Jika memeluk Islam memerlukan alasan-alasan logis, salah satu alasan saya ialah karena Islam punya banyak unsur yang dapat digunakan sebagai mekanisme pengendalian diri. Kita tahu, hidup ini terlalu menyeramkan untuk dijalani jika tanpa segudang petunjuk, alat bantu hingga iman. Kita beriman ada dunia setelah kehidupan, yakni akhirat, sehingga apa pun yang terjadi, kita memilih berjuang untuk hidup. Tetapi, sebagaimana kesedihan yang berlebihan, kebahagiaan yang berlebihan juga konon menyeramkan. Ada banyak kasus artis bunuh diri, sebut saja vokalis band grunge Nirvana yang masyhur itu, yang memutuskan mengakhiri hidup justru ketika di puncak karir.
Islam menyediakan instrumen untuk pengendalian diri yang membuat hari-hari yang berisi kebahagiaan dan kesedihan jadi stabil. Puasa, misalnya. Andai saja Kurt Cobain mengenal puasa, mungkin ia tak buru-buru mengakhiri hidup sebab ia merasa segala hal telah cukup.
Selain urusan menahan kuasa perut, puasa sering memberi ruang manusia untuk mengambil jeda, mengingat segala hal yang sudah sambil mengevaluasi banyak yang belum datang agar dapat dipersiapkan dengan lebih baik.
Islam juga meminta manusia berzakat. Konon, zakat membuka kesadaran manusia bahwa harta yang kita miliki bukan sepenuhnya milik kita, ada hak orang lain yang barangkali punya peran dalam nikmat yang kita peroleh namun sering kita lupakan. Zakat mengajarkan manusia untuk mengingat manusia lainnya, membunuh egoisme kepemilikan yang kerapkali menyeramkan itu.
Ritual haji banyak menyajikan simbol-simbol pulang. Haji diasosiasikan dengan rumah Allah. Haji juga sekaligus menengok makam Rasulullah, puncak kesempurnaan penciptaan. Di tempat paling suci itu, manusia melepaskan pakaian sehari-hari yang bergelimang perhiasan, diganti balutan kain ihram yang polos putih. Rambut dicukur. Menjalani aktivitas-aktivitas fisik yang penuh pemaknaan. Ketika berhaji manusia merasa tidak memiliki sesuatu pun, fokus mengingat Allah, dan amat berhati-hati sebab takut berbuat dosa.
Satu ibadah paling penting yang menjadi tiang agama Islam ialah sholat. Di dalam sholat ada takbir yang menggaungkan kebesaran Allah Swt. Lafaz takbir bukanlah lafaz yang sekadar diteriakkan lantang untuk puja-puji. Lafaz takbir sekaligus simbol perlawanan kepada sifat-sifat diri yang kerapkali merasa bisa. Takbir yang artinya Maha Besar, membuat manusia merasa kecil sekecil-kecilnya. Ketika merasa paling kecil, ia tidak melihat manusia lain di sekitarnya lebih rendah darinya, sebab kompetisi manusia adalah berlomba-lomba menjadi yang paling dicintai Tuhannya.
Takbir yang terdengar di jalanan akhir-akhir ini begitu menyeramkan. Pada pemilihan Gubernur Jakarta, anak-anak berteriak takbir sambil menyanyi yang berisi seruan untuk membunuh orang lain. Dalam mobilisasi massa aksi politik, takbir diteriakkan untuk memenangkan kekuasaan.
Hari-hari ini, di helatan Car Free Day yang seharusnya menjadi ruang publik untuk bersosialisasi dan bersaudara di akhir pekan setelah hari-hari sibuk di kantor, takbir diteriakkan untuk merundung kelompok-kelompok yang berseberangan kepentingan. Bersama takbir, manusia justru merasa paling benar dan memperoleh kekuatan untuk mempropaganda dan menakuti orang lain.
Takbir semacam itu sama sekali bukan takbir yang kucari dalam Islam. Ia tak hadir bersama keimanan pada yang Maha Besar, melainkan hadir bersama syahwat-syahwat setan.
Tahun-tahun yang dipenuhi kampanye penuh sesak dengan hasrat mengalahkan pihak lain. Padahal, inti kepemimpinan sesungguhnya adalah keadilan. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada.” Sepertinya memang mustahil ada kehidupan jika tanpa keadilan, yakni segala sesuatu ciptaan yang terletak sesuai porsi dan tugas masing-masing.
Teriakan-teriakan yang menakuti bahkan kepada anak-anak kecil itu, dapatkah diharapkan untuk menciptakan keadilan? Mengapa kita repot-repot menyelenggarakan pesta memilih pemimpin jika hanya untuk mencederai kemanusiaan dan menghancurkan harapan orang lain?
Tinggalkan takbir di sudut ruang sunyi ibadahmu saja, jika di luar ruangan itu, kau menjualnya murah untuk menyakiti sesama.