“Kalau kelaki-lakian hanya ditandai oleh jenggot dan buah pelir, baiklah, seekor kambing jantan juga memiliki keduanya.”
Kalimat di atas termaktub dalam kitab Matsnawi karya Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) jilid V bait ke-3346.
Bagi sufi yang masyhur baik di barat maupun di timur itu, kelaki-lakian secara spiritual merupakan sesuatu yang sangat niscaya di dalam menempuh pendakian rohani menuju kepada hadiratNya.
Tanpanya, para salik akan lunglai dan ambruk di tengah jalan. Ibarat burung-burung yang terhempas oleh badai di tengah kerontang padang pasir yang paling gila dan mematikan.
Akan tetapi, dalam diskursus sufisme pastilah sudah sangat jelas bahwa kelaki-lakian yang dimaksud sama sekali tidak menunjuk pada dimensi fisikal belaka.
Sebab, sebagaimana puisi Maulana Rumi di atas, tanda-tanda kelaki-lakian secara jasmani itu juga dimiliki oleh kawanan binatang seperti jenggot, penis dan pelir.
Di dalam gorong-gorong spiritual, kelaki-lakian itu mesti ditandai oleh adanya kesanggupan menekuk nafsu ammarah, memberangus dengus kebencian, menghilangkan sikap marah-marah, membakar habis caci-maki, melumat kesombongan dan berbagai macam penyakit hati lainnya.
Ketika cecunguk-cecunguk yang keparat itu telah dibereskan, maka akan tumbuh benih-benih bunga rohani yang begitu mengasyikkan sekaligus mengagumkan: cinta, kasih sayang, sikap santun, pertolongan dan penghormatan kepada sesama dan kehidupan. Tidak saja kepada mereka yang sepaham dan satu keyakinan, tapi juga kepada siapa pun yang berdiri di seberang atau bahkan berlawanan.
Begitu pula sebaliknya. Kalau ada orang yang berjenis kelamin laki-laki, berjenggot, mengenakan baju koko dan berbagai atribut keislaman lainnya secara lahiriah, tapi dia masih ditumpangi oleh nafsu ammarah, oleh sifat-sifat kebinatangan, walau dibungkus oleh dalil dan dogma, sungguh secara rohani dia tak lebih dari seorang perempuan tak berdaya. Setiap hari jiwanya ditumbuk oleh penis Iblis.