Kata “Duta” memiliki pengertian berbeda-beda dari waktu ke waktu tergantung dari penggunannya. Pengertian yang umum digunakan sekarang ini adalah wakil sebuah negara atau perkumpulan di suatu tempat, seperti Duta Besar Indonesia di negara lain. Padahal, dalam pengertian semula istilah itu berarti utusan untuk suatu hal, seperti Prabu Krisna menjadi duta (utusan) pandawa untuk menyelesaikan sebuah persoalan ke Kraton Astina dalam cerita wayang judul lakon itu adalah “Krisna Duta”, berkisar pada ke utusan Krisna kepada Prabu Duryudana. Ia bertugas menyampaikan tuntutan Pandawa agar Astina dibagi dua dengan separoh dimiliki Kurawa. Ini sesuai dengan perjanjian yang menyatakan, Pandawa akan memperoleh setengah Kerajaan Astina jika mampu tinggal di hutan untuk dua belas tahun lamanya, dan setelah itu untuk setahun tinggal di kota besar tanpa diketahui/bertemu dengan mata-mata pihak Kurawa.
Itu semua dijalani pihak Pandawa sebagai “hukuman”, karena kalah dalam permainan judi. Nah, Prabu Krisna menagih janji itu kepada pihak Kurawa. Karena itu sudah tentu terselip harapan pihak Pandawa bahwa tuntutan itu akan dipenuhi oleh Prabu Duryudana. Apalagi tuntutan itu dibenarkan oleh Sang Resi Mahatma Bisma, kakek dari pihak Kurawa dan Pandawa. Begitu juga, pendapat dari Prabu Salya, mertua Duryudana dan Adipati Karna.
Perubahan pengertian istilah duta dari utusan suatu pihak, menjadi utusan tetap yang tinggal di luar negeri, juga dialami oleh kata “umat Islam”. Menurut pengamat Sydney Jones yang juga aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mengenai Islam di Indonesia yang dimuat dalam majalah “Indonesia”, beberapa tahun yang lalu menunjukkan terjadinya hal itu.
Menurut Jones kata umat Islam mengalami perubahan-perubahan dari waktu ke waktu. Tadinya ia menunjuk kepada kelompok santri dalam masyarakat Indonesia yang dibedakan dari kelompok abangan yaitu kaum muslimin. Kemudian, istilah itu digunakan untuk menunjuk kepada partai-partai politik dan perkumpulan Islam lainnya, sehingga istilah memiliki pengertian lebih terbatas. Sekarang ini, istilah itu berarti semua pihak yang memiliki kesadaran beragama Islam dalam masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan pengertian ini yang harus dimengerti, jika kita ingin menghindari pengertian yang keliru.
Demikian juga halnya dengan pengertian dari istilah Duta di atas. Salah pengertian akan mengakibatkan salah pemahaman atas sejarah kita sendiri sekarang, pengertian istilah itu dapat berkembang menjadi sesuatu yang lain, karena keadaan memang menghendaki perubahan pengertian dari istilah itu sendiri.
Saat ini istilah duta justru harus dikembangkan lebih jauh lagi. Dengan tidak berkembangnya demokrasi, serta kemakmuran dan keadilan yang tidak kunjung terwujud, tentu saja tuntutan akan seorang duta menjadi sangat terasa, sudah tentu dengan pengertiannya sendiri. Karena pemerintah takut menengakkan kebenaran yang berintikan adanya proses kedaulatan hukum yang benar (yang menjadi ciri utama adanya demokrasi), dengan sendirinya lalu diperlukan adanya seorang “duta” untuk mewakili aspirasi masyarakat. Sudah tentu seorang duta dengan watak dan peranan seperti itu, lalu memiliki artinya sendiri: pejuang masyarakat untuk menengakkan demokrasi secara konsekuen, kalau perlu dengan melakukan pemilu ulang (legislatif, eksekutif dan pemilihan kepala daerah). Ini menjadikan istilah duta di sini, yaitu duta bangsa, memiliki pengertian lain dari yang kita gunakan selama ini.
Karena itu, pagelaran wayang kulit dengan dalam Ki Timbul Hadi Prayitno di Bantul hari Minggu lalu, mempunyai signifikansi sendiri. Apakah dalang itu juga “memberikan tanda” akan perubahan pengertian istilah duta itu pada saat ini? Kita tidak tahu perkembangan sejarah bangsa kita dalam masa depan yang dekat ini, akan merupakan jawaban atas pertanyaan diatas. Kita tinggal menunggu terjadinya hal itu, karena memang perubahan pengertian yang dipahami masyarakat memang terjadi dalam perkembangan budaya daerah Jawa. Mau dianggap demikian, jangan-jangan tidak terjadi; mau dianggap tidak, jangan-jangan memang akan terjadi. Penulis masih teringat akan lakon wayang kulit “Wahyu Mahkota Rama” yang berisikan pertempuran antara Adipati Karna mealawan saudara tirinya, Arjuna saat Muktamar II PKB . Bukankah dalam Muktamar II PKB di Semarang itu, menyaksikan pertempuran dua orang sepupu Muhamin Iskandar melawan Syaifullah Yusuf?
Perlambangan/simbolisasi seperti itu memang merupakan isi khusus budaya masyarakat Jawa karena itu, memang kita tidak dapat menganggap sepele kemungkinan demi kemungkinan yang akan terjadi. Apalagi bangsa dan negara kita sedang mengalami krisis multidimensional yang belum berakhir, walaupun tanda-tanda penyelesaiannya sudah mulai tampak. Berapa lama proses itu akan berlangsung? Dan apa saja yang akan terjadi? Kita juga tidak tahu, hanya saja memang ada keyakinan sangat kuat, akan terjadi “hal-hal luar biasa” yang akan menandai munculnya bangsa yang kuat dan negara yang besar. Kalau selama ini para pemimpin melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan kelemahan dan kekerdilan sistematik dari kehidupan kita, tentu saja menjadi wajar hanya jika diambil tindakan-tindakan yang menunjukkan diri kita sebagai bangsa yang kuat dan negara yang besar.
Persyaratan utama untuk membuktikan bahwa bangsa kita kuat dan negara kita besar, memang kita miliki. Bangsa dan negara dengan jumlah penduduk besar telah terbukti, sehingga klaim bahwa kita adalah negara yang besar tidak sia-sia diajukan. Penduduk kita berjumlah 210 juta, menurut para ahli kependudukan, seperti DR. Priyono Tjiptoherianto. Negara kita kaya dengan sumber alam juga dapat dibuktikan dengan jelas. Letak geografis kita antara Benua Asia dan Benua Australia merupakan pesyaratan ketiga yang dapat dengan mudah kita jelaskan. Kalau kenyataan-kenyataan di atas digabungkan dengan munculnya seorang duta, dalam pengertian yang berubah seperti diuraikan diatas, tentu tidak mengherankan jika lalu ada simbolisasi budaya seperti diuraikan di atas. Karena itulah, kita harus bersikap antisipatif dalam hal ini.
Simbolisasi budaya seperti itu memang terjadi dalam kehidupan kita di masa lampau. “Jangka Jayabaya” merupakan bukti akan hal itu. Maka pemerintahan “seumur jagung” memang pernah terjadi yaitu pemerintahan kependudukan Jepang. Pernyataan bangsa kita tinggal separoh, telah dibuktikan dengan berbagai kejadian (baik pemberontakan maupun bencana) dengan korban ratusan ribu jiwa. Memang terjadi “ramalan” bahwa orang Cina menunjuk kepada warga negara kita dari turunan Tionghoa tinggal sejodoh, dapat dipahami sebagai kelompok yang menggunakan akal sepenuhnya dalam pengaturan kehidupan mereka. Nah, “Jangka Jayabaya” itu merupakan simbolisasi budaya yang menandai/menggambarkan sebuah proses budaya sangat besar yang terjadi sangat lambat.
Karena itulah, perubahan-perubahan arti dalam istilah yang kita pakai, harus dipahami sebagai bagian dari proses “penyesuaian budaya” yang sedang terjadi dalam kehidupan kita sebagai bangsa dan negara. Kelalaian untuk memahami hal itu, dapat membuat kita tertinggal oleh keadaan. Dan oleh sejarah dapat saja dinilai sebagai “tidak mengerti perkembangan sejarah”. Tentu saja kita tidak ingin hal itu terjadi atas diri kita pada saat ini, karena itu kita harus dapat “menangkap arti perubahan sejarah” yang terjadi atas diri kita melalui simbolisasi budaya daerah seperti itu. Ini merupakan bagian dari tindakan melestarikan atau membuang berbagai manifestasi budaya dalam kehidupan kita. Ini adalah bagian yang biasa dalam sejarah manusia, bukan?
Sumber: Proaksi, Jakarta,12 Juni 2005