Jawaban Sufisme atas Layaknya FPI Dibubarkan

Jawaban Sufisme atas Layaknya FPI Dibubarkan

Pandangan sufi tentang FPI ini turut menjernihkan situasi

Jawaban Sufisme atas Layaknya FPI Dibubarkan
Ilustrasi: Ketua Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab berorasi di depan ribuan umat muslim yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) saat unjukrasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (1/3/2011). (Foto: tribunnews/herudin)

 

Front Pembela Islam (FPI) adalah organisasi yang kerap kali diposisikan setara dengan kalangan radikal dan tentu bukan tanpa alasan. Sikapnya yang cenderung agresif dan lebih keras terhadap apa yang tidak sesuai dengan ideologinya merupakan salah satu dari sekian alasan itu. Bila dirunut dari sejarahnya, FPI memang mengusung jargot pen Islamisme konservatif. Suatu jargon yang hendak mengembalikan rezim nation satate Indonesia pada konstruk Khilafah atas dasar syariat Islam.

Anda bisa dengan gampang melihat, misalnya pada tabligh akbar FPI tahun 2002 menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan menambahkan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” seperti yang tertera pada butir pertama dari Piagam Jakarta yang dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945.

Dua tahun sebelumnya (2000-red) ormas ini pernah menyerang dan berusaha membubarkan Komnas HAM. Pada 3 Oktober 2004 FPI menyerbu pekarangan Sekolah Sang Timur sambil mengacung-acungkan senjata dan memerintahkan para suster agar menutup gereja dan sekolah Sang Timur. 21 Mei 2006 FPI mengusir K. H. Abdurrahman Wahid dari forum dialog lintas etnis dan agama di Purwakarta, Jawa Barat. Bahkah pada 2018, tahun kemarin FPI kembali berseteru dengan Ansor dan bahkan dengan NU secara berhadap-hadapan dalam kasus pembelaan bendara (yang dianggap) Tauhid.

Dari rentetan sejarah itu, penulis menaruh perhatian tersendiri pada FPI. Sejarah panjang FPI yang tidak berjalan mulus, dapat diterima oleh berbagai kalangan, namun sebaliknya, rentetan aksi-dakwahnya kerap kali menimbulkan perseteruaan dengan berbagai pihak sebagaimana yang telah disebutkan di atras. Atas refleksi dinamika tersebut, penulis menduga terdapat domain yang berjalan pincang dalam tubuh FPI.

Jika memang benar FPI memiliki misi suci mengusung pan Islamisme konservatif yang toh pada kenyatannya banyak memakan korban, belum lagi pertikaian dengan sistem negara yang dianggap tidak islami serta dengan umat lintas Iman yang dipandang talah meresedu Islam sebagai agama mayoritas. Sudah benarkah FPI mengusung visi suci persaudaraan islam yang sempurna? Adakah FPI mendasari gerakannya pada ajaran Tasawuf? Bahkan, akankah FPI memiliki jalan Sufi? yang dengannya kemaslahatan ammah, kearifan sosial, serta pendekatan-pedekatan teosofis esoterik memperolah tempat yang dominan dalam serangkaiann aksi-dakwahnya?

Penulis, dengan memerhatikan lebih seksama terhadap sejarah panjang FPI, berasumsi bahwa ormas ini tidak memiliki jalan sufi. Sebab, sejauh tasawuf mengambil varian penting dalam keberagamaan seseorang, sejauh itu pula Tasawuf menanamkan nilai-nilai luhur, kearifan, perdamaian dan kemaslahatan amah melalui pendekatannya yang sangat luwes. Dan FPI selama ini tidak mencerminkan wajah ini. Maka keberadaan pengikutnya yang terdiri dari kalangan muslim dan juga mu’min pada hakikatnya langkah-langkah yang dikerjakannya selama ini hanyalah bersifat teologis an sich yang kaku. Bahkan juga dimungkinkan aksi-dakwahnya hanya menjadi formalitas yang tidak memiliki ruh. Sebab, pemahaman keberagamaannya tidak dibarengi dengan pendekatan moral etis (ihsan).

Keradaan FPI yang demikian ini mendapat kecaman keras dari pola pandang Al-Ghazali. Bagi Al-Ghazali seorang dapat dikatakan telah menjiwai agamanya ketika ia bisa mengatahui tujuan luhur dari hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu, suatu amal—bahkan aksi serta dakwah—seorang dapat dipandang baik hanya jika amal itu menghasilkan bekas dalam jiwanya yang mengarah pada saadah addarain (Ihya, jilid IV, h. 138.). Dan yang demikian ini hanya dapat diperoleh ketika ia mampu mengendalikan keberadaan dirinya serta mengarahkannya pada nilai-nilai luhur dalam tiga hal, yaitu: mengarahkan akal (al-aql) pada al-hikmah (kebijaksaan), mengarahkan al-Ghadb (kemarahan) pada al-syaja’ah (keksatriaan) dan al-syahwah (hasrat/birahi) pada al-iffah (kesederhanaan/kontrol diri). Ketika kendali ini dapat terkontrol maka ia mampu bersikap adl dan muhsin.

Berdasarkan standar minimal ini, kita dapat menelaah keberadaan FPI dan penulis sudah dapat memastikan bahwa FPI tidak memiliki jalan etik ini. Dalam artian aksi-dakwah FPI tidak dibarengi dengan pendekatan yang luwes, arif, dan adl dalam memandang dianamika sosial. Maka, tak ayal jika FPI cenderung frontal, agresif dan bahkan berlaku makar. Itu artinya FPI membiarkan pola pandang rasionalitas akalnya tanpa terkontrol. Sebagai dampaknya, sifat al-Ghadb (kemarahan/marah-marah) terus berkobar untuk memenuhi hasrat birahinya (al-syahwah).

Terakhir sebagai refleksi atas keberadaan FPI beserta ikhwalnya yang bertentangan dengan ajaran religion etik yang diajarkan Al-Ghazali, maka pantaslah jika FPI dibubarkan saja. Bagaimana menurutmu?