Islam adalah agama yang sempurna (QS al-Maidah/5:3), ajarannya yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah menjadi guiden bagi umat manusia (QS al-Baqarah/2:185; QS al-Nisa’/4:59). Oleh karena itu, seluruh aktivitas kehidupan manusia ketentuan hukumnya dapat ditemukan dalam agama Islam. Imam Syafi’i menyebutkan:
فليست تنزل بأحد من أهل دين الله نازلة إلا وفي كتاب الله الدليل على سبيل الهدى فيها (الرسالة: 20).
“Tidaklah problematika kehidupan yang dihadapi pemeluk agama Allah, melainkan telah ada petunjuknya di dalam al-Qur’an” (Al-Risalah, h. 20).
Keberadaan syari’at Islam tidaklah untuk memberatkan manusia, justru sebaliknya, menghendaki kemudahan dan kemuliaan. Al-Qur’an menegaskan: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri rezeki mereka dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” (QS al-Isra’/17:70).
Penegasan ayat tersebut diperkuat QS al-Baqarah/2:185: “… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Semua perkara yang dibolehkan pasti mengandung manfaat serta kebaikan, dan semua yang dilarang pasti ada kerusakan yang harus dihindari. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh:
أينما تكون الشريعة تكون المصلحة
“Di mana ada syari’ah, di sana terdapat kemaslahatan.”
Dalam keterkaitan dengan makanan, syari’at Islam memberikan arahan terbaik untuk mengonsumsi segala sesuatu yang halal dan baik (thayyib), serta melarang segala sesuatu yang haram untuk dikonsumsi. Halal dan haram merupakan bagian substantif dari hukum Islam. Dalam al-Qur’an, perintah mengonsumsi makanan halal menjadi dasar bagi setiap muslim. Allah SWT berfirman: “Wahai manusia, makanlah yang halal dan baik dari apa yang terdapat di bumi. Janganlah mengikuti langkah-langkah setan, karena setan adalah musuh yang nyata bagimu” (QS al-Baqarah/2: 168). Ayat ini memberikan perintah yang jelas untuk memilih makanan dengan kriteria halal dan thayyib.
Kehalalan suatu makanan minimal dapat dilihat dari empat aspek. Pertama, halal dalam cara memperolehnya, yaitu diperoleh dari rezeki yang halal dan dibenarkan menurut Islam. Kedua, halal zat/bahan dasarnya. Ketiga, halal dalam proses pengolahan, yakni tidak bercampur dengan benda atau hewan yang diharamkan. Keempat, halal proses pengemasannya. Sedangkan kriteria thayyib meliputi: makanan berkualitas dan bermutu, higienis, tidak kadaluarsa, tidak rusak, tidak beracun, tidak tercemar bakteri/virus yang berbahaya, tidak palsu, mengandung nutrisi, dan gizi yang berguna bagi tubuh.
Mengonsumsi makanan halal merupakan kewajiban agama yang bernilai ibadah, memberikan kebaikan bagi kehidupan di dunia dan akhirat, serta manifestasi dari rasa syukur kepada Allah atas segala nikmatNya (QS al-Baqarah/2: 172). Sebaliknya, mengonsumsi makanan haram merupakan kemaksiatan, mendatangkan keburukan, dan bentuk ketundukan kepada setan (QS. al-Nahl/16: 114). Makanan memberikan pengaruh, baik secara fisik maupun psikis, karena makanan yang dikonsumsi akan dicerna oleh tubuh, diserap gizinya, dan diedarkan ke seluruh tubuh manusia. Ini berarti, makanan yang telah diproses sistem pencernaan akan mengalir dari ujung rambut ke ujung kaki menjadi energi yang menggerakkan aktivitas manusia. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah saw mengingatkan, “… sekepal makanan haram yang masuk ke dalam perut seseorang, berimplikasi terhadap tidak diterima do’anya selama 40 hari… ” (Diriwayatkan al-Hafizh bin Mardawaih dari Ibn Abbas, dikuti Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 1, h.498).
Realitas itu menjadi bukti konkret bahwa umat Islam di Indonesia memerlukan jaminan atas makanan yang akan dikonsumsi. Jaminan yang dimaksud adalah usaha yang terstruktur dan sistematis agar makanan yang dikonsumsi tersebut terjamin halal, baik dari aspek dzatnya, proses, dan tambahannya. Dalam mewujudkan jaminan kehalalan atas makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat, negara menerbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Konsep Halal dan Haram
Kata halal berasal dari bahasa Arab, halla-yahillu-hillan wa halalan, berarti: membebaskan, melepaskan, memecahkan, membubarkan, dan membolehkan. Dengan demikian, halal dapat diartikan “segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya” (Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 505-506). Istilah halal dalam kosakata sehari-hari lebih sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut hukum Islam. Dalam konteks yang lebih luas, istilah halal merujuk kepada segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam (aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian, dan lain-lain). Halal adalah sesuatu yang diperbolehkan menurut ketentuan syari’at Islam.
Sedangkan haram ialah sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Haram adalah salah satu bentuk hukum taklifi. Menurut ulama ushul fiqh, terdapat dua definisi haram, yaitu dari segi batasan dan esensinya, serta dari segi bentuk dan sifatnya. Dari segi batasan dan esensinya, Imam al-Ghazali merumuskan haram dengan “sesuatu yang dituntut Syari’ (Allah SWT dan RasulNya) untuk ditinggalkan melalui tuntutan secara pasti dan mengikat”. Dari segi bentuk dan sifatnya, Imam al-Baidhawi merumuskan haram dengan “sesuatu perbuatan yang pelakunya dicela” (Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 523).
Pada prinsipnya, semua makanan dan minuman hukumnya adalah boleh (halal) untuk dikonsumsi, kecuali ada larangan baik dari al-Qur’an maupun Sunnah. Dalam sebuah kaidah fiqh disebutkan: الأصل في الأشياء الإباحة مالم يرد دليل التحريم (hukum asal segala sesuatu adalah mubah, hingga terdapat dalil yang menunjukkan atas keharamannya). Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar mengonsumsi makanan yang halal dan baik (QS al-Baqarah/2:168; QS al-Baqarah/2:172; QS al-Maidah/50:88, dan QS al-Nahl/16:114).
Sejalan dengan prinsip tersebut, Rasulullah saw menjelaskan: “… Sesungguhnya sesuatu yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara yang samar-samar (syubhat)yang kebanyakan manusia tidak mengetahui. Barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa yang jatuh dalam melakukan perkara yang syubhat, maka ia telah jatuh dalam perkara haram seperti penggembala di sekeliling tanah larangan (halaman orang), lambat-laun ia akan masuk ke dalamnya… “ (Riwayat Bukhari).
Status hukum halal dan haram dapat melekat pada benda maupun perbuatan. Ada perbuatan yang dilarang menurut syari’at Islam untuk dikerjakan, ada juga benda yang dilarang untuk dikonsumsi menurut ketentuan syari’at Islam. Jika dikaitkan dengan makanan dan minuman, maka makanan yang halal adalah makanan yang diperbolehkan oleh syari’at untuk mengonsumsinya. Sedangkan makanan haram adalah makanan yang diharamkan oleh syari’at, dan berakibat dosa bagi pelakunya. Pada hakikatnya, yang memiliki otoritas menghalalkan dan mengharamkan adalah Allah (al-Syari’). Karena itu, peran ulama hanya sebatas merumuskan, menjabarkan, dan menyampaikan. Seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melahirkan produk fatwa, tujuannya berupaya memberi solusi hukum yang dihadapi masyarakat muslim.
Maqashid al-Syariah
Secara etimologis, maqashid al-syari’ah merupakan istilah gabungan dari dua kata: maqhasid dan al-syari’ah. Kata maqashid adalah bentuk plural dari kata maqshad ( مقصد ), qashd قصد) ), maqshid ( مقصد), atau qushud ( قصود ) yang merupakan derivasi dari kata kerja qashada yaqshidu ( يقصد – قصد ) yang memiliki beragam makna, seperti: menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas, jalan lurus, tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan (Ahmad bin Muhammad bin Ali al Fayumi al-Muqri, Al Mishbah al Munir Fi Gharib al Syarh al Kabir li al-Rafi’i, h. 192; Fairuz Abadi, Al-Qamus al-Muhith, h. 396). Makna-makna tersebut dapat dijumpai dalam penggunaan kata qashada dan derivasinya dalam al-Qur’an. Sementara itu, syariah ( الشريعة ) secara etimologis bermakna jalan menuju mata air. Dalam terminologi fiqh, syari’ah berarti hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah untuk hamba-hambaNya, baik yang ditetapkan melalui al-Quran maupun sunnah.
Secara terminologis, makna maqashid al-syari’ah ( مقاصد الشريعة ) selalu mengalami perkembangan dari makna yang paling sederhana sampai pada makna yang holistik. Al-Bannani memaknainya dengan hikmah hukum, al-Asnawi mengartikannya dengan tujuan-tujuan hukum, al-Samarqandi menyamakannya dengan makna-makna hukum. Sementara al-Ghazali, al-Amidi, dan Ibn al-Hajib mendefinisikan maqashid al-syari’ah dengan rumusan “menggapai manfaat dan menolak mafsadat.” Dari definisi yang bervariasi tersebut mengindikasikan kaitan erat maqashid al-syari’ah dengan hikmah, ‘illat, tujuan atau niat, dan kemaslahatan.
Al-Syathibi mengungkapkan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah SWT adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dan menghindari mafsadat (kerusakan). Kemaslahatan itu sendiri terbagi menjadi tiga kebutuhan: dharuriat (primer), hajiyat (sekunder), dan tahsiniat (tersier). Untuk yang pertama adalah sesuatu yang harus ada demi terwujudnya kehidupan manusia. Seperti beragama, makan, minum, nikah, belajar, dan lain-lainnya, yang terangkum dalam lima bagian; hifdzu al-din (memelihara agama), hifdzu al-nafs (memelihara jiwa), hifdzu al-nasl (memelihara keturunan), hifdzu al-mal (memelihara harta) dan hifdzu al-‘aql (memelihara akal). Dalam konteks penyelenggaraan jaminan produk halal, maqashid al-syariah adalah upaya pelaksanaan dari prinsip hifdzu al-nafs (melindungi jiwa) dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Bagi setiap muslim, mencari halal merupakan suatu kewajiban dan kebutuhan sebagai perwujudan ketaatan serta manifestasi keimanan dalam melaksanakan hukum-hukum Allah. Dalam perspektif maqashid al-syariah, Undang-Undang Jaminan Produk Halal dapat memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat. Undang-Undang Jaminan Produk Halal dapat memberi nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. Dua tujuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal tersebut, adalah komponen penting yang harus terwujud dalam kehidupan manusia, sehingga kehidupan manusia akan dianggap sebagai kehidupan yang optimal. Rasa nyaman, aman, keselamatan dan kepastian adanya produk halal yang beredar di sekitar wilayah Indonesia adalah sangat urgen (dharuri).
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Konstitusi negara menjamin kehidupan rakyat untuk menjalankan kehidupan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya (Pasal 29 UUD 1945). Peran negara dalam menjamin konsumen muslim untuk mengonsumsi produk halal telah diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan jauh sebelum UU JPH dibahas di DPR.
Beberapa peraturan tersebut adalah: UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Inpres Tahun 1991 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan, KMK RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada Label Makanan, KMK RI No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan atas Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996. Ini menunjukkan bahwa regulasi produk halal sesungguhnya sudah sejak lama diperlukan, baik dalam konteks perlindungan konsumen muslim, maupun peredaran barang yang terkait kegiatan ekspor ataupun impor.
UU No. 33 Tahun 2014, diperkuat dengan PP No. 39 Tahun 2021, PMA No. 26 Tahun 2019, dan KMA No. 982 Tahun 2019. Dari sini dapat ditegaskan, bahwa keberadaan regulasi jaminan produk halal mendukung tegaknya syari’at Islam tentang ketentuan hukum “halal dan haram”. Dengan demikian, penyelenggaraan jaminan produk halal menjadi bagian yang inheren dalam hifzhu al-nafs (menjaga jiwa). Konsekuensi logisnya, setiap muslim di Indonesia wajib menaati regulasi yang diterbitkan oleh negara tentang jaminan produk halal. Sesuai kaidah fiqh: ما لايتم الواجب إلا به فهو واجب (sesuatu yang mendukung terwujudnya perkara wajib, maka ia menjadi wajib).