Jamaluddin Al-Afghani dan Cita-citanya Menyatukan Umat Islam

Jamaluddin Al-Afghani dan Cita-citanya Menyatukan Umat Islam

Jamaluddin Al-Afghani dan Cita-citanya Menyatukan Umat Islam

Sebagaimana kita ketahui, benturan antara Islam dengan kekuatan Eropa pada abad 19 di wilayah-wilayah dunia Islam, khususnya di Timur Tengah, benua Afrika dan India telah menyadarkan umat Islam bahwa mereka memang sedang tertinggal jauh dari Eropa. Sehingga muncullah berbagai gerakan pembaharuan.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kemunduran umat Islam dalam hal ini,  di antaranya karena faktor internal. Intervensi Barat terhadap kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam, serta ketertinggalan dunia Islam tentang sains dan teknologi.

Berbagai latar belakang tersebut, memunculkan ide pembaharuan, salah satunya adalah gagasan politik yaitu Pan Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang disuarakan oleh Jamaluddin Al-Afghani. Gagasan ini menyadarkan masyarakat Islam akan dominasi Barat dan bahayanya terhadap dunia Islam.

Jamaludin Al-Afghani sendiri merupakan tokoh pergerakan Islam pada abad ke-19 sekaligus seorang aktivis politik, nasionalis Islam pencetus dan perintis Islamisme dan Pan Islamisme. Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad bin Safdar al-Husayn atau dikenal dengan nama Jamaluddin Al-Afghani. Beliau lahir di Asadabad, dekat Hamadan, Iran. Sumber lain mengatakan bahwa Asadabad adalah daerah yang ada di provinsi Kunar, Kabul, Afghanistan. Beliau lahir tahun 1838 M atau 1254 M.

Al-Afghani lahir dari keluarga bangsawan, ayahnya Sayyid Khan adalah bangsawan terhormat dan mempunyai hubungan nasab dengan Hussein bin Ali. Keluarganya merupakan penganut mazhab Hanafi, yaitu mazhab fikih yang berkembang di Afghanistan. Sejak kecil, beliau belajar banyak ilmu pengetahuan mulai dari bahasa Arab, nahwu, sharaf, ilmu bayan, ma’aniy, tafsir, hadis, fikih, dan tasawuf dan ilmu pengetahuan lainnya. Setelah itu, Al-Afghani berangkat ke Kabul dan Iran untuk belajar ilmu agama dan ilmu umum. Sedangkan ketika berada di India, Al-Afghani mendapat pendidikan yang lebih modern.

Di India, Al-Afghani mulai menjalankan misinya untuk membangkitkan kembali Islam yang sedang dilanda kemunduran. Pada saat itu, India berada di bawah jajahan Inggris. Dalam hal ini, Al-Afghani juga ikut dalam perlawanan terhadap Inggris pada tahun 1857 M. Di tengah perlawanan terhadap Inggris, Al-Afghani masih sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan haji, saat itu Al-Afghani selalu mengamati adat istiadat masyarakat yang dilewatinya.

Pulang dari ibadah haji, Al-Afghani  kembali ke Kabul. Di kota inilah, Al-Afghani disambut oleh penguasa Afghanistan masa itu, yaitu Dost Muhammad Khan, yang memberikan penghargaan kepada Al-Afghani berupa posisi penting dalam pemerintahannya. Pada masa pemerintahan Sher Ali Khan,  Al-Afghani diangkat menjadi penasihatnya. Sedangkan pada masa Muhammad A’zam Khan, diangkatlah Al-Afghani menjadi perdana menteri.

Kekalahan kelompok Al-Afghani dalam melawan Inggris serta campur tangan Inggris dalam perpolitikan Afghanistan, akhirnya membuat Al-Afghani pergi meninggalkan Afghanistan dan pindah ke India pada tahun 1869 M. Ketika berada di India, kegiatan Al-Afghani selalu diawasi oleh Inggris dan membuatnya berpindah lagi ke Mesir pada tahun  1871 M.

Walaupun pada awalnya Al-Afghani menjauh dari dunia politik, dan lebih fokus dengan ilmu pengetahuan. Lewat kegiatan inilah Al-Afghani mempunyai banyak murid dan sering mengadakan diskusi di rumahnya. salah satu muridnya adalah Muhammad Abduh, tokoh gerakan modernisme Islam dari Mesir.

Akan tetapi, pada tahun 1876 M. Al-Afghani kembali ke dunia politik, karena melihat campur tangan Inggris dalam dunia perpolitikan yang ada di Mesir. Tahun 1879 M, Al-Afghani membentuk sebuah partai yang bernama Hizb al-Watani, yang berusaha menanamkan pentingnya kesadaran nasionalisme terhadap orang Mesir.

Pengaruh al-Afghani di Mesir begitu besar membangkitkan gerakan berfikir untuk menuju negara yang maju dan modern. Namun karena urusan politik, pada tahun 1882 M Al-Afghani diusir oleh penguasa pada saat itu dan pindah ke Paris. Di Paris lah, Al-Afghani kemudian mendirikan Al-Urwah Al-Wusqo yang berisi orang-orang dari India, Mesir, Afrika, Suriah dan lain sebagainya sebagai wujud memperkuat rasa persaudaraan umat Islam. Nama perkumpulan ini kemudian juga menjadi sebuah majalah untuk menjadi media perlawanan terhadap pemerintah colonialisme yang berkuasa di Mesir dan dunia Islam .

Al-Afghani membawa semangat perlawanan dan persaudaraan umat Islam, untuk mengusir para penjajah. Lewat gagasannya tentang  Pan Islamisme atau dalam bahasa Arab disebut dengan al-Ittihad al-Islam yaitu sebuah paham politik yang lahir pada saat perang dunia kedua, yang mempunyai dua tujuan yaitu membangun dunia Islam di bawah satu pemerintahan dan mengusir penjajahan dunia Barat atas dunia Islam pada waktu itu.

Di sisi lain, Al-Afghani adalah sosok yang mengabdikan dirinya untuk memperingatkan dunia Islam, yang menurutnya harus meninggalkan perselisihan dan berjuang bersama. Beliau juga membangkitan semangat nasionalisme di negara-negara yang pernah di kunjunginya, sehingga Al-Afghani mendapat julukan sebagai bapak nasionalisme Islam.

Dalam pandangan Al-Afghani, sebab kemunduruan umat Islam adalah lemahnya persaudaraan sesama  umat Islam. Karena itu, perlu membangun solidaritas umat Islam sedunia yang kemudian disebut dengan Pan Islamisme sehingga umat Islam berada dalam pemerintahan yang demokratis.

Pan Islamisme adalah spirit persatuan umat Islam sedunia, yang tidak menghendaki satu kepala negara atau satu khalifah untuk seluruh dunia sebagaimana berlaku Pan Roma di dunia modern atau konsep khilafah ala Hizbut Tahrir. Konsep satu kepala negara dalam dunia Islam bagi Al-Afghani tidak mungkin terjadi, sehingga Pan Islamisme menghendaki persatuan umat Islam sebagai kekuatan bersama untuk membebaskan dirinya dari penjajahan dan membangun kekuatan bersama.

Al-Afghani mempercayai bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan semua bangsa, semua zaman dan keadaan. Jika ternyata ada pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dan kondisi yang dibawa oleh perubahan zaman, maka penyesuaian bisa diperoleh dengan melakukan interpretasi baru dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis.

Al-Afghani sendiri merupakan sosok pembaharu yang kuat, pergi dari satu negara ke negara lain dan di setiap wilayah yang dikunjunginya selalu menimbulkan kegoncangan politik. Apalagi melihat dunia Islam yang terbelakang, sehingga Al-Afghani tidak hanya menggelorakan Pan Islamisme tetapi juga pembaharuan atau tajdid dengan membuka pintu ijtihad. Untuk merubah umat Islam dari kemunduruan supaya maju.

Dalam menghadapi perkembangan zaman, maka umat Islam harus tetap membuka lebar pintu ijtihad. Merubah corak pemerintahan yang otokratis menjadi demokratis. Dan mewujudkan kembali persatuan umat Islam, serta kesetaraan gender, memandang tak ada perbedaan antara pria dan wanita, karena keduanya sama-sama mempunyai akal untuk berfikir. Sedangkan dalam rangka membebaskan umat Islam dari kolonialisme, umat Islam tidak hanya harus bebas dari belenggu pemahaman dan sikap keagamaannya saja, tetapi juga dari tradisionalisme politiknya.

Sebagai tokoh gerakan pembaharuan dan aktivis politik, Al-Afghani tidak hanya berkarya lewat majalah Al-Urwah Al-Wusqo yang menjadi corong perlawanan kolonialisme. Beliau juga banyak menulis buku, di tengah kesibukannya menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah.

Di antara karyanya adalah Bab ma Ya’ulu Ilaihi Amr al- Muslimin, yang membahas tentang sesuatu yang melemahkan umat Islam; Makidah asy-Syarqiyah, yang menjelaskan tentang tipu muslihat para orientaslis; Risalah fi Ar-Radd al-Masihiyah, yang berisi tentang risalah untuk menjawab orang Kristen. Diya’ al-Khafiqain yaitu hilanya Timur dan Barat, dan beberapa karya lainnya.