Tentu saja tidak salah menjadi non-muslim di negeri ini. Tidak salah menjadi seorang pemeluk Kristen atau Katolik atau agama lainnya. Sebaliknya juga tidak menjadi masalah menjadi muslim di negeri mayoritas non-muslim seperti Amerika Serikat. Tapi tentu saja narasi itu menjadi salah dan tidak benar, bahkan mungkin punya tendensi jahat tertentu, ketika orang berteriak di tengah lanskap politik tertentu: “Barack Obama adalah muslim. Dia bukan orang Amerika. Dia Arab, dia orang asing!’’
Atau di sini, minimal sejak Pemilu 2014 lalu, saya membaca dan mendengar narasi bersliweran di medsos atau media gelap seperti Obor Rakyat: “Jokowi itu non-muslim. Dia aseng, dia Cina, dia itu Kristen …. ”a
Jarak AS dan Indonesia begitu jauh, tapi narasinya punya nada dan tendensi jahat yang sama. Di tulusan ini saya tidak akan mengajak Anda untuk membahas soal kesamaan narasi – nada dan tendensinya. Saya hanya akan mengajak Anda untuk mengulas sedikit isi buku yang terbit menjelang penghujung tahun lalu: “Ulama Bertutur tentang Jokowi, Jalinan Keislaman, Keumatan dan Kebangsaan” (Republika/PT Abdi Bangsa, November 2018). Sebuah buku pertama yang, seperti kata cendekiawan Muslim terkemuka Prof. Dr. Azyumardi Azra dalam pengantarnya, secara gamblang menjelaskan jejak religiusitas Jokowi dan keluarga besarnya.
Berbeda dengan kebanyakan tokoh politik lain yang muncul di era paska reformasi, masa lalu Jokowi relatif tidak terlalu dikenal. Dia bukan elit tapi dari kalangan kawula alit – dan karena itu masa lalu Jokowi dan keluarga praktis jauh dari sorot media dan pemberitaan. Dia bukan ketua partai, bukan tokoh militer, bukan dari trah biru. Dia hanya ‘pedagang mebel’. Karena itu berbeda dengan tokoh lain seperti Gus Dur, Megawati, SBY atau Prabowo, jejak masa lalu Jokowi dan keluarga relatif kurang dikenal – kecuali mungkin oleh orang-orang dekatnya. Karena kurang dikenal di level nasional, maka dia menjadi subyek narasi “bebas tafsir” – termasuk menjadi korban narasi “nggladrah hawra kadrah” dengan tendensi tertentu, yang sering menjadi alat serang untuk menjatuhkan legitimasi politik Jokowi: Jokowi non-muslim, Jokowi aseng, Jokowi Cina Kristen … dengan berbagai macam bumbunya.
Nah, buku ini menjadi sumber otentik pertama yang menjelaskan secara lengkap sisi religiusitas dan jejak kultural-keagamaan Jokowi serta keluarga besarnya. Bukan saja religiusitas yang terkait dengan ritual dan ibadah yang menyangkut hubungan murni manusia dengan pencipta (kesalehan individual), tapi juga ibadah-ibadah yang sifatnya berbuat kebajikan kepada sesama (kesalehan sosial). Dan sumber penjelasan itu bukan berasal dari Jokowi atau keluarga Jokowi atau media sosial (yang jatuhnya bisa kurang kredibel bila narasinya bersumber dari sana), tapi dari para ulama, Kyai, dan ibu Nyai, yang menjadi guru ngaji Jokowi dan keluarga, penasehat spiritual, para ulama terkemuka di kawasan Solo dan sekitarnya yang berinteraksi dengan Jokowi dan keluarga besarnya – khususnya masa-masa awal jauh sebelum terjun ke politik; serta para ulama dan tokoh masyarakat di tingkat nasional setelah leverage politiknya naik: menjadi gubernur dan kemudian Presiden Republik Indonesia.
Salah satunya adalah Nyai Hj Lilis Patimah, Pengasuh Pondok Pesantren Khalifatullah Singo Ludiro, pesantren yang berafiliasi ke NU, di Mojolaban Sukaharjo, Solo. Nyai Hj Lilis mendirikan pesantren ini bersama almarhum suaminya, KH Agung Syuhada, seorang ulama kondang di Surakarta. Dari penuturan Nyai Hj Lilis ini kita mengetahui bahwa Jokowi dan keluarga besarnya tak hanya seorang Muslim dalam pengertian ritual personal – menjalankan ibadah salat, berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, menunaikan ibadah Haji; tapi juga Muslim dalam pengertian sosial dan kesalehan sosial.
Dari Hj Lilis kita mengetahui bahwa Mbah Noto, panggilan akrab Ibunda Jokowi Ibu Hj. Sudjiatmi Notomihardjo, tidak cuma seorang Muslimah baik yang tunai menjalankan ibadah pokok. Mbah Noto juga rajin menjalankan ibadah puasa Senin Kemis, aktif di berbagai kelompok pengajian dan membina serta membesarkan (menjadi donatur tetap) pesantren di Solo, salah satunya adalah Pesantren Khalifatullah Singo Ludiro, di Mojolaban Sukoharjo. Pesantren Singo Ludiro tak hanya menjadi bukti kesalehan sosial keluarga besar Jokowi, tapi juga sekaligus saksi hubungan yang spesial antara mbah Noto dengan Nyai Haji Lilis sebagai salah seorang pengasuhnya.
Ketika KH Agung Syuhada meninggal pada Agustus 2017 dan bertakziyah ke Mojolaban, mBah Noto tak cuma berucap bela sungkawa atau nderek donga duka cita ke keluarga almarhum, tapi juga membisikkan kata-kata pendorong semangat yang menguatkan dari seorang sahabat yang sama-sama membesarkan Pesantren Singo Ludiro. “Ibu Nyai Agung jangan takut. Bu Agung jangan khawatir … Kami akan selalu bersama Bu Agung, mendampingi Bu Agung ..,’’ cerita Nyai Hj Lilis. Ucapan yang menguatkan batin, menentramkan hati dan membangkitkan optimisme atas masa depan anak-anak asuh di Pesantren Singo Ludiro yang dirintis bersama almarhum suaminya. Ucapan yang sekaligus menunjukkan kesalehan sosial mBah Noto dan keluarga.
Dari penuturan Pengasuh Pondok Pesantren Motivasi Indonesia Kyai Nurul Huda Haem diketahui bahwa Mbah Noto sudah menjadi aktivis pengajian sejak 1970-an. Salah satu yang rutin diikuti sejak 1970-an adalah Pengajian Ahad Pagi yang diadakan di majelis taklim sahabatnya, Ibu Hj Kusrini. Yang menarik, pada hari yang sama biasanya juga berlangsung Pengajian Majelis Taklim Aisyah yang berlangsung di Kantor Aisyisyah Muhammadiyah yang kebetulan kantornya persis di seberangnya. Majelis taklim Ahad Pagi ini masih berlangsung hingga sekarang.
Meski begitu bukan berarti Mbah Noto dan keluarga tertutup terhadap kelompok lainnya, seperti misalnya Muhammadiyah. Ada salah satu ustadzah yang mengisi ke kegiatan pengajiannya berasal dari Muhammadiyah. Prinsip yang dianut Mbah Noto dan keluarga besar adalah menghormati perbedaan. “.. setiap orang pahamnya beda-beda. Di sana punya dasar, di sini punya dasar. Ndak usah eyel-eyelan,’’ kata Mbah Noto suatu ketika.
Di tengah lanskap lingkungan sosial keagamaan di Solo yang beragam, Mbah Noto dan keluarga juga diketahui aktif di kelompok pengajian bersama di Jl Sambeng, Surakarta. Majelis beranggotakan sekitar 500 orang, dan merupakan gabungan dari berbagai kelompok keagamaan di Solo. Tidak hanya dari kalangan Nahdliyin, tapi juga dari Muhammadiyah, al-Irsyad, MTA, Jamaah Tabligh bahkan dari kalangan Wahabi. Pendirian Majelis Taklim gabungan ini dimaksudkan sebagai wadah untuk menjalin ukhuwah Islamiyah – persaudaraan di antara sesama umat Muslim.
Nah, jika mengutip peribahasa bahwa “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” maka tidak mengherankan jika karakter dan kebiasaan orang tua ini pada akhirnya menurun pada anak-anaknya. Salah satu kegiatan yang diselenggarakan anak-anak dan keluarga besar mBah Noto adalah pengajian rutin kitab “Fath al-Qarib Syarh Taqrib”. Pengajian berlangsung sebulan sekali, dengan peserta serius sekitar 20-30 orang, dan dilakukan di rumah Ibu Hj Titik Relawati, yang juga dikenal sebagai ibu Hj Titik Arief, yang tiada lain adalah adik Jokowi. Lagi-lagi Ibu Nyai Hj Lilis menjadi pengisi rutin kelompok pengajian ini.
Tentu saja ini menarik. Tidak cuma aktivitas pengajiannya, tapi juga apa yang menjadi bahasan pengajian tersebut. Kitab “Fath al-Qarib” merupakan kitab klasik yang popular di kalangan pesantren salaf-tradisional NU. Kitab ini mengulas berbagai hukum syariah atau fikih dengan singkat, padat, dengan pola kompilasi tertentu yang bisa menjadi pintu atau dasar untuk memahami buku-buku fikih yang lebih luas.
Adanya pengajian ini, juga kehadiran Nyai Hj Lilis, tampaknya menegaskan kecenderungan religiusitas kultural keluarga besar Jokowi terhadap tradisi religius-kultural NU. Apalagi jika kita melihat aktivitas pengajian lain yang diikuti mbah Noto dan keluarganya – misalnya pengajian az-Zahra, sebuah pengajian fikih dan hadis khusus untuk ibu-ibu. Para pembimbing yang menjadi pembicara di pengajian ini, misalnya Gus Karim (KH Abdul Karim Ahmad, Pengasuh Pondok Pesantren az-Zayadi, Surakarta), Gus Asfin (Pengasuh Pondok Pesantren al-Huda Ponorogo), dan tentu saja KH Agung Suhada dan istrinya Nyai Hj Lilis Patimah. Pun jika melihat amaliyah sehari-hari keluarga besar Jokowi – seperti wiridan dan tahlilan yang secara kultural sejalan dan punya kecenderungan dekat dengan tradisi amaliyah Nahdliyin.
Selain menular kepada anak-anak perempuannya, darah aktivisme pengajian Mbah Noto tentu saja juga menular ke Jokowi. Pada saat menjadi pengusaha mebel, bersama para pengusaha muda lainnya Jokowi mendirikan Majelis Taklim “Bening Ati” (Bersih Hati). Gus Karim, yang juga dikenal sebagai Kyai, guru ngaji dan mentor Jokowi, rutin mengisi kelompok pengajian “Bening Ati”. Selain Gus Karim, Kyai Abdur Rozaq (pengasuh Pondok Pesantren al-Muayyadi), KH Nahar Surur (Pengasuh Pondok Ta’mirul Islam), dan tentu KH Agung Syuhada (pengasuh Pesantren Singo Ludiro) yang cukup dekat dengan keluarga besar Jokowi ikut menjadi pengisi kelompok pengajian Bening Ati.
Selain menjadi aktivis pengajian, kebiasaan orang tua yang juga menurun ke Jokowi adalah puasa sunah Senin-Kemis. Pengasuh Pondok Pesantren al-Mizan Majalengka KH Maman Imanul Haq, yang akrab dipanggil Kang Maman, punya cerita khusus soal puasa Senin-Kemis. Suatu kali pas hari menjalankan puasa sunah Senin-Kemis Jokowi berkunjung ke pesantrennya di Majalengka. Sebagai tuan rumah, Kang Maman sudah menyiapkan soto kikil yang dikenal menjadi hidangan khas. Kang Maman lalu menceritakan respon Jokowi tentang soto kikilnya: “Kyai Maman, sebetulnya saat ini saya tengah berpuasa. Tapi karena saya menghormati Kyai Maman , saya akan batalkan puasa dan makan sop kikil yang telah dihidangkan ini.”
Gus Karim punya cerita lain tentang Jokowi pada saat masih menjadi Walikota di Solo. Saat itu dirinya berjanji bertemu dengan Jokowi di bandara. Hari sudah sore, dan waktu Maghrib sudah tiba. Lima menit setelah usai melaksanakan salat maghrib, dia melihat rombongan Jokowi, ada sekitar 20 mobil, tiba di bandara. Rombongan langsung masuk ke ruang tunggu, dan lalu makan dan minum di meja yang disediakan ruang tunggu tapi dia tidak melihat Jokowi dan istrinya Iriana. “Sepuluh menit kemudian baru saya melihat Jokowi datang bersama Ibu Iriana. Dari kejauhan saya melihat Jokowi marah kepada anggota rombongan yang lansung menyerbu makan dan minum. Mengapa marah? Dari kejauhan saya mendengar Jokowi berkata: ‘Salat dulu, ini waktunya salat!’ Rupanya, Jokowi dan istri lebih mengutamakan salat terlebih dahulu daripada makan lantaran waktu maghrib yang cukup pendek.”
Mungkin karena penghargaan Jokowi terhadap salat dan waktu salat, maka tidak mengherankan jika kita melihat dalam berbagai kesempatan Jokowi menghentikan pidatonya saat mendengar suara adzan. Itu berlangsung secara otomatis, tidak perlu dibisiki orang lain atau diingatkan untuk berhenti …
Dari berbagai narasi di buku ini kita juga mengetahui cerita kesalehan sosial lainnya. Waktu masih aktif sebagai pengusaha mebel dan belum terjun ke politik, selalu ada produk yang sortiran, belum laku, tidak bisa diekspor karena tidak memenuhi standar yang diperlukan. Jokowi biasanya mengumpulkan barang-barang ini dalam satu gudang, kemudian menjualnya dengan harga murah. Hasil penjualannya lalu disumbangkan ke masjid-masjid, panti asuhan, atau pesantren yang menggratiskan pendidikan untuk para santrinya.
Dengan kumpulan narasi yang dikompilasi dari wawancara dengan ulama, tokoh masyarakat dan orang-orang dekat di sekitar Jokowi dan keluarga besar Jokowi kita mengetahui secara otentik jejak religiusitas keagamaan Jokowi dan keluarga besarnya. Kesalehan personal maupun sosial keluarga itu. Maka sungguh aneh jika muncul narasi yang mengesankan bahwa “Jokowi adalah non-Muslim”, “Jokowi Cina”, “Jokowi PKI”, “Jokowi kafir” dan narasi sejenis lainnya … Minimal narasi yang meragukan “kadar kemusliman” Jokowi dan keluarga, serta mengesankan seolah-olah dirinya lebih Muslim dan lebih baik dari yang mereka narasikan dengan bumbu sedemikian rupa … Tanpa bertabayyun, dengan sumber yang tiada jelas asal usulnya. Kok tega ya?
Ah, langsung ingat sebuah kutipan yang sering ditulis dan disematkan kepada Kanjeng Imam asy-Syafi’i: “Carilah pemimpin yang banyak panah fitnah menuju kepadanya. Ikutlah yang banyak difitnah. Karena sesungguhnya dia sedang berjuang di jalan yang benar.”
*) Eko Supriyanto