Sebuah kabar mengejutkan datang dari tetangganya negeri kanguru. Jacinda Ardern menyatakan bakal undur diri dari jabatan Perdana Menteri Selandia Baru, selambat-lambatnya pada Februari 2023 mendatang.
Pada pertemuan kaukus tahunan partai yang terselenggara pada hari Kamis (19/1/2023), Ardern mengatakan bahwa dirinya “tidak lagi memiliki cukup tenaga” untuk lebih jauh mengemban amanah.
“Sudah waktunya…. Saya pergi, karena dengan peran istimewa seperti itu datanglah tanggung jawab. Tanggung jawab dalam mengetahui kapan Anda menjadi orang yang tepat untuk memimpin dan kapan berhenti,” kata Ardern seperti dikutip The Guardian.
Di Indonesia, sosok Ardern sempat menjadi percakapan warganet. Ini terjadi menyusul serangan teroris di dua masjid pada tri semester pertama 2019. Penembakan brutal di Kota Christchurch dan Kota Linwood ini menewaskan 50 orang dan menyebabkan 50 lainnya mengalami luka-luka.
Diduga, pelaku penembakan adalah seorang warga negara Australia yang terpapar ideologi supremasi kulit putih.
Sikap Ardern dalam menanggapi serangan terorisme itu menuai pujian dari warga dunia, termasuk Indonesia.
Ardern menunjukkan solidaritasnya terhadap umat Muslim yang sedang berduka. Dia bahkan terlihat menggunakan jilbab ketika mendatangi keluarga korban maupun menjenguk korban yang terluka di rumah sakit.
Ardern kemudian mengevaluasi undang-undang persenjataan di Selandia Baru. Seruannya ini mendapatkan persetujuan secara luas di negara tersebut.
Sebagai informasi, Ardern merupakan perempuan paling muda di dunia yang memimpin sebuah negara, sejurus setelah terpilih menjadi perdana menteri pada 2017 di usia 37 tahun.
Setahun kemudian, ia menjadi pemimpin terpilih kedua dalam sejarah modern dunia yang melahirkan saat sedang menjabat.
Selama lima setengah tahun masa kepemimpinannya, Ardern melewati masa-masa sulit. Meski demikian, dia dianggap cukup sukses dalam mengelola pemerintahannya terkait dengan program perubahan iklim, perumahan sosial, dan menekan angka kemiskinan anak—salah satu yang ia sangat banggakan.
“Memimpin negara untuk melewati masa damai itu adalah satu hal, hal lainnya harus memimpinnya melalui masa kritis,” ujarnya.
“Peristiwa-peristiwa tersebut… telah menguras energi karena bobotnya yang besar dan sifatnya yang terus menerus. Tidak pernah ada momen di mana kami merasakan hanya memerintah.” Demikian Arden menandaskan.