Sewindu sudah, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat. Haul Bapak Bangsa kita ini senantiasa diperingati tiap penghujung tahun di pesantren Ciganjur, termasuk yang akan digelar pada tanggal 22 Desember 2017 ini, dan boleh jadi sejumlah tempat lain di segenap penjuru Indonesia yang meyakini perjuangan Gus Dur semasa hidup perlu diteladani dan diteruskan.
Menariknya, haul Gus Dur ini tidak hanya diperingati umat Islam an sich. Beragam manusia lintas latar, baik kelas sosial, agama, dan bahkan warna kulit turut meramaikan rangkaian demi rangkaian kegiatan haul dan akan larut dalam khusyu’ manakala doa bersama untuk Gus Dur mulai dirapal.
Sepengetahuan saya, Gus Dur merupakan sosok yang cukup komit bela Islam. Tanpa berjilid-jilid, Gus Dur merupakan sosok yang teguh dalam membela Islam. Namun, sebelum itu, Islam apa yang dibela Gus Dur?
Saya menuduh dengan haqqul yaqin bahwa Gus Dur adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Bukan orang Islam yang kebetulan berada di Indonesia. Tuduhan itu, saya tandaskan pada apa yang sering disampaikan oleh sahabatnya, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) di berbagai kesempatan ceramah keagamaannya.
Kembali ke Gus Dur. Gus Dur adalah kelompok Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Karena rahmatan lil ‘alamin, maka ekspresi keislamannya pun penuh cinta kasih dan nilai-nilai kemanusiaan. Ia bukan bagian dari kelompok genit yang mengaku Islam tapi gemar menyerukan kebencian, pengafiran dan penabuh genderang permusuhan.
Perlu bukti? Buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006) karya Gus Dur yang merupakan kumpulan sejumlah artikelnya, saya kira merupakan salah satu bukti yang cukup kongkrit, elegan, dan yang jelas, abadi.
Melalui buku itu kira-kira Gus Dur hendak mengkritisi kita yang seringkali mengakusisi kebenaran secara sepihak. Kita yang berisik menyerukan kekerasan, ujaran kebencian, dan peperangan terhadap kelompok yang berbeda. Kita yang dengan ajaib mudah sekali memberi vonis kafir, sesat, bid’ah, dan salah berbekal kabar yang ntah kemana rimbanya.
Padahal, pengalaman seseorang dalam memeluk, meyakini, hingga menjalani Islam dengan ragam ekspresi dan penafsirannya sudah barang tentu berbeda dengan yang lain. Itulah Islamku yang pasti akan berbeda pencapaiannya dengan Islam anda, dan akan menjadi repot jika yang beda itu dipaksakan untuk sama. Dari dua term itulah, kemudian dirumuskan Islam kita yang tidak lain dan tidak bukan orientasinya adalah bagaimana membangun masa depan Islam.
Berangkat dari ‘Islam kita’ itulah, Gus Dur memberi tekanan mengenai arti penting penerimaan secara suka rela terhadap perbedaan dan rasa saling mengerti serta memahami satu sama lain. Meski pada saat yang sama hal itu cukup sukar kita manifestasikan dalam perilaku keseharian di tengah gelombang pemaksaan pandangan dan tuntutan formalisasi Islam. Hamdulillah… Masyaallah…
Jadi Islam apa yang Gus Dur bela?
Gus Dur pernah mengatakan, bahwa di negeri ini, satu-satunya yang pantas menjadi musuhnya, hanya Pak Harto. “Itu pun saya masih ke rumahnya, kalau lebaran. Artinya, ya saya tidak punya musuh dong”, terang Gus Dur dalam talk show di salah satu televisi swasta kita beberapa tahun silam.
Syahdan, slentingan Gus Dur itu mengingatkan saya tentang salah satu prinsip keadilan dalam al-Qur’an. Bahwa, kebencian tidak lantas menjadi legitimasi buat kita untuk menzalimi orang lain. Ini bisa kita lacak misalnya, dalam Q.S. al-Maidah [5]: 8. Ya, melalui ayat itu kita dihimbau agar tidak membalas kezaliman di luar batas-batas keadilan.
Dari sini setidaknya kita bisa mafhum, bahwa kemanusiaan merupakan salah satu prinsip keadilan presiden ke-4 RI ini, sebagaimana yang Gus Dur katakan, bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.
Ini juga berlaku buat kita. Kita boleh saja membenci perbuatan seseorang. Akan tetapi, jangan sampai kebencian itu lantas mendorong kita untuk menzalimi pribadi mereka, keluarga mereka, serta harta mereka yang kita tidak sukai perbuatannya.
Jadi, Islam apa yang dibela Gus Dur?
Hemat saya, Islam yang mengajarkan kasih sayang kepada manusia dan tujuan utama penciptaan, yakni menghamba kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan memusuhi sesama. Sebab, Islam sangat mengecam perilaku brutal, seperti permusuhan. Islam itu menjunjung tinggi kemanusiaan. Islam juga tidak anti perbedaan.
Meskipun Tuhan berkuasa menjadikan keimanan kita seragam, tapi Ia meniscayakan kita menjadi beragam. Dan keberagaman itu tidak dimaksudkan untuk saling teror, memaksa atau pun membunuh.
Bahkan, Al-Qur’an sendiri mengenalkan konsep li ta’arafu untuk kita agar saling mengenal satu sama lain. Sebab, kita pun tidak bisa memilih, lahir dari rahim ibu yang mana, agamanya apa, atau keturunan siapa.
*Alumnus STAI Sunan Pandanaran, aktif di Gusdurian Jogja.