Seorang sufi adalah peziarah. Ia menjalani hidup laiknya seorang pelancong yang segera akan kembali. Ia gharib. Bergegas melintasi jalan, tergesa agar tidak bertabrakan dengan arus lalulintas. Ia tidak bisa berhenti apalagi berlama-lama dan terpikat untuk mendiami suatu persinggahan, apalagi memapankan diri pada posisi tersebut. Ia anti kemapanan sejak dalam hatinya!
Ia faqir, jasadnya bisa jadi selamat, anteng, tiada manuver berarti terlihat. Namun, jiwanya bergelora, gejolak pertarungan tiada henti menghadapi titipan diri yang disetting tak pernah berhenti memberontak pada Titah-titah-Nya. Ia sedang bertanggung jawab menenangkannya.
Aneh memang, Allah menciptakan makhluk yang diperlengkapi-Nya dengan watak asal; menentang Nya, lebih aneh lagi ketika manusia ternyata sanggup mengembannya. Tentu saja itu, tidak begitu saja, penerimaan akan mahluk yang bernama nafsu tersebut adalah dengan kesediaan mendidik dan menundukkannya. Dan, nyatalah! Betapa banyak yang bukannya mampu mendidiknya, malah justru terbawa oleh sifat perlawanan tersebut. Terlibat makar pada Allah SWT dengan kadarnya masing-masing. Ada yang melampui kedurhakaan setan karenanya.
Bagaimana bisa mapan dengan sesuatu jika tujuan masih belum terkira jauhnya. Bagaimana bisa berhenti jika perjalanan belum seberapa. Maka, ambil secukupnya sebagai bekal agar ringan langkahmu. Tidak menumpuk-numpuk beban sebab tenaga mesti dijaga agar bisa menyampaikan pada tujuan.
Sang gharib hanya butuh, perlu, pada Kekasihnya. Gelegar rindu yang membuatnya lebam. Siang malam remuk redam. Rasa ingin bertemu mencegahnya untuk nikmat dalam tidurnya. Kelalaian adalah bencana. Lecutan demi lecutan memantapkan orientasi cintanya. Tak bersayap, namun tarikan akan pertemuan membuatnya terbang menuju pintu langit, mengetuknya, menunggunya terbuka dan melintasi alam-alam menuju Hadrah Kesejatian.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد
“Wahai manusia, kamulah yang (butuh) berkehendak kepada Allah. Dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Surat Fathir: 15)
Apa yang dia hiraukan. Tidak ada. Buncahan hasrat hanya menjadi busa. Tiada yang dapat menghentikannya. Tidak diperkenankannya kemapanan kecuali di hadapan-Nya. Tiada kemapanan kecuali dimapankan oleh-Nya. Ia lebur dan berserah pada yang Maha Maha Mapan dan Memapankan!
Zuhud dan Faqir itu ibarat aktivitas bernafas, jika tarikannya adalah zuduh maka hembusannya adalah faqir. Kita tidak bisa hanya zuhud saja, tarik nafas saja tanpa menghembuskannya, karena jika begitu kita pasti akan mati. Artinya, eksistensi kedua sifat ini adalah sikap yang simultan dari jiwa dalam rangka menuju keridhaan-Nya. Apalah arti sikap tidak menyukai/Zuhd (segala hal yang selain Allah) jika tidak karena Faqir/butuh (pada Kasih Sayang-Nya). Ia satu dimensi dua dari sudut pandang.
Dalam penempuhan ruhani yang dinamis keduanya merupakan konsep yang lahir dari cara pandang yang berlainan. Jika zuhud adalah pengertian yang didapat dari cara pandang sisi dunia (segala sesuatu yang selain-Nya) yang harus dikenali, dijauhi dan ditiadakan eksistensinya dalam hati, maka Faqir adalah sikap yang wujud jika dipandang dari sisi Ketuhanan yang harus ditemukan, dikenali dan didekati. Ibarat yang satu adalah penafian (peniadaan) dan yang terakhir adalah penegasan (affirmasi).
Seumpama dua sayap pesawat, keduanya adalah tempat tenaga penggerak utama bagi sebuah penerbangan cinta yang menggunakan tenaga kerinduan untuk sebuah kedekatan, ketibaan (aL-Whusul). Itulah perjalanan taqarrub para insan yang tiada berakhir kecuali pada sebuah Perjumpaan. Singgah boleh, tapi jangan berlama-lama. Sekedar ngopi-ngopi tak apalah.
Sebagaimana kata para aktivis jaman dulu itu, kita harus meneguhkan sikap anti kemapanan. Tiada lelah, tiada merasa puas, tiada zona aman, tiada station yang mesti membuat kita mukim. Sebelum semua dahaga terlunasi.
Sebagaimana Guru Agung Syah Muhammad Bahauddin An-Naqsyaband, QS, menampilkan ketinggian sikap anti kemapanan ini, dalam kisah yang disampaikan oleh Abdul Wahhab asy-Sya`arani, sang Qutub di zamannya berkata, “Ketika Syekh dikuburkan di makamnya, sebuah jendela Surga dibukakan baginya, menjadikan kuburnya sebagai Raudlatul Jannah. Dua makhluk spiritual yang indah memasuki hadiratnya, memberi salam padanya dan berkata kepadanya, “Sejak Allah menciptakan kami hingga sekarang, kami telah menunggu saat ini untuk melayanimu.” Beliau berkata kepada kedua makhluk spiritual itu, “Aku tidak menginginkan apapun kecuali Dia. Aku tidak memerlukan kalian, tetapi aku memerlukan Tuhanku.”
Tapi, apa ya bisa kita menjalankannya? Ya bisa. Ya, Insya Allah bisa. Ya, sebisanya (semaksimal yang kita bisa) dengan bimbingan Guru mulia kita masing-masing. Amiiiin.
Wallahu A’lamu bisshawab..