Jangan Sungkan, Panggil Saja Saya Kafir

Jangan Sungkan, Panggil Saja Saya Kafir

Bilang aja saya kafir, memang masih di situ kok

Jangan Sungkan, Panggil Saja Saya Kafir

Selain bodoh, saya ini pengecut. Begitu takut dengan banyak hal. Takut yang mengantarkan saya menjadi pribadi yang tidak suka banyak hal. Tidak suka yang membawa pada kebencian. Hingga akhirnya saya menjadi diri yang tidak bisa adil terhadap apapun. Pikiran saya tak adil. Perasaan saya tak adil. Kelakuan saya tak adil. Dan jadilah saya manusia yang terus menutup-nutupi ketidakadilan. Tentu saja dengan mencari berbagai pembenaran. Pembenaran yang bisa membela diri dari sebuah kesalahan. Hingga kebenaran bagi saya adalah kebenaran semu. Kebenaran palsu.

Lihat saja, betapa sering saya menginginkan sesuatu tapi malah melakukan hal yang menjauhinya. saya berharap keselamatan, kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraan tapi malah melakukan yang mencelakakan, menggaduhkan, dan bahkan menyesatkan. Mendengungkan syariat tapi malah merusak syariat. Meyakini Allah Maha Segala, tapi masih ragu akan kuasa-Nya. Sungguh betapa “kaburo maqtan” diri ini.

Tak jarang keinginan-keinginan itu khusyuk saya sampaikan lewat doa, tapi setelahnya suara dan kata-kata saya malah melukai dan menyakiti orang-orang. Saya mencoba fokus dan khusyuk dalam shalat, tapi mengoyak silaturahmi dan ukhuwah kepada manusia. Betapa saya ingin Tuhan dekat dengan saya, tapi saya tidak melakukan pendekatan kepadanya. Betapa senang dan sukanya saya pada keindahan alam; air terjun, laut, danau, dan gunung, tapi malah merusak semua dengan sampah dan serapah laku dan ucap diri ini pada mereka. Betapa manjanya diri ini. Ingin selalu “di-” dan lupa “me-“. Betapa egois dan serakah diri ini.

Ya, semuanya karena diri ini pengecut dan terlalu takut. Saya lupa pada pesan Imam Al-Ghazali agar mengiri takut (al-khauf) dengan harap (al-roja). Ketika ingat ada harap, saya malah terlena. Lalu mabuk dengan hanya berharap. Terus berharap. Seperti assalamualaikum warohatullahi wa barokatuh yang sering saya ucap. Hanya menjadi bentuk sapa formal. Hanya suara yang terkesan dan terdengar islami di telinga. Padahal itu semacam janji. Semacam kesepakatan. antara saya dan orang lain untuk saling mendoakan. Tak hanya itu. Salam itu pun seperti kontrak sebuah proyek untuk saling menjaga satu sama lain. Apa yang dijaga dan untuk apa?

Assalam, salah satu nama Allah yang bisa berarti segala yang buruk dan tercela tidak ada pada-Nya, kesejahteraan dan keselamatan memang milik-Nya, dan semua itu bersumber dari-Nya. Lalu Allah menurunkan “assalam” ke bumi untuk disebarkan agar tercipta kedamaian, ketenangan, dan keindahan. Ketika saya mengucap salam, semestinya diikuti pengakuan bahwa orang lain wajib mendapat perlakuan baik. Mengakui bahwa kesejahteraan, kebahagiaan, dan keselamatan wajib saya berikan. Sayangnya, seringkali saya merasa sayalah yang paling berhak atas semua itu.

As-salam yang saya ucap dan ikrarkan sering tak diikuti dengan rahmat. Tak saya barengi dengan perlakuan, ucapan, dan tindakan yang penuh kasih sayang. Kalaupun menyayangi, saya masih pilah pilih. Hanya kepada mereka yang saya sukai. hanya kepada mereka yang tak berbeda.

Hanya kepada mereka yang bisa menguntungkan dan memberi kesenangan buat saya. Sungguh, betapa malu diri ini, ketika berharap disayangi Tuhan, tapi tidak menyayangi makhluk-Nya. Saya teringat orang-orang yang pernah saya sakiti. Sungguh ingin saya memohon maaf. Sekiranya dengan begitu Allah mau merahmati saya. Maafkan saya semua. Maafkan saya segala.

Karena sudah mengingkari “assalam” dan “rohmatullah”, seharusnya saya terima jika “barokah” menjauh dari ini. Saya masih sering merasa takut. Masih sering mengeluh. Masih sering berburuk sangka. Masih sering menyakiti orang lain. Masih sering merasa kurang hingga melakukan korupsi, menipu, bahkan mencuri. Tak pernah cukup diri ini terhadap apa yang tersaji dan dimiliki. Padahal tak mungkin saya bisa mengembalikan semua nikmat yang diberikan Allah. “Fain ta’uddu ni’matallahi laa tuhshuuhaa”.

Dan wajarlah jika diri ini dicap sebagai hamba yang tidak bersyukur. Kufur. Kata kufur yang satu akar dengan kafir. Jadi, saya kafir dengan segala kelakuan dan ucapan. Ya, sayalah si kafir itu. Maka, silakan teriaki saya kafir. Dengan lantang. Jangan sungkan.