Jangan Overdosis Rekreasi!

Jangan Overdosis Rekreasi!

Jangan Overdosis Rekreasi!
Ilustrasi: Muhammad Abdul Syukri, mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik University of Duisberg-Essen Jerman ini nekat jalan-jalan pakai sarung di Berlin. Poto itu pun menjadi viral dan akhirnya membuat gerakan Sarungan Challenge di banyak tempat.

Saat hari libur, setiap orang tak akan ingin melewatinya dengan rutinitas yang sama seperti hari biasa. Holiday, kata orang Inggris, uthlah menurut orang Arab, Urlaub ucap orang Jerman, dan libur begitu orang Indonesia menyebutnya. Istilah-istilah itu meskipun beda penyebutan, namun satu tujuan, berhenti dari aktivitas kebiasaan. Bagi pekerja, ia tidak akan kembali bekerja di hari itu. Siswa juga tidak lagi berangkat ke sekolah di hari yang sama.

Ada segudang pilihan mengisi hari libur. Sebagian memilih menghabiskannya dengan kegiatan rekreatif. Wahana hiburan menjadi tempat yang sering dipilih banyak orang. Wisata atau rekreasi, begitu kegiatan berlibur disebut. Bersinonim dengan tamasya atau piknik. Sedangkan subjek yang berwisata disebut wisatawan atau pelancong.

Wisata bertujuan menyenangkan diri dengan menikmati apa yang disukai dan tidak bisa di lakukan di hari-hari biasa. Pantai, gunung dan destinasi lain menjadi objek memperoleh kesenangan. Biaya yang mahal tak menjadi adi persoalan. Lelah perjalanan jua menjadi halangan. Demi suatu kebahagiaan. Karena hidup adalah bahagia, begitu Aristoteles (322 BC) menyebut eudaimonia sebagai hal yang basis pada diri manusia.

Berburu bahagia wajar bagi manusia. Dan tak ada seorangpun yang ingin tidak bahagia. Meskipun faktanya tidak semua merasa bahagia. Bisa saja sesaat orang tak bahagia, mendadak bahagia karena menjumpai suatu yang menyenangkan atau menggembirakan. Sebaliknya, saat ia menjumpai suatu hal yang menyusahkan atau menyedihkan, mendadak ia tidak bahagia. Bahagia berarti kondisional dan situasional.

Karena sifatnya yang temporer, bahagia harus diusahakan agar menetap dan tak sirna melalui stimulan kesenangan. Wisata menjadi salah satu bentuk stimulan yang melahirkan bahagia karena ada unsur kesenangan dan hiburan di dalamnya.

Indonesia memiliki banyak destinasi wisata. Panorama alam yang kaya nun indah menjadi anugerah terindah dari Tuhan yang patut disyukuri. Sebutan zamrud khatulistiwa pun disematkan oleh pelancong dunia padanya. Eksotika alam, budaya dan kuliner terpapar membangun gugusan kepulauan.

Suasana gembira mungkin ditemukan saat berwisata. Namun, tak jarang wisata justru menjadi petaka yang menyengsarakan bagi sebagian orang. Kemungkinan buruk wisata harus juga disadari.

Zaman now, sulit rasanya tak menemui “macet” di jalanan. Jangankan ketika momen libur, di hari biasa pun sama. Kemacetan bisa menjadi petaka saat libur. Bagi sebagian orang, macet adalah kiamat kecil yang menjadi penderitaan tiada akhir, itu kata Pat Kei. Sebab, macet tidak saja menyerang fisik tapi juga mental.

Maklum saja, untuk orang Indonesia liburan kesannya serentak pada sikon-sikon tertentu. Tanggal merah, khalayak menyebutnya begitu. Bisa karena peringatan Hari Besar Agama atau momen-momen Nasional. Beruntung, kalau tanggal merah berurutan dengan akhir pekan. Liburnya jadi panjang. Menggugah siapapun untuk tidak menyia-nyiakan, duduk di rumah tanpa jalan-jalan.

Jika jutaan warga negara Indonesia di mana pun berpikiran sama, dapat dipastikan macet akan terjadi di mana-mana. Mentalitas umum masyarakat yang lebih memilih kendaraan pribadi daripada transportasi umum adalah salah satu penyebab kemacetan itu.

Tidak hanya macet, bahagia ketika berlibur akan terancam gagal jika terjadi overdosis rekreasi. Ini lagi-lagi tentang mentalitas yang berlaku umum. Al-Quran telah mewanti-wanti agar setiap muslim tidak mengumbar nafsu, berperilaku israf pada Q.S. al-A’raf [7]:3.

Artinya, berlebih-lebihan sejatinya merupakan hal yang sangat lumrah bagi manusia, karena ada kehendak pada dirinya yang selalu mendorong agar tidak puas di titik tertentu. Karena kehendak pula manusia bergerak dan berubah dalam hidup, sehingga dunia ini selalu bergerak serta kehidupan berjalan terus. Kehendak akan selalu tertanam bagi orang yang hidup, dan tugas manusia adalah mengendalikannya agar tidak melampaui batas.

Rekreasi merupakan bagian dari keinginan yang lahir dari kehendak untuk merengkuh kenikmatan, kesenangan dan hiburan yang mengantarkan pada kondisi bahagia. Tapi, kecenderungan yang berlebihan justru tidak mengarahkan ke hal yang positif, malah bisa berdampak negatif.

Suatu misal, ketika seseorang berekreasi tanpa pertimbangan kemampuan finansial dan fisik. Ini sudah termasuk berlebihan seperti yang tersurat di QS. al-Furqan [25]:67. Belum lagi ada unsur gengsi atau sekedar mengikuti tren masa kini. Kasus hilangnya nyawa saat momen rekreasi karena berswafoto menuruti hasrat diri yang tak terkontrol menjadi ibrah yang berarti dari overdosis rekreasi.

Tidak selesai di sini. Sering kali rekreasi bertalian erat dengan kebiasaan konsumtif. Perut juga bisa menjadi penyebab gagal bahagia saat momen rekreasi. Ragam kuliner yang menggoda membuat nafsu diumbar, tidak ingat lagi hipertensi, kolestrol dan asam urat. Tahunya, ini liburan. Toh, tidak tiap hari.

Persoalan mentalitas bagaimana porposional dalam banyak hal, nyata merupakan ihwal yang langka. Pastikan rekreasi anda selalu dalam batas resep tidak overdosis. Wa Allah A’lam.