Beberapa tahun belakangan terutama pasca reformasi, kita dikejutkan dengan beberapa pemberitaan yang menyebutkan perusakan bahkan pembakaran tempat ibadah agama lain oleh beberapa oknum kaum muslim. Selain itu pelarangan, gangguan bahkan persekusi kepada umat ibadah lain juga sering di dengar, dan lagi-lagi oleh ulah beberapa oknum kaum muslimin. Padahal beribadah di tempat ibadah adalah merupakan hak semua manusia.
Di sisi lain, beberapa mubalig, da’i maupun khatib kerap menyeru serta mendeklarasikan bahawa Islam adalah agama damai, Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Agama yang mengajarkan kasih sayang pada seluruh alam. Pelurusan demi pelurusan pun dilakukan oleh para ulama yang memegang teguh kaidah itu. Namun, golongan-golongan Islam yang sedari awal memahami Islam secara parsial kerap berubah menjadi golongan yang merasa berhak menjadi hakim bagi kepercayaan liyan.
Sebagian oknum beralasan keberadaan tempat ibadah agama lain dapat merusak iman warga, merusak akidah generasi dan sebagainya. Alasan sedemikian menjadikan kita memahami penyakit inferiority complex yang diderita umat yang besar dan mulia ini. Sebuah penyakit di mana suatu pihak merasa kalah atau lebih rendah dari pihak lain. Akibatnya sebagai upaya bertahan, ia melakukan berbagai macam untuk “mempertahankan diri” dari sesuatu yang dianggap membahayakan.
Lalu bagaimanakah Rasulullah melihat dan bersikap terhadap ritual kaum agama lain? Cerita paling menarik adalah ketika Rasulullah menerima kafilah Nasrani Bani Najran. Kafilah itu datang kepada Rasulullah dengan memakai pakaian beludru Yaman. Pakaian yang pada zaman itu tergolong pakaian yang mewah dan menarik. Penampilan mereka sukses membuat takjub beberapa sahabat Rasulullah, yang ketika itu usai menunaikan sholat Ashar berjamaah bersama Rasulullah.
Mereka adalah utusan dari Bani Najran, kabilah beragama Nasrani yang hendak mengajak Rasulullah untuk berdebat tentang beberapa masalah teologi. Tentang zat Tuhan sampai soal ketuhanan Isa dan persoalan-persoalan teologi lain. Namun pada saat mereka sampai Madinah ketika di hadapan Rasulullah, mereka memohon izin untuk melakukan misa karena telah masuk waktu mereka untuk beribadah.
Mereka pun kemudian beribadah di dalam masjid Nabawi dengan menghadap ke timur. Saat para sahabat mengetahui itu, beberapa di antara mereka berusaha mencegah, namun Rasulullah malah bersabda, “Biarkan mereka.” Mereka pun akhirnya beribadah sampai selesai dengan aman dan tenang.
Kisah itu diceritakan oleh Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah-nya dan Ibnul Qayyim al Jauzi dalam kitab Zadul Ma’ad. Dua buah kitab yang otoritatif dalam sirah nabawiyah dan sejarah Islam. Maka, selayaknya-lah kita meneladani sikap dan sifat Rasulullah dalam beragama. Bukankah dengan menghormati orang lain menandakan bahwa kita adalah golongan yang terhormat?
Wallahu A’lam.