Jaringan Gusdurian merilis pernyataan sikap atas penyerangan terhadap warga yang melaksanakan tradisi Midodareni di Solo pada hari Sabtu (8/8) kemarin. Diberitakan oleh Tempo (9/8), sekitar seratus orang massa intoleran menyerang kediaman alm. Assegaf al-Jufri di Metrodanan, Pasar Kliwon, Solo.
Berdasarkan informasi, acara yang digelar malam itu adalah tradisi Midodareni, atau doa persiapan sebelum upacara pernikahan yang diikuti oleh sekitar 20 orang. Tiga orang luka-luka akibat penyerangan tersebut dan merusak sejumlah kendaraan bermotor.
Di tengah melancarkan aksinya, massa intoleran tersebut memekikkan teriakan takbir, meneriakkan bahwa Syiah bukan Islam, dan penganut Syiah halal darahnya. Massa tersebut tersebut mencurigai bahwa acara Midodareni yang dilakukan malam itu merupakan kegiatan ritual keagamaan diyakini oleh penganut Syiah.
Besar kemungkinan massa intoleran tersebut mencurigai keluarga Assegaf sedang merayakan peringatan tradisi Ghadir Khumm yang diperingati tiap tanggal 18 Dzulhijjah.
Idul Ghadir, atau Ghadir Khumm, adalah sebuah peringatan yang dilaksanakan oleh Muslim Syiah untuk memperingati peristiwa khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW yang bertempat di Ghadir Khum, sebuah tempat di antara Makkah dan Madinah, yang terjadi pada tanggal 18 Dzulhijah 10 Hijriyyah.
Dalam rilis pernyataan sikap yang diterima redaksi Islami.co, Jaringan Gusdurian mengutuk keras terjadinya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Sekaligus mendesak aparat kepolisian untuk segera menuntaskan kasus penyerangan ini melalui mekanisme konstitusi. Berikut adalah enam poin pernyataan sikap Jaringan Gusdurian, berdasarkan edaran resmi dari Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian yang redaksi terima pagi ini (10/08):
Pertama, mengutuk peristiwa penyerangan tersebut karena mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun.
Kedua, meminta kepolisian setempat untuk menuntaskan kasus ini melalui mekanisme konstitusi. Sebagai lembaga negara, kepolisian harus menegakkan hukum tanpa mempertimbangkan opsi harmoni sosial yang hanya akan melanggengkan praktik kekerasan di masa mendatang. Pelaku harus dihukum setimpal dengan undang-undang yang berlaku.
Ketiga, meminta kepada pemerintah daerah agar menjamin keamanan warga negara, khususnya yang berstatus sebagai kelompok rentan. Setiap jengkal wilayah Indonesia harus memberikan rasa aman kepada penduduknya. Negara memiliki tugas untuk mewujudkan keamanan bagi warga negara tersebut.
Keempat, meminta tokoh agama setempat untuk bahu-membahu menebar gagasan agama yang penuh rahmah. Intoleransi terjadi salah satunya karena adanya ideologisasi nilai-nilai eksklusivisme yang dibalut dengan semangat keagamaan. Padahal sejatinya agama mengajarkan manusia untuk mensyukuri perbedaan sebagai karunia dari Allah SWT.
Kelima, mengajak para GUSDURian dan masyarakat pada umumnya untuk terus merawat semangat Bhinneka Tunggal Ika sebagai warisan para pendiri bangsa. Sejak didirikan, Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, adat istiadat, dan lain sebagainya.
Keenam, menyerukan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk tidak menggunakan kekerasan dan ujaran kebencian pada mereka yang berbeda. Sebagaimana kata Gus Dur, kemajemukan harus bisa diterima tanpa adanya perbedaan.
Jaringan Gusdurian adalah komunitas perkumpulan anak muda yang berupaya memelihara warisan KH. Abdurrahman Wahid dan meneruskan perjuangannya. Komunitas ini dipimpin langsung oleh Alisssa Wahid, putri sulung Gus Dur sebagai koordinator nasional seketariat nasional.