Yogya sedang gerimis tipis ketika hampir tengah malam, kami sedang berada di sekitar Tugu. Linimasa akun fesbukku seperti biasa, begitu menyenangkan. Aku berkawan dengan lingkar pertemanan pegiat medsos santri, mereka giat membagikan foto-foto tokoh NU, seperti Maulana Habib Luthfi Bin Yahya, Gus Mus, Gus Miek, Gus Maksum, dan banyak lagi wajah meneduhkan itu. Tentu, lengkap dengan cerita-cerita perjuangan dan kisah jiwa para kiai sepuh yang luas menyamudera.
Dua pekan lalu, misalnya, selewat di beranda adalah gambar Gus Mus sedang mendorong kursi roda Romo Kiai Haji Maimoen Zubair. Gambar itu menyiratkan kisah tentang hubungan unik Ponpes Al Anwar, Sarang yang diasuh KH Maimoen dan Ponpes Roudhotut Thalibien, Leteh yang diasuh oleh Gus Mus. Meskipun sama-sama dalam satu kawasan Rembang, dua pondok pesantren ini memiliki kultur yang amat berbeda.
Ponpes Leteh, bisa dibilang “lebih longgar” dalam urusan pengambilan ijtihad dibanding Ponpes Sarang. Santri Sarang, terkenal lebih solid dalam hal syariat, sedang Santri Leteh, bisa disebut lebih modern. Maklum, letak Leteh secara wilayah juga lebih dekat dengan alun-alun Kota dan pusat pemerintahan. Lagi, pengasuhnya nyeni begitu.
Dalam beberapa peristiwa politis, keduanya bahkan kerap ‘dianggap’ berbeda, entah berhadapan atau sengaja dihadap-hadapkan oleh media dan publik. Dalam kasus pertikaian semen Rembang, misal. Gus Mus, beberapa kali memberi dukungan terhadap perjuangan warga Gunem yang menolak pendirian pabrik PT Semen Indonesia. Belakangan, media bilang bahwa Mbah Maimoen justru mendukung pendirian pabrik PT Semen.
Sebagai anak kemarin sore yang awam, saya memutuskan untuk tidak turut komentar. Jumlah masyarakat banyak dan beragam, dan seperti setiap Umara dalam sepanjang sejarah yang tidak bisa menyenangkan semua orang. Bagi pendamping masyarakat seperti beliau, pertimbangan penting adalah keseimbangan dalam masyarakat agar tidak terjadi chaos berlebihan.
Gambar Gus Mus mendorong kursi roda Mbah Maimoen adalah narasi kerendahan hati. Mbah Maimoen adalah santri KH Bisri Mustofa, Abah dari Gus Mus. Dan meskipun beliau berdua kerap berbeda ijtihad, Mbah Maimoen tetap menghadiri haul KH Bisri Mustofa dan saling mengahdiri hajatan kedua pondok pesantren salaf tradisional itu.
Saya tiba-tiba iseng bertanya pada teman di samping saya.
“Kalau saya nulis tentang para kiai dan ke-NU-an gitu, apa perasaanmu?”
Teman saya tersenyum. Lalu malu-malu menjawab:
“Sejujurnya, saya nggak ngerti. Bahkan kadang-kadang, saya pikir kamu berlebihan. Apa menariknya gambar Gus Mus mendorong kursi roda Mbah Maimoen. Atau apa mengharukannya foto-foto Habib Luthfi yang kamu bagikan di linimasa sambil menangis itu.”
Hening. Sejurus kemudian saya tersenyum. Saya ingin menjelaskan kepada sesuatu, namun ia menyela lebih dulu.
“Tapi aku mengerti. Seorang temanku nonton kartun Chibi Maruko Chan saja menangis. Ketika Chibi Maruko tidak boleh masuk rumah karena terlambat pulang dari sekolah, barangkali tiap orang memang punya dimensi keharuan masing-masing. Seringkali, serupa ingatan yang aneh.”
Saya memahami pengertiannya. Betul juga, barangkali sumber keharuan itu ialah sebab saya paham betul bagaimana pengasuh pondok dan guru-guru di pesantren mendedikasikan waktu mereka untuk santri dan masyarakat. Saya sering terlintas, mengapa dengan privilege ilmu dan harta yang mereka miliki, para guru tidak haus dengan kuasa serta panggung politik, namun memilih pulang, mundur ke desa-desa untuk mendidik.
Saya juga teringat sebuah pengalaman. Di stasiun sambil menunggu kereta, seorang teman mengamati saya yang sedang menimang-nimang buku biografi KH Bisri Syansuri.
“Kenapa bukunya harus dicium sesekali begitu?”
“Kebiasaan.”
“Artinya?”
“Tiap sebelum mulai ngaji, kami harus “wisuh”/ “ijik” dengan alfaatihah dan mencium kitab. Sekadar sapaan dan ngalap berkah pada Musonif, pengarang kitab.”
“Berkah?”
“Ya. Artinya… Sedikit yang kau pahami tidak apa-apa, asal membawamu kepada keluhuran. Sedikit yang kau dapat tak apa asal membawa kebaikan dalam hidup. Ilmu itu, sedikit tapi membawa manfaat. Kalau sekadar pengetahuan… Banyak, tapi mungkin belum jadi ilmu. Ilmu itu mesti ada gurunya, mesti mengendap.. Yah, begitulah kira-kira karya Syaikh Az Zarnuji.”
Kali lain, menjelang hari santri. Di sudut-sudut kota penuh dengan nuansa Nahdhatul Ulama, ormas yang paling merasa memiliki hari santri sebab mengenang sejarah pendirinya.
“Mengapa orang NU itu suka sekali memasang foto orang mati?”
“Heh. Itu gambar Mbah Hasyim. Hati-hati kau bicara.”
“Ya, itu gambar Mbah Hasyim. Bukan pribadi Mbah Hasyim. Anak NU sepertimu selalu memasang rupa orang mati. Di jalan, di dinding rumah, di makam, di wallpaper handphone. Itu mengapa kalian dibid’ah-bid’ah kan.”
“Bagaimana kau menyaksikan Allah dan Nabi Muhammad?”
“Aku berdoa. Tidak perlu memasang wajah orang mati di tiap tempat.”
“Kau masih pakai sajadah?”
“Ya.”
“Padahal puisi Gus Mus justru ada yang bilang bahwa sajadah itu bisa jadi tak penting. Semacam dari tanah, kembali bersujud ke tanah…”
“Apa maksudmu?”
“Dulu di masa kecil, kau pernah sholat sambil merem tidak? Kadang-kadang, di dalam pejam, kau bayangkan Allah berbentuk kaligrafi yang bercahaya. Kaligrafi bercahaya itu, kadang-kadang kau munculkan juga di hamparan sajadahmu. Mengapa? Manusia yang terbatas ini selalu perlu semacam perantara untuk mengejar sesuatu yang belum mampu ia jangkau. Umat Kristiani butuh patung Yesus, tapi bukan berhala itu yang mereka sembah. Mereka menyembah ruh Bapa. Kami bukan memberhalakan orang mati, kami hanya membawa mereka dekat, sebab kami ini manusia yang mudah lupa…”
Malam itu, Mars Syubbanul Wathon mengalun ceria di Kompleks PP Wahid Hasyim Ciganjur.
Dalam kondisi semacam itu, saya sering tidak peduli pada teori imagined communities dan lupa jadi kosmopolit. Kita merasa aman ketika diikat oleh simpul serta seragam. Seperti itu pula kita harus memahami dakwah kawan-kawan Muhamadiyah dengan lembaga-lembaga amalnya, juga Jamah Tabligh, dengan kerelaan fisik dan waktunya, misalnya.
Semua bentuk dakwah yang mengajak dengan santun adalah kawan kita. Musuh kita, selamanya adalah keculasan dan kesombongan, juga nafsu untuk menganggap orang lain sebagai liyan sehingga muncul peperangan.
NB: Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan INF