Menjawab Tu: Quo Vadis& Komunisme
Setelah mengutip pepatah Roosevelt bahwa “orang besar membicarakan gagasan, sementara orang kerdil membicarakan orang”, saya kira sanggahan Raden Faqih berikutnya akan lebih layak untuk dibaca.
Saya kira pula kehadiran Mas Sugeng sebulan terakhir ini (sebagai konsultan biomolekulernya) akan mewarnai pola pikir pembatalan silsilah Baalawi menjadi lebih ilmiah dan saintis.
Ternyata, ekspektasi saya terlalu berlebihan, dan enam menit saya sia-siakan untuk membaca dua tulisannya (malah membuat dahi berkernyit dibuat heran).
Apa boleh bikin?
Lihatlah tulisannya yang berjudul “Quo Vadis Pasca Kehancuran Klaim Sesat Ba’Alawi (Kisah Daimyo Sesat & Sang Ronin)”. Tulisan itu tersusun dari (paling sedikit) 40 paragraf, namun hanya satu saja yang layak disebut “membicarakan gagasan”.
Sisanya hanya buih-buih tak tentu arah, definisi umum tentang Ronin (entah apa maksudnya), dan bicara ngalor-ngidur yang tak jelas membahas (si)apa.
Hanya paragraf ke-23 saja yang layak untuk dibahas (selain itu hanya wasting time), yang memuat tiga perkara penting: kitab sezaman, syahadah nasab dari niqobah internasional, dan tes DNA.
Penelitian saya ke Turki, Jordan, Jeddah, dan Madinah mengantarkan saya pada beberapa pengurus niqobah, atau tokoh yang menyambungkan saya dengan niqobat di Timur Tengah.
Bahkan saya ngopi di kantor Direktur Dar Al-Ifta’ Jordania (semacam MUI di bawah otoritas kerajaan, dan niqobah di Jordania berada di bawahnya secara administratif), negara yang berkali-kali disebut Raden Faqih dalam uraian tes DNA.
Menempuh wawancara terbuka dengan pakar dan informan utama (metodologi kuantitatif memang harus melakukan ini, Kiai Imad!), saya menanyakan otentisasi Baalawi sebagai keturunan Rasul.
Niqobah Hijaz, melalui Ibrahim bin Manshur, tidak meragukan kabilah Baalawi. Bahkan ia mengatakan Baalawi terlalu sulit untuk di-ibthal karena kemasyhurannya di Hijaz, Yaman, dan Oman (tasamu’ yang susah untuk dirontokkan, seperti kepopuleran Kaesang yang mau dibatalkan sebagai anak Jokowi). Niqobah Jordania, Turki, Mesir, Iran, dan Irak pun tidak meragukan Baalawi sebagai asyraf.
Negara yang terakhir disebut, yaitu Irak, jauh lebih keren karena Diwan Al-Sadah Al-Uraidli masih berdiri di Najaf sampai sekarang.
Niqobah ini mencatat kabilah-kabilah yang menjadi keturunan Imam Ali Al-Uraidli (ibn Ja’far Al-Shodiq), memiliki musyajjar yang mencatat Imam Ubaidillah ibn Ahmad Al-Muhajir sebagai sosok historis, dan menyebut Baalawi sebagai abna’ al-‘amm (putra-putri paman kami).
Kala saya mengatakan bahwa “salah satu dari ulama kami di Indonesia ada yang meragukan kesadahan Baalawi”, respon mereka hampir seragam: kok, aneh?
Sama anehnya kala ada kabar bahwa Mbah Hasyim Asy’ari mengharamkan Maulid, Muhammadiyah menghalalkan rokok, dan Borobudur dibuat Nabi Sulaiman. Seaneh itulah Baalawi diragukan sebagai keturunan Rasul di telinga mereka.
Tepat di sini saya punya pertanyaan untuk Raden Faqih:
Niqobah mana yang meragukan Baalawi, seperti yang Raden sebarkan di setiap tempat dan video? Jika Raden Faqih punya alamatnya, saya ingin berkorespondensi. Tentu saja yang punya situs resmi, bukan hosting gratisan macam blogspot. Nanti, saya akan memperkenalkan ke Raden siapa saja naqib dan pengurus niqobah yang telah saya temui di Jordan, Turki, Mesir, Iran, dan Irak.
Slebew~
Raden Faqih menilai saya mencederai janji karena dianggap tidak berpikiran sehat dan membuat framing tentang tes DNA. Mari saya tunjukkan bahwa penilaian saya untuk tes DNA tidaklah membual.
Kita mulai dengan silsilah Kanjeng Nabi terlebih dahulu:
Muhammad Saw. (1) bin Abdullah (2) bin Abdul Muthallib (3) bin Hasyim (4) bin Abd Manaf (5) bin Qushay (6) bin Kilab (7) bin Murrah (8) bin Ka’ab (9) bin Luay (10) bin Ghalib (11) bin Fihr (Quraish, 12) bin Malik (13) bin Nadr (14) bin Kinanah (15) bin Khuzaimah (16) bin Mudrikah (17) bin Nabi Ilyas As. (18) bin Mudlar (19) bin Nizar (20) bin Ma’ad (21) bin Adnan (22).
Promosi genetika berikut ini cukup unik, yaitu: J-L859.
Raden Faqih sebenarnya tahu, awalnya Haplogroup tersebut dipromosikan untuk Bani Quraish (12). Pada bagan filogeni, TMRCA dari J-L859 adalah 1400 tahun (yFull, diakses: 1 Oktober 2023, 9PM WIB).
Dalam sumber tradisional muslim, Hasyim bin Abd Manaf (keturunannya disebut Bani Hasyim, [4]) diperkirakan wafat tahun 497 M. Artinya, sekitar 1526 tahun yang lalu (dari 2023).
Ada bias historis sebanyak 126 tahun antara TMRCA dan sumber tradisional muslim (1526-1400=126).
Dalam kajian historis, toleransi “bias” hanyalah 30 tahun. Jika dalam informasi historis terdapat pertentangan tahun namun tidak lebih dari 30 tahun, maka masih bisa diterima. Sedangkan promosi genetika di atas cukup problematik dalam sudut pandang historis.
Jadi, promosi genetika J-L859 untuk Bani Hasyim (4) sebenarnya sudah problematik dari sudut pandang historis (bias 126 tahun). Andaikan dipromosikan untuk Bani Quraish (12), malah lebih problematik lagi. Karena loncatan dari (4) ke (12) menambah bias tahunnya lebih panjang lagi.
Pertanyaan pertama: bagaimana Raden Faqih menjelaskan ini?
Kemudian, J-FGC8712 adalah pola genetika yang cukup unik, karena TMRCA-nya: 3100 tahun (artinya sekitar 1077 BC dari tahun 2023). Ia dipromosikan sebagai jalur Nabi Ibrahim (untuk ke bawah).
Ada bias historis yang sangat parah:
Pada 1200 BC (sebelum Masehi) “Mesir” sudah dikuasai oleh Merneptah, Mesir sudah menjadi sebuah “bangsa”, dan dialah orang pertama yang menyebut “Israil” (sumber: https://www.historyofinformation.com/detail.php?id=1561).
Pertanyaan untuk Raden Faqih: bagaimana mungkin Nabi Ibrahim hidup setelah Merneptah (menurut pola genetika tadi: 1077 BC) seperti kata TRMC? Padahal, Nabi Ibrahim diperkirakan hidup 800 tahun sebelum itu (menurut Injil: sekitar 2000 BC)?
Pertanyaan susulan jika tidak memakai Injil: mungkinkah Nabi Ibrahim hidup setelah nama “Israil” sudah matang dan Mesir sudah menjadi “bangsa”? Padahal, kedua hal itu secara historis baru terjadi jaaauh setelah Nabi Ibrahim wafat? Mungkinkah Nabi Ibrahim adalah cucu Nabi Musa? Sejarah dari mana ini?
Ada yang lebih unik lagi:
Pola genetika J-Y4349 diisi (secara statistik) oleh berbagai macam suku di Arab seperti Qahtan dan Adnan (22) yang menurut sumber tradisional muslim merupakan leluhur Nabi Muhammad (yang berarti mereka keturunan Nabi Ibrahim secara biologis dan historis).
Uniknya, bagan filogeni antara J-Y4349 dan J-FGC8712 (Nabi Ibrahim) ternyata tidak bisa disimpulkan sebagai keturunan biologis. Sementara, sumber tradisional muslim menyepakati bahwa Adnan (22) merupakan keturunan Nabi Ibrahim lewat anaknya yang bernama Ismail.
Pertanyaan untuk Raden Faqih: berapa hadis sahih dan tafsir Alquran yang harus kita buang ke tong sampah jika memercayai ini?
Saya menemukan SNP yang paling menarik:
J-FGC38790 diklaim secara sahih dalam FTDA sebagai keturunan Imam Musa Al-Kadzim. Akan tetapi, menurut FTDA dan bagan filogeni, justru ia tidak termasuk dalam group Husaini (kode promosi: J-FGC30416).
Pertanyaan terakhir untuk ini: bagaimana mungkin keturunan Imam Musa Al-Kadzim bukanlah Husaini (keturunan Imam Husain bin Ali)? Berapa kitab nasab sezaman Imam Musa Al-Kadzim hingga tahun 2023 yang harus kita bakar untuk mempertahankan ini?
Masih ada segudang pertanyaan untuk Raden Faqih tentang tes DNA jika semua ihtimal di atas dia jawab (jika mampu).
Selama ihtimal di atas tidak bisa dijelaskan secara saintifik dan historis, maka saya masih memegang kaidah: idza warada al-ihtimal saqatha bihil-istidlal (kala mengandung kerancuan, maka tidak bisa dijadikan argumen).
Saya memang belum menyampaikan musykilah ini sewaktu sowan di Plered, namun sebagiannya sudah saya kirimkan ke Mas Sugeng sewaktu bertemu Kiai Imaduddin di UIN Ciputat.
Mas Sugeng dan saya sepakat bahwa genealogi adalah fenomena biologis, makanya bisa dilacak dengan tools biologis, seperti tes DNA. Hanyasaja, kami berbeda dengan akurasi tools biologis berjudul “Tes DNA” ini (seperti yFull, FamilyTreeDNA, dan ySec).
Jika termometer Anda terindikasi rusak, dan sewaktu mengukur suhu badan seseorang ternyata sampai 42° (apakah orang bisa hidup jika begini?), manusia yang sehat akalnya akan membuang termometer itu. Bukannya meneruskan diagnosa dan vonis!
Ini bukannya mencederai janji. Bahkan inilah “berakal sehat” itu sendiri, Den. Karena saya bukan anti termometer. Hanya tidak memakai termometer yang terindikasi tidak akurat itu.
Kenapa kita punya pandangan berbeda tentang Komunisme, sementara negara lain tidak (bahkan Partai Komunis masih berdiri di beberapa negara)?
Karena kita, salah satunya, kerap keliru menerjemahkan perkataan Karl Marx!
Ia berkata “religion ist das opium des volkes” dan diterjemahkan secara bebas dengan “agama adalah candu masyarakat” (religion is the opium for the people). Padahal, transliterasi yang benar dari kalimat Marx adalah “religion is the opium of the people”.
Jika Anda bisa berbahasa Inggris, perbedaan antara “for” dan “of” tentu saja berdampak pada arti kedua transliterasi di atas ke dalam bahasa Indonesia dan pemahamannya.
Ada pula insinuasi (akibat sikap PKI sendiri, sih) untuk Komunisme yang diatur langsung oleh ORBA lewat campur tangan ABRI, supaya masyarakat Indonesia memahami Komunisme seperti definisi tunggal milik ORBA, melihat Komunisme seperti kanvas sejarah tunggal milik ORBA, kemudian masyarakat membenci Komunisme tanpa mengerti kenapa.
Saya kebingungan membaca tulisan “Komunisme & Ba’Alawi (Potret Buram Yang Dibingkai Agama)”, karena ide besarnya berangkat dari definisi yang berbeda dengan milik Marx.
Dan sejak kapan Lenin, Trotsky dan Stalin disebut “tiga serangkai”? Ini tidak akan muncul dari orang yang membaca sejarah dengan baik!
Menjawab: Simulasi Peradilan Nasab & Situs Makam
Saat membaca tulisan Kiai Imaduddin berjudul “Kitab Sezaman: Simulasi Peradilan Nasab”, saya tersenyum-senyum. Saat melanjutkan bacaan berjudul “Ba Alawi, Situs Makam Dan Kesaksian Nasab”, saya terbahak-bahak. Disusul melihat thumbnail Gus Hanif Farhan di kanal YouTube-nya menulis “Gus Rumail Diajari Kiai Imaduddin Memahami Manuskrip”, saya hampir terjatuh dari kursi karena terpingkal-pingkal.
Kiai Imaduddin, yang saya yakin cuma memiliki empat halaman (apakah dari Gus Azis Jazuli?) manuskrip Kasy Al-Ghain, perlu ditagih argumennya terlebih dahulu apakah Abu Jadid di sana benar-benar Abu Jadid, ataukah memang salah ketik?
Karena minimal manuskripnya akan menerima empat macam tantangan (saya yakin Kiai Imaduddin mengetahui ini):
Pertama, ada tiga kitab sejarah yang lebih tua ratusan tahun dari Kasyf Al-Ghain (yang ber-tabanni dan memahami dengan baik siapa Abu Jadid). Silsilah Abu Jadid kepada Abdullah ibn Ahmad Al-Muhajir tidak mendapatkan satupun interupsi sejak kitab itu hingga klaim Kiai Imaduddin dengan manuskrip Kasyf Al-Ghain miliknya.
Kedua, dua kitab sejarah yang sezaman Kasyf Al-Ghain sama sekali tidak mengisbat silsilah Abu Jadid kepada Musa Al-Kadzim, hingga 15 September 2023 Kiai Imaduddin mengunggah manuskrip yang hanya ia miliki empat halaman (maksimal) saja.
Ketiga, content analysis (analisa isi) pada manuskrip Kiai Imaduddin perlu dikerjakan dengan mengurai siapa Abu Jadid yang menurunkan Ibrahim Al-Qudaimi. Abu Jadid, dalam silsilah ke atas Qudaimi sampai Musa Al-Kadzim tentu saja disebutkan namanya, karena “Abu Jadid” adalah kunyah yang mewakili musamma.
Setelah ketemu musamma itu, coba Kiai Imaduddin bandingkan dengan kitab sezaman Kasyf Al-Ghain untuk melacak siapa yang menurunkan Ibrahim Al-Qudaimi: apakah bisa dikonfirmasi ia ber-kunyah Abu Jadid ataukah Abu Hidyal? Karena saya telah melakukannya, dan tidak ada konfirmasi selain memang ada typo pada manuskrip Kiai Imaduddin.
Keempat, komparasi naskah lain dengan judul yang sama sudah saya lakukan. Jika Kiai Imaduddin memiliki manuskrip yang saya miliki, tentu ia tahu bahwa ia adalah kompilasi risalah dan salah satunya ialah Kasyf Al-Ghain (makanya diberi judul: Majmu’ Rasa’il, kumpulan risalah-risalah).
Selain risalah Kasyf Al-Ghain, jika Kiai Imaduddin lebih teliti menelaah manuskrip milik saya, ada risalah lain yang ditulis dengan khath yang identik sebagai indikasi: ditulis oleh satu orang penulis naskah pada tahun yang sama. Dan pada akhir risalah dicantumkan kapan ia menukil salinan.
Ini bukan tentang manuskrip Kasyf Al-Ghain mana yang lebih tua, kemudian manuskrip yang lebih tua adalah paling benar. Karena hakikatnya manuskrip milik Kiai Imaduddin (sekali lagi: cuma empat halaman) harus menghadapi empat macam tantangan metodologis termasuk manuskrip milik saya.
Kemudian, saat membaca tulisan Kiai Imaduddin tentang “simulasi peradilan nasab”, saya tersenyum-senyum untuk dua hal:
Pertama, hakim macam apa yang langsung menggelar persidangan kala ada gugatan empat menit sebelumnya?
Hukum itu disusun untuk tiga semangat: menjauhkan orang tak bersalah dieksekusi, salah memaafkan jauh lebih baik daripada salah mengeksekusi, dan asas praduga tak bersalah.
Asas terakhir terinspirasi dari kaidah fikih yang populer: al-ashlu baqa’u ma kana ‘ala ma kana (hukum asal sesuatu ialah status quo), dan kaidah ini diperkuat dengan…
Kedua, al-bayyinatu lil-mudda’i wal-yaminu ‘ala man ankara (bukti wajib dihadirkan penggugat, sementara sumpah menjadi hak tergugat) dan pondasi baro’at al-dzimmah (ketiadaan tuduhan kecuali ada bukti sebaliknya).
Gugatan yang terjadi sekarang ialah Kiai Imaduddin menuduh Baalawi memalsukan silsilahnya. Bukti telah diajukan, namun Baalawi belum bisa divonis dan masih berada pada status quo kecuali bukti-bukti itu memang mengatakan sebaliknya.
Tugas penyidik (atau dalam bahasa saya sebelumnya: detektif) adalah menakar bukti-bukti itu sebelum dibawa kepada proses selanjutnya, yaitu: penuntutan.
Saya sudah menakar lima macam bukti yang disodorkan Kiai Imad (sisanya menyusul), dan kelima bukti itu masih belum layak untuk disebut bukti karena korelatif dan pseudosains (padahal, bukti itu harus bersifat kausalitas). Silakan baca ulang lima sanggahan saya dalam tulisan berjudul: “Nasib Tragis Pendukung Kiai Imaduddin (Jawaban Untuk KRT. Faqih Wirahadiningrat)”.
Bukti berikutnya tentang tes DNA. Selain lima ihtimal yang sudah saya sebutkan di atas, masih ada segudang ihtimal lain yang bisa saya ajukan jika kelima ihtimal di atas dijawab (jika mampu).
Bukti selanjutnya, dan paling pamungkas, ialah sumber sezaman. Untuk hal ini, saya beri contoh kecil biar masuk akal:
Saat Presiden Jokowi dituduh bukan alumni UGM Jogjakarta, seharusnya pihak penuduhlah yang wajib menghadirkan ijazah atas nama “Joko Widodo” dari kampus UNDIP Semarang (sekadar contoh). Presiden Jokowi tidak perlu membuktikannya sendiri karena asas baro’at al-dzimmah tadi.
Saya, anggaplah sebagai Ronin-Yang-Iseng-Namun-Serius yang ikut bermain-main dalam isu yang kontroversial ini, akhirnya punya ongkos untuk pergi ke Sekretariat UGM dan meminta cetak ulang ijazah berregalisir atas nama Joko Widodo.
Kebetulan, pihak kampus memerlukan waktu lebih lama karena Joko Widodo adalah alumni lama yang satu generasinya belum terdirektori dengan baik di database komputer. Tidak seperti generasi sekarang yang tercatat baik secara komputasi dan canggih.
Kendatipun legalisir ijazah Joko Widodo belum saya hadirkan ke publik, minimal banyak orang mengisahkan bahwa ayah atau kakeknya seangkatan dengan Joko Widodo dan mengkonfirmasi bahwa Joko Widodo benar-benar menempuh kuliah di UGM.
Nah, mereka orang-orang ini adalah rakyat Yaman, Oman, Irak, Iran, Turki, Jordan, dan Hijaz beserta ulamanya yang berjumlah lebih dari 50 orang yang mengkonfirmasi Baalawi sebagai Syarif-Husaini. Dan legalisir ijazah itu ialah manuskrip sezaman.
Apakah hakim akan memvonis Joko Widodo atas tuduhan yang tidak kuat ini? Tentu saja penyidik yang melihatnya ihtimal tidak akan meneruskan gugatan kepada tahap penuntutan. Apalagi langsung ke persidangan!
Semoga tulisan ini bisa memijat-mijat Kiai Imaduddin dan KRT Faqih. Nampaknya, sebulan terakhir keduanya nampak letih dan pegal-pegal.