Dalam hadis diinformasikan bahwa Nabi Muhammad melaksanakan dan menganjurkan para sahabatnya untuk i’tikâf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan (al-‘asyr al-awâkhir min ramadlân).
Secara etimologi, i’tikaf adalah tinggal atau diam sembari melekatkan diri pada sesuatu yang baik maupun buruk. Sedangkan dalam terminologi hukum Islam (fikih), yaitu berdiam diri di masjid dengan disertai niat mencari ridla Allah. (Az-Zuhailî, tt: III, 1749-1751).
Jawâd ‘Ali dalam bukunya, Al-Mufashshal fî Târîkh al-‘Arab Qabla al-Islâm, menjelaskan bahwa i’tikaf bagian dari tradisi penganut agama Hanîf yang berkembang di Makkah pada masa pra Islam. (1993: VI, 509-510, 343-344).
Ketika bulan Ramadlan tiba, pemeluk Hanîf akan pergi ke tempat terpencil yang jauh dari keramaian manusia, seperti goa, tengah sahara, dan gunung untuk melakukan ibadah dan permenungan akan suatu kebenaran (tahannuts auw ta’abbud) atau bertapa. Di tempat ini orang yang sedang i’tikaf atau “mu’takif” tidak akan keluar dari tempat pertapaannya kecuali karena ada kebutuhan yang sangat mendesak (dlarûrah).
Nabi Muhammad sendiri sebelum diutus menjadi nabi bagian dari orang yang rajin i’tikaf atau bertapa di tempat-tempat terpencil. Diinformasikan, paman Nabi Saw, Abu Thalib kerap menyuruh orang untuk mengantarkan makanan kepada Nabi Muhammad yang sedang “menyepi” di goa. (Jawâd Ali, 1993: IV, 404). Karena itu dalam riwayat yang masyhur diceritakan, Nabi Muhammad ketika pertama kali menerima wahyu sedang berada di goa, yakni sedang bertapa (tahannuts).
I’tikaf tradisi Arab pra Islam ini kemudian diadopsi oleh Nabi Muhammad dengan sedikit modifikasi, yaitu yang awalnya bertempat di goa, gunung atau sahara, oleh Nabi ditempatkan di masjid.
Ada banyak tujuan yang hendak dicapai dari i’tikaf, salah satunya yang paling penting yaitu sebagai media untuk mencari dan memahami kebenaran. Dalam i’tikaf, seseorang akan melakukan permenungan atas realitas masyarakat tempat ia hidup sembari mencari “imajinasi” tatanan masyarakat yang ideal atau benar. Dari permenungan, akan datang “inspirasi kebenaran” yang harus direalisasikan dalam bentuk aksi. Hal ini dapat dipahami dari perjalanan i’tikaf Nabi Muhammad sebelum diutus hingga setelah mendapatkan wahyu yang membawa misi pembebasan.
Masyarakat Arab pra Islam biasa disebut dengan “jâhiliyyah”. Menurut Jawâd Ali, istilah ini bukan bermakna bodoh kebalikan dari pengetahuan (dliddu al-‘ilmi), melainkan bodoh dalam arti tidak bijaksana, pemarah, kasar, dan mudah melakukan kekerasan atau kebalikan dari bijaksana dan murah hati (dliddu al-hilmi). (1993: I, 38-40).
Makna jâhiliyyah di atas menggambarkan perilaku masyarakat Arab pra Islam yang kerap melakukan kekerasan dan penindasan terhadap manusia. Dalam sektor ekonomi, orang-orang Quraisy dan para pemilik modal lainnya telah memonopoli kekayaan dengan memperlakukan para pekerja secara kasar. Dalam sosial-politik, ada banyak manusia yang hak-haknya dirampas, perempuan seakan-akan dianggap bukan sebagai manusia, melainkan sama seperti harta benda yang bisa diperjualbelikan. Ketika lahir anak perempuan maka akan segera dibunuh. Orang yang sudah tua renta tidak diurus. Anak-anak muda yang memiliki kakak diterlantarkan. Manusia-manusia yang tidak punya akses politik dan ekonomi dengan mudah akan dijadikan hamba sahaya, dan sejumlah tindakan tidak manusiawi lainnya.
Menghadapi realitas seperti di atas, Nabi Muhammad melakukan i’tikaf, permenungan secara mendalam untuk mencari kebenaran hakiki hingga mendapatkan inspirasi (wahyu), yaitu Nabi harus melakukan pembebasan terhadap orang-orang yang tertindas. Kepada para budak Nabi menjanjikan akan membebaskannya dan memberikan hak-haknya sebagai manusia apabila mengikuti Nabi. “Ikutilah kami, maka kami akan memberikan nasab kepada kalian (Ittabi’ûnî aj’alkum ansâbâ),” seru Nabi kepada para budak.
Tercatat dalam sejarah, orang-orang yang pertama kali menjadi pengikut Nabi terdiri dari kalangan orang-orang yang tertindas (mustadl’afîn) saat itu, yakni perempuan, anak-anak muda yang tidak mendapatkan tempat yang layak dalam keluarganya seperti Zubair bin ‘Awâm, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’d bin Abî Waqqash dan yang lainnya, serta para budak seperti Bilâl bin Rabâh, Khabbâb bin al-Aratt, ‘Âmir bin Rabî’ah, ‘Âmir bin Fuhairah dan yang lainnya.
Dari permenungan (i’tikâf), Nabi mendapatkan gambaran kehidupan ideal yang menjunjung tinggi hak dan martabat manusia. Lalu Nabi mengejawantahkannya dalam bentuk pembebasan terhadap orang-orang yang tertindas. Bagi Nabi, manusia harus dipandang sama, tidak boleh dibedakan hak-haknya hanya karena berbeda jenis kelamin, warna kulit atau status sosial. Kesetaraan dalam pemenuhan hak-hak dasar manusia ini terkandung dalam misi kenabiannya yang dinyatakan al-Quran sebagai “rahmat bagi semesta alam (rahmatan li al-‘âlamîn)”.
Pemaknaan atas i’tikaf yang dilakukan Nabi Muhammad di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa i’tikaf bukan semata-mata ibadah individual, melainkan ritual keagamaan yang harus memberikan dampak sosial berupa terciptanya tatanan kehidupan yang setara, saling menghargai, dan jauh dari diskriminasi. Cita-cita ini, besar harapan dapat dicerminkan oleh orang yang telah menjalankan i’tikaf.
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang