9).

‘Jihad’ Membendung Hoaks

Padanan kata hoaks (Inggris), dalam bahasa Arab adalah khad?’ah, khud’ah, dan hilah, dan makr yang berarti menipu dan mengolok-olok. Bila ditelusuri melalui Al-Qur’an, orang-orang yang memproduksi berita hoaks ini pada umumnya adalah orang-orang munafik dengan tujuan merusak agama, adu domba, dan provokasi. Akar kata yang sama dengan khad?’ah dan khud’ah ini terdapat dalam QS. Al-Baqarah [2]: ayat 9. Akan tetapi, didahului oleh pernyataan tentang iman yakni QS. Al-Baqarah [2]: ayat 8, dan dilanjutkan dengan menyebutkan motif memproduksi atau menyebarkan hoaks itu sendiri, yaitu sakit hati, iri, dengki, dan ragu terhadap Islam.

Ini berarti bahwa pekerjaan memproduksi hoaks dan menyebarkannya bukanlah pekerjaan orang beriman, meskipun kebanyakan mereka—yang memproduksi dan menyebar berita hoaks itu—mengaku beriman seperti yang terdapat dalam QS Al-Baqarah [2]: ayat 8. Meski ada yang berpendapat bahwa berita hoaks telah menyatukan umat Islam, persatuan itu tidak lain dari hasil kerja yang batil (salah atau keliru).

Sesuatu yang dihasilkan dari usaha batil, tak akan pernah mendatangkan kebaikan. Sebaliknya, hanya akan menuai keburukan. Adanya ayat ini, dapat dipahami sebagai isyarat bahwa dalam sejarah umat beragama, masalah hoaks adalah lagu lama. Peringatan Tuhan pada manusia tentang berita hoaks, yang telah ada sejak 14 abad silam—dan hingga hari ini masih sangat relevan—menunjukkan hoaks selalu hadir dalam kehidupan masyarakat beragama untuk merusak kerukunan beragama dan menciptakan perang (war). (Opini Harian Umum Republika, Jumat 13 Januari 2017, h. 6).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa berita bohong (hoaks) ini sudah pernah ada dalam lintasan sejarah Islam. Menurut Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Muchlis Muhamamad Hanafi yang juga Direktur Eksekutif Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta ini, menyebarluaskan berita bohong (hoaks) merupakan dosa besar. Tindakan tersebut, ungkap Muchlis, akan menimbulkan fitnah yang merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Dia menyebutkan Rasulullah SAW pernah menjadi korban hoaks. Ini ketika istri Rasul, Siti Aisyah RA mendapat tuduhan berselingkuh. Menurut Muchlis, berita hoaks tersebut sempat menggelinding liar di Madinah seperti disebutkan dalam Alquran surah an-Nur [24]: ayat ke-11 dan 12. Dalam istilah Al-Qur’an, berita hoaks tersebut disebut dengan kata ‘Fâhisyah’ sebagaimana penegasan Al-Qur’an surah an-Nur [24]: ayat ke-19, yaitu sesuatu yang teramat keji. “Bahkan, terbilang dosa besar terbesar,” tulis penyabet gelar doktor di bidang tafsir dari Universitas al-Azhar, Kairo  Mesir ini.

Muchlis mengutip hadits Rasul tentang bahaya hoaks dari riwayat Bukhari. Hadits tersebut berbunyi: “Maukah kalian aku beritahu tentang sebesar-besar dosa besar? Yaitu mempersekutukan Allah dan durhaka pada kedua orang tua. Ketahuilah juga, termasuk perkataan/persaksian dusta/palsu.” Tak hanya terhenti di situ, imbuh Muchlis, Allah SWT menggandengkan dua larangan sekaligus yaitu larangan menyembah berhala yang najis dan larangan berkata dusta sebagaimana penegasan Alquran surah al-Hajj ayat ke-30. Dalam pandangan Muchlis, ini mengesankan dosa penyebar hoaks berada sedikit di bawah dosa syirik. “Penyebar hoaks, awas! Murka Tuhan menanti Anda di dunia dan akhirat (QS an-Nur:19),” tulis Muchlis yang juga Ketua Lajnah Pentashihan Mushaf Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini. (Source: Republika Online, Sabtu 14 Januari 2017 pukul 08.00 WIB).

Berita hoaksyang menimpa rumah tangga baginda Muhammad SAW, Ummul Mukminin Siti Aisyah RA dikenal dengan Haditsul Ifki/yaitu berita bohong/gosip murahan. Disebutkan dalam QS An-Nur [24]: ayat 11-14.

Dalam asbâbun nuzûl-nya dikisahkan bahwafitnah dan pemutarbalikan fakta alias kebohongan besar terjadi atas diri Aisyah sebagai akibat dari kebohongan berita yang disebarkan orang-orang munafik yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.Dalam perang dengan suku Yahudi, Bani Musthaliq, yang populer dengan Perang Muraisi’, Nabi Muhammad membawa Ummul Mukminin Aisyah RA. Selesai perang, pasukan siap untuk pulang, sementara Aisyah RA ingin buang air, lalu beliau pergi menjauh dari pasukan.

Selesai melaksanakan hajatnya, beliau menyadari bahwa manik-maniknya (perhiasan) jatuh, lalu berbalik lagi untuk mengambilnya. Ketika beliau kembali ke tempat semula, beliau mengetahui bahwa pasukan sudah berangkat, dan beliau tidak mungkin menyusul dengan berjalan kaki karena untanya ikut rombongan pasukan itu. Tidak ada orang yang menyadari bahwa Aisyah RA tertinggal.

Aisyah RA terpaksa hanya menunggu, tetapi sampai memasuki waktu malam tidak ada yang datang menjemput. Lalu seorang pemuda muslim bernama Shafwan bin Mu’atthal as-Sulami, yang memilih berangkat paling belakang, melihat adanya sosok perempuan, lalu ia mendekat. Karena sebelum perintah berhijab bagi istri-istri Nabi diturunkan, ia (Shafwan) pernah melihat Aisyah RA. Lalu ia pun tahu bahwa itu adalah Ummul Mukmini Aisyah RA. Ia berteriak sambil mengucapkan Inna lillah wa inna Ilayhi Roji’un, sehingga Aisyah terbangun. Shafwan bin Mu’atthal memerintahkan untanya berjongkok, dan Aisyah menaikinya, lalu mereka berdua menyusul pasukan yang lebih dulu berangkat.

Mereka baru menemukan pasukan ketika pasuka tentara itu istirahat untuk berlindung dari terik panas matahari pada tengah hari berikutnya. Sesampainya di Madinah, berkembanglah rumor yang bersumber dari Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik di Madinah), lalu Hassan bin Sabit (keponakan Nabi sebelum masuk Islam) dan Mistah (keponakan Abu Bakar), bahwa Aisyah RA berselingkuh dengan Shafwan bin Mu’attal. Nabi mendengar berita/gosip murahan/rumor itu terpengaruh dan tidak menegur Aisyah dan hanya berdoa kepada Allah untuk mendapat ampunan dari Allah SWT. Ayat ini menerangkan bahwa Allah mencela tindakan orang-orang mukmin yang mendengar berita bohong (hoaks) itu yang seakan-akan mempercayainya.

Mengapa mereka tidak menolak fitnahan itu secara spontan? Mengapa mereka tidak mendahulukan baik sangkanya (positive thinking)? Iman mereka, semestinya membawa mereka untuk berbaik sangka (husnuzzhan), dan mencegah mereka berburuk sangka kepada sesama mukmin. (Referensi: Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 6, Juz 16, 17, dan 18, Direktorat Jenderal Bimas Islam, Urusan Agama Islam dan Bimbingan Syariah (Urais) Kementerian Agama RI, 2012, h. 573-578).

Pentingnya Tabayun(Klarifikasi)

Berita bohong di era digital kini mencapai puncak kejayaannya. Berita yang lazim disebut hoaks itu kerap tersebar di grup media sosial dari mulai Facebook, Instagram, Twitter, hingga Whatsapp. Hoaks sebagaimana dipaparkan di atas adalah berita palsu yang diproduksi untuk tujuan menyerang orang atau kelompok tertentu. Berita bohong atau informasi palsu ini telah menggerus kaum intelek dan akademisi (sampai bergelar profesor dan doktor) serta melumpuhkan akal sehat kita hingga ke titik nadir. Bayangkan, kaum terpelajar yang semestinya memilah dan memilih berita terlebih dahulu bahkan harus kritis dalam menyerap informasi malah melahap mentah-mentah berita palsu dan menyebarkannya ke orang lain.

Wallahu A’lam.