Konstitusi memang bukan kitab suci yang tabu untuk diubah. Amerika saja, sebagai kampiun demokrasi, telah berkali-kali melakukan amandemen terhadap konstitusinya. Setiap perubahan amandemen konstitusi di semua negara, termasuk Indonesia saat ini, selalu menimbulkan polemik di publik. Hiruk pikuk isu amandemen ini berdatangan tidak hanya berasal dari pemerintah, tapi juga datang dari masyarakat sipil dan organisasi kemasyarakatan.
Bambang Soesatyo selaku Ketua MPR, saat diwawancarai oleh detik.com, mengatakan bahwa amandemen kali ini terbatas pada pembahasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang bertujuan menguatkan sistem presidensialisme di Indonesia. Dari masyarakat sipil muncul relawan Jokowi-Prabowo yang dimotori oleh tokoh lembaga survei Muhammad Qodari. Alasan yang sering dikemukakan oleh kelompok ini adalah sulitnya mendapatkan sosok pemimpin yang cocok ditengah polarisasi politik yang masih kental di Indonesia hari ini.
Jika dilihat dari narasi kedua belah pihak, semuanya muncul dengan keinginan guna memperbaiki & menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Narasi amandemen ini mendapatkan banyak kritik dari masyarakat sipil ditengah iringan isu penambahan jabatan presiden atau periodisasi presiden. Masalah pandemi yang belum kelar menjadi basis alasan kenapa jabatan presiden harus ditambah atau dirubah.
Melihat hal tersebut, nampak retorika tersebut memiliki nada messiah-complex yang problematik. Ada dua alasan utama, pertama bahwa PPHN tidak mendukung penguatan demokrasi presidensial. Presidensialisme di Indonesia berjalan setengah hati ditengah sistem multi-partai. Kedua, polarisasi merupakan faktor dari semakin liberalnya demokrasi politik di Indonesia. Dan penambahan jabatan periodisasi bukanlah jawaban masalah tersebut.
Retorika Penguatan Demokrasi
Demokrasi adalah konsep yang selalu menarik untuk diperdebatkan. Setelah kemenangan Amerika Serikat pasca perang dunia kedua mengalahkan Uni Soviet yang komunis, demokrasi diterima sebagai nilai universal yang dianggap baik. Karenanya baik pendukung maupun penentang kekuasaan, seringkali melegitimasi setiap perbuatannya dengan mengatasnamakan demokrasi. Tapi bagaimana demokrasi diimplementasikan dalam suatu kerangka kerja sistem pemerintahan tidak selalu berjalan mulus.
Sejak pekik kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, para founding father telah memilih bentuk republik sebagai kerangka sistem tatanegara. Republik berasal dari kata res publica, artinya berkaitan dengan publik. Publik mengatur urusan mereka sendiri. Dalam logika tersebut, demokrasi lahir. Pemimpin Indonesia sendiri telah melakukan uji eksperimen berbagai bentuk demokrasi. Mulai dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin ala Sukarno, demokrasi Pancasila ala Suharto dan demokrasi presidensialisme pasca reformasi yang kita pilih hari ini.
Pasca reformasi, Indonesia memilih menganut demokrasi presidensial sebagai sistem pemerintahan dengan paduan multi-partai. Sebuah perpaduan sistem yang tidak lazim jika dibandingkan negara serupa seperti Amerika Serikat. Hanya ada dua partai, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat. Setiap Partai mencoba merebut suara demi memperkuat posisi mayoritasnya di Parlemen. Presiden dipilih berdasarkan electoral college, bukan popular vote. Sehingga presiden dari partai dengan dukungan minoritas parlemen sulit terpilih. Studi lain (Yuda, 2010) memang menunjukan bahwa demokrasi presidensial yang dipadukan dengan sistem multi-partai tidak efektif. Koalisi yang kuat dan kelihaian politik presiden terpilih merupakan prasyarat penting demi tercapainya stabilitas pemerintahan.
Menghidupkan kembali GBHN atau PPHN bukan merupakan jawaban dari problem demokrasi presidensial multi-partai. Sebab, persoalannya adalah minimnya platform perjuangan partai. Seperti disebut Aspinall & Barenschott (2019), partai di Indonesia bergantung erat pada klientisme karena tingginya ongkos demokrasi. Dalam ketiadaan platform perjuangan, politik Indonesia sangat bercirikan erat dengan demokrasi wani piro. Padahal demokrasi (dan republik) bukanlah tujuan, hal tersebut adalah alat. Alat untuk mewujudkan cita-cita konstitusi ‘masyarakat yang makmur, adil & beradab.
Pembangunan Nir-Ideologi
Jika kita melihat politik identitas yang menjadi fenomen global saat ini, kita paham bahwa polarisasi dan politik identitas lahir dalam jantung negara-negara liberal. Politik identitas adalah efek bayangan dari demokrasi neoliberal. Demokrasi neoliberal bukan hanya memiliki jargon one man one vote, tapi juga menyediakan seperangkat cara pandang ekonomi yang menghasilkan ketimpangan tinggi dan kuantifikasi politik. Bayangkan saja, laporan Oxfam (2017) yang menyebut bahwa kekayaan 4 orang Indonesia setara dengan 100 juta orang termiskin. Padahal jelas dalam Pancasila, sila kelima adalah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Keberjalanan pembangunan politik dan ekonomi yang nir-ideologi berdasarkan nilai keadilan ini yang membentuk psiko-sosial “kita” dan “mereka”. Situasi tersebut diperparah dengan semakin liar dan korupnya keberjalanan politik Indonesia. Karena ketiadaan platform pembangunan alternatif yang jelas dan tingginya ongkos politik demokrasi, politik identititas adalah faktor pendorong suara politik elektoral. One man one vote mendorong nilai kekuasaan individu mengalahkan cita-cita kesejahteraan kolektif. Alih-alih mendorong perubahan periodisasi melalui amandemen seperti dilakukan Qodari, yang lebih kita butuhkan adalah desakan untuk reformasi ekonomi dan redistribusi kekayaan.
Jika kita melihat China yang dianggap mengalami kemajuan menakjubkan bukan semata karena memiliki GBHN. Akan tetapi reformasi ekonomi dalam negri & industrialisasi perdesaan yang masif yang dilakukan sejak 1958. Fiskal keuangan daerah diperkuat melampau besaran fiskal pemerintah pusat. BUMN-BUMN China sehat & diperkuat sebagai stabilisator fiskal negara sebelum mengundang investasi asing. Urbanisasi ditekan dengan memperkuat industrialisasi pedesaan. Justru dengan sistem politik bercorak komunis, China mampu mengembangkan alternatif-alternatif lain dalam kehidupan ekonominya dengan mencari pola terbaik dari berbagai negara yang ada. Dalam hal ini, kita belum bisa memastikan model GBHN yang diterapkan China akan berhasil jika diterapkan dalam sistem demokratis presidensial bukan?