Sejak awal perkembangannya, Islam telah memiliki atribut atau gelar untuk orang-orang yang berdakwah dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Gelar yang begitu sakral dalam Islam dan hanya berhak disandang oleh orang-orang yang benar-benar berada pada makam tersebut adalah gelar ulama.
Kata ulama berasal dari bahasa Arab (علماء) yang merupakan bentuk jamak dari kata عليم, yang mempunyai arti orang yang berilmu atau orang yang mengetahui. Ulama dalam Islam adalah pewaris para nabi, sebagaimana hadis Rosulullah SAW yang diriwatkan oleh Imam Bukhori;
إن العلماء هم ورثة الأنبياء .
Ulama adalah gelar tertinggi dalam Islam, walaupun secara bahasa dia bermakna umum, yaitu orang yang mengetahui. Namun secara istilah, ulama mempunyai sebuah definisi yang begitu ketat dan tidak bisa diberikan kepada sembarang orang. Ulama adalah pelita dipermukaan bumi ini, sebagai pemegang estafet kepemimpinan para Nabi, yaitu dalam menyampaikan kebenaran kepada manusia sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Dalam Tafsir fi Dzilali Al-Qur’an karya Sayyid Qutb, ulama adalah orang-orang yang memikirkan dan memahami apa yang terkandung dalam Al-Qur’an “(العلماء هم الذين يتدبرون الكتاب العجيب (القرأن”.
Dalam artian, ulama adalah orang yang menguasai segala keilmuan yang terdapat dalam Islam, sehingga mampu memahami dan menggali apa yang terkandung dalam Al-Qur’an dan juga Hadis. Baik itu dari aspek hukum, hikmah, sejarah dan lainnya.
Namun selain itu, ulama juga bukan hanya seorang yang mempunyai kemampuan untuk memahami apa yang ada dalam dua sumber utama dari ajaran agama Islam yang dibawa Rasulullah SAW, Al-Qur’an dan hadis, tetapi juga harus mempunyai rasa takut kepada Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Faathir ayat 28;
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ، إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ، إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ.
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun(.
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, mengambil pendapat atau tafsiran dari Hasan al-Bashri. Mengatakan;
العالم من خشي الرحمن بالغيب ورغب فيما رغب الله فيه وزهد فيما سخط الله فيه
“Bahwasanya orang alim (ulama) adalah orang yang takut kepada Allah SWT yang tidak nampak, dan senang kepada yang disenangi oleh Allah SWT serta meninggalkan apa yang dibenci oleh Allah SWT.”
Dari penjelasan tersebut, bisa difahami bahwasanya seorang ulama selain menguasai ilmu agama yang mendalam, juga harus mempunyai akhlak yang terpuji dan rasa takut kepada Allah SWT.
Lebih lanjut, Prof. M Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah, mengatakan bahwa ulama adalah seseorang yang mengetahui baik dengan ilmu agama ataupun fenomena alam, sehingga dengan pengetahuannya mengantarkan dirinya khasyah (takut) kepada Allah SWT.
Khasyah dalam artian rasa takut yang disertai penghormatan yang lahir akibat pengetahuan tentang objek, sebagaimana yang diungkapkan oleh ar-Raghib al-Asfahani dalam kitabnya Mu’jam Mufradat al-Fadz Al-Qur’an. Orang yang memiliki sifat tersebut adalah seorang ulama, sedangkan orang yang tidak memilikinya bukanlah seorang ulama.
Kenapa yang mempunyai sifat tersebut hanya ulama? Karena seorang ulama tentu saja mengetahui dan menguasai ilmu fikih, tafsir, tauhid, tasawuf, hadis dan berbagai keilmuan lainnya, seperti nahwu, shorof, bahkan juga ilmu-ilmu yang bersifat umum. Dengan pengetahuannya itu, dapat memunculkan rasa takut kepada Allah SWT, serta menimbulkan perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh ulama tersebut, karena merasa selalu diawasi oleh Allah SWT.
Berdasarkan penjelasan di atas, ada empat hal yang dijadikan kriteria apakah seseorang bisa termasuk kategori ulama.
Pertama, dia mempunyai pengetahuan yang jelas terhadap agama, kitab suci, dan ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasan Allah SWT yang ada di bumi dan alam semesta ini.
Kedua, pengetahuan tersebut mengatarkannya memiliki rasa khasyah (takut) kepada Allah SWT.
Ketiga, mempunyai kedudukan sebagai pewaris para Nabi, dengan mampu mengemban tugas-tugas sebagai seorang yang menyebarkan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW, dengan benar sesuai perintah Allah SWT.
Keempat, mempunyai kedudukan yang tinggi disisi Allah SWT.
Jadi gelar ulama bukanlah gelar yang dapat didapatkan dengan mudah apalagi murah, hanya dengan kumpul-kumpul sebuah komunitas yang mengatasnamakan sebagai perkumpulan ulama. Pemberian gelar ulama bagi seseorang, harus mempuyai kriteria sebagaimana yang dirumuskan di atas.
Seorang yang pemikir atau cendekiawan atau intelektual, bahkan hukama’ (ahli hukum) belum tentu disebut sebagai ulama. Tetapi akhir-akhir ini, gelar ulama kok begitu mudah dan murahnya disematkan kepada seorang yang tidak memenuhi kriteria dan pantas dianggap sebagai ulama.
Pemberian gelar ulama yang begitu sakral yang tidak pada tempatnya, dan hanya didasari egosentrisme politik. Justru hanya sedang mempertontonkan sebuah kekonyolan, dalam memahami sebuah agama.
Wallahu A’lam.