
Mungkin empat atau lima kali saya melalui jalan selebar empat meter yang bersisian dengan taman publik ini. Taman yang dihiasai pepohonan dan tempat bermain anak itu berhadapan dengan Gedung MNC milik pengusaha Hari Tanoe.
Di kiri-kanan tersedia trotoar yang nyaman dilalui pejalan kaki. Tak banyak pedagang kaki lima atau motor yang menyerobot trotoar. Jika berjalan terus dari arah Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, jalan itu bakal menemui Stasiun Gondangdia.
Apa yang menyenangkan, jalan itu diberi nama salah seorang penulis dan aktivis idola saya: Mahbub Djunaidi.
Kebanggaan saya bangkit manakala membaca keterangan yang dipampang pada batu marmer di dekat pintu taman.
“Mahbub Djunaidi kenal sebagai tokoh pers, politisi, kolumnis, sastrawan, dan dikenal juga sebagai “Pendekar Pena.”
Mahbub Djunaidi merupakan Ketua Umum Pertama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan Ketua Umum Gerakan Pemuda Anshor.
Mahbub panutan saya untuk membuat tulisan menjadi jenaka dan melempar metafor yang tak terduga.
Pria Betawi ini menyajikan sesuatu jadi ringan dikunyah dan bikin orang tersenyum sendiri.
Kemampuannya lahir dari gabungan banyak hal: pengetahuan, pengalaman, sekaligus keberanian melabrak pakem kebahasaan –yang dalam arti berbeda kemampuannya berinovasi.
Saya terkenang esainya yang tangkas dan kreatif: “Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak Dini”. Diterbitkan 10 Maret 1984 di Harian Kompas.
Kadang terpikir ingin saya praktikan nasihat itu pada Tenggara.
Begini tokoh NU itu membuka esainya “Apabila seorang anak sudah duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, paling lambat di kelas 6, ajaklah dia ke Kebun Binatang.
Begitu menginjak pintu gerbang segera bisikkan di kupingnya, “Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu, bukan?”
Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia.”
Di akhir tulisan, ia menitip nasihat ini.
“Biasakan banyak membaca, termasuk baca surat kabar ini. kamu harus berusaha agar kesenanganmu membaca koran sama dengan kesenanganmu makan rujak. Tapi, membaca surat kabar pun jangan asal membaca. Langkah apapun yang serampangan, tidak bagus. Pakailah daya menimbangmu semaksimal mungkin. Jangan asal suap dan asal telan, nanti ketulangan.”
Setelah melihat plang nama di jalan yang saya lalui itu, saya terpikir akan memberitahu Tenggara siapa itu Mahbub Djunaidi.
Mungkin saja saat menjadi mahasiswa baru ia kepincut memilih PMII sebagai organisasinya. Pada saat itu akan saya katakan.
“Itulah Nak kenapa Ayah memperkenalkanmu pada Mahbub Djunaidi.”
Saya tak ingin peristiwa ganjil ini terjadi pada Tenggara. Saat saya mendiskusikan Novel Dari Hari ke Hari di asrama PMII Ciputat, seorang kader PMII, mungkin sangat baru dan polos, nyeletuk. “Di mana Mahbubnya?”
Ia pikir Mahbub masih bugar dan akan datang hari itu. Padahal beliau sudah almarhum. Mendengar itu saya ingin pingsan.