Jamaah Tabligh dan Praktik Sunnah Sehari-hari

Jamaah Tabligh dan Praktik Sunnah Sehari-hari

Kenapa pengikut Jamaah Tabligh dikenal sunnah banget dalam kehidupan sehari-hari?

Jamaah Tabligh dan Praktik Sunnah Sehari-hari

Teks merupakan sesuatu yang memberikan dampak dan kontribusi dalam kehidupan beragama. Bahkan teks dianggap sakral oleh sebagian umat beragama. Tidak dapat dipungkiri, bahwa teks dapat memberikan pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan terutama terhadap praktik aktivitas sehari-hari, tak terkecuali pada pengikut Jamaah Tabligh.

Barbara Metcalf, tokoh rujukan para pengkaji praktik Jamaah Tabligh, menjelaskan bahwa jamaah atau pengikut dari Jamaah Tabligh ini berawal dari teks, mereka terdorong untuk membuat suatu pilihan yang dijadikan sebagai standar dalam perilaku. Lanjutnya, ini adalah sebuah representasi dalam teks (hadis) itu sendiri, berawal dari dibaca, dibaca kembali (muthala‘ah), dan kemudian diwujudkan dalam suatu tindakan atau praktik.

Hal ini didasari karena pendapat dari pengikutnya bahwa teks bisa efektif jika itu digunakan atau dipraktikkan dalam pengalaman hidup. Apabila teks tersebut hanya sendirian, dalam artian berdiri sendiri tanpa adanya sebuah praktik, maka yang terjadi adalah kematian dari teks itu sendiri.

Jamaah Tabligh memaknai sebuah teks keagamaan melalui dua cara, yakni teks yang sifatnya terbatas yang dibaca secara intensif dan kehidupan atau praktik dalam sebuah jamaah yang merupakan bentuk dari pemaknaan terhadap kehidupan dalam teks. Ini memberikan suatu bentuk pola kehidupan meskipun dalam rentang waktu yang lama, dalam artian bahwa kehidupan masa lalu dapat ditemui di kehidupan masa sekarang. Hal ini sebagaimana titik acuan yang mereka jadikan tolok ukur bahwa teks akan hidup hanya jika teks tersebut dipraktikkan.

Senada dengan yang diungkapkan oleh Muhammad Zaki dalam artikel jurnalnya yang berjudul Metode Pemahaman dan Pengamalan Hadis Jamaah Tabligh, ia menyatakan bahwa sebuah kewajaran apabila pengamalan Jamaah Tabligh dalam penampilan sehari-hari ingin benar-benar seperti Nabi Muhammad dan para sahabat, seperti berpeci dan bersorban, memakai gamis, memanjangkan jenggot, bersiwak, makan berjam’ah, makan dengan tiga jari, salat berjama’ah, memakai celak, meninggikan sarung atau celana jauh di atas mata kaki, dan masih banyak yang lain.

Ketika terdapat anggapan bahwa hal-hal praktik keberagamaan tersebut merupakan budaya Arab, menurut kelompok Jamaah Tabligh itu merupakan anggapan yang sangat keliru. Jamaah Tabligh mempunyai anggapan bahwa semua perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad dibimbing langsung oleh wahyu Allah, sehingga sekecil apapun sunah atau praktik yang dilakukan nabi, maka harus diikuti dan dicontoh untuk dipraktikkan semirip mungkin dengan segenap kemampuan dan keterbatasan manusia.

Kemudian yang menjadi poin penting adalah bagaimana pola pengamalan Jamaah Tabligh terhadap teks-teks keagamaan. Mengutip Inayatul Mustautina dalam jurnalnya yang berjudul Jamaah Tabligh, ia menjelaskan bahwa mereka memiliki landasan hadis yang sangat memotivasinya dalam praktik kehidupan sehari-hari. Mereka berpegang teguh pada sumber teks otoritas keagamaan dan kemudian diaplikasikan sebagaimana adanya (bunyi teks tersebut). Lanjutnya, dalam mengamalkan suatu teks keagamaan, gerakan atau kelompok ini cenderung tekstual atau harfiyah. Mereka mengamalkan hadis apa adanya seperti yang tertera pada teks tanpa menguak substansinya.

Tidak heran jika aktivitas atau praktik yang diaplikasikan Jamaah Tabligh ini kemudian menjadi pembicaraan baik di tengah masyarakat maupun dunia akademik. Ada yang menilai positif, ada pula yang menilai negatif. Memang sekilas terkesan aneh ketika zaman modern yang sudah berkembang sedemikian rupa, mereka justru lebih memilih hidup yang terinspirasi dari praktik kehidupan yang terjadi pada empat belas abad silam.

Namun inilah sebenarnya yang menarik untuk dikaji. Bukan hanya itu, bahkan dibutuhkan eksistensinya saat ini di tengah kehidupan yang makin modern dan duniawi. Asumsi ini bisa dibangun selama jamaah tersebut tidak melakukan ke-fasid-an, dan tidak merugikan orang lain. Jangan sampai melabeli dengan ini dan itu tanpa pemahaman yang memadai. Terlebih kaitannya dalam ranah keilmuan atau akademik, justifikasi merupakan hal yang terlarang di dalam ranah dunia tersebut. Jika demikian, berarti hanya menduga-duga bukan?