Tanggal 27 Rajab, hari yang sangat penting dan bersejarah bagi umat Islam. Pada tanggal itu, Rasulullah SAW menjalani sebuah ritus spiritual yang biasa disebut dengan istilah Isra Mi’raj.
Isra Mi’araj adalah “dongeng” yang jauh dari jangkauan akal manusia. Ibnu Sa’id dalam kitab Thobaqatul Qubra, meriwayatkan bahwa peristiwa tersebut terjadi di bulan Rajab, delapan belas bulan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Dengan demikian, sampai saat ini, peristiwa Isra Mi’raj telah berusia 1435 tahun lebih.
Seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, Isra telah dimaknai sebagai perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Makkah, ke Masjidil Aqsha, di Palestina. Sedangkan Mi’raj adalah dinaikkannya Muhammad SAW ke langit hingga Sidratil Muntaha.
Yang menarik dan penting, perjalanan tersebut hanya memerlukan waktu semalam saja. Menurut hitung-hitungan kita, manusia jelas peristiwa tersebut sulit dipercayai. Dan oleh sebab itulah, di atas saya menyebut Isra Mi’raj sebagai peristiwa “dongen”. Tapi, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, inilah tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Isra dan Mi’raj adalah mujizat terbesar setelah Al-Qur’an.
Ketika Nabi melakukan perjalanan Isra banyak sekali peristiwa penting dan bermakna bagi sejarah peradaban umat beragama ke depan. Mari, kita mencoba membaca perisitiwa tersebut satu per satu.
Perjalanan Isra, Nabi melawat ke Madyan, Thurisina, lalu Bethlehm.
Madyan adalah sebuah tempat persembunyian dan perisitirahatan ketika Nabi Musa AS dikejar-kejar bala tentara Fir’aun. Di tempat itu pula Nabi Musa bertemu dengan Nabi Syu’aib AS yang mengawinkan putrinya yang bernama Shafira dengan Nabi Musa.
Sedangkan Thursina atau biasa disebut dengan Bukit Sinai, adalah sebuah tempat di mana Allah SWT memberikan wahyu untuk kali pertama kepada Nabi Musa. Dengan kata lain di situlah, Musa diinagurasi sebagai utusan Tuhan, Rasulullah.
Adapun Bethlehm, atau Baitul Lahm, adalah sebuah tempat di mana Nabi Isa AS dilahirkan secara misterius dari rahim Siti Maryam (dalam tradisi Kristiani dikenal Maria). Tempat kelahiran Nabi Isa AS tersebut persisnya terletak di desa Nazareth, Palestina.
Acara napak tilas Nabi bukan dengan tanpa sengaja. Di sana Muhammad mengenang dan memberikan penghormatan pada para pendahulunya.
Setelah melakukan serangkaian perjalanan Isra, Nabi SAW lantas diangkat menuju langit hingga Sidratul Muntaha. Pada kesempatan ini Allah SWT memerintahkan Muhammad untuk menjalankan kewajiban sembahyang lima waktu. Mengenai perintah Allah ini dapat dicermati dalam Al-Qur’an surat dua puluh sembilan ayat empat puluh lima:
”Bacalah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar keutamaannya dari ibadah-ibadah lain. Dan Allah maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”
Mengingat pentingnya perintah tersebut, sesampainya kembali ke di Makkah, Rasulullah SAW lantas berpesan kepada para sahabatnya:
”Perkara yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Jika shalat seseoang sempurna, sempurnalah semua amal perbuatannya. Sebaliknya, jika shalat seseorang tidak sempurna maka ditolaklah semua amal perbuatannya.”
Bertolak dari pentingnya risalah shalat yang berterima oleh Nabi Muhammad SAW pada saat menjalankan Mi’raj tersebut, sangatlah wajar kiranya jika almarhum Mahmud Muhammad Toha, salah seorang ulama asal Sudan, berkesimpulan bahwa shalat sebenarnya tidak lebih dari bergaul dengan Allah SWT tanpa lengah darinya dan bergaul bersama makhluk-Nya tanpa menyakitinya.
Dari telaah tersebut, setidaknya ada tiga pelajaran yang sangat berharga untuk kita semua.
Pertama, bahwa Nabi Muhammad SAW sangat menaruh perhatian dan memberikan penghargaan yang sangat besar kepada para pendahulunya. Dari pengalaman Isra’ digambarkan bagaimana Rasulullah sangat menaruh perhatian lebih pada para pendahulunya dengan menyempatkan diri singgah sejenak di tempat yang dianggap bersejarah bagi Nabi Musa dan Nabi Isa, yang kemudian pengikutinya kita kenal dengan Nashrani dan Yahudi.
Tauladan Rasulullah tersebut secara sederhana hendak mengajarkan kepada umat manusia bahwa menjaga kesinambungan antargenerasi harusnya dilakukan. Karena jika tidak, maka yang kemudian terjadi ibarat anak ayam kehilangan induknya. Bercerai berai tak menentu arah.
Banyak cara untuk menjaga kesinambungan sejarah antar generasi. Di antaranya adalah dengan meneladani apa yang pernah dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah bagi generasi pendahulu kita. Mengenang dan memperlajari kembali karya-karya para pelaku sejarah masa lalu. Salain itu, bisa juga dilakukan dengan cara menyambung tali silaturahim antar sesama anak manusia, dengan tanpa melihat latar belakang agama, suku bangsa, maupun jenis kelamin.
Kedua, bahwa anak cucu dari ketiga nabi yang disebutkan di atas, pada era sekarang telah tumbuh kembang dengan sedemikian rupa memenuhi seantero dunia. Masing-masing dari mereka telah memiliki peran dan posisi yang cukup strategis atas kedamaian hidup di muka bumi ini. Dengan mengenang peristiwa Isra Mi’raj, diharapkan kita bisa menghilangkan syak wasangka ke dapan mereka yang berbeda, utamanya agama.
Ketiga, perintah shalat yang diterima Rasulullah dan telah dijalankan oleh umat manusia hingga sekarang, bukanlah semata-mata ibadah ritual belaka. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mengerjakan shalat bukanlah untuk kepentingan dirinya. Akan tetapi, perintah shalat secara khusus ditujukan untuk mencegah terjadinya perbuatan keji dan mungkar pada sesama.
Apa yang bisa kita pahami sebagai tindakan mungkar bisa berupa tindakan pengrusakan, macam pemboman, menghilangkan nyawa, merusak alam lingkungan, dan lain-lain. Dengan demikian, shalat pada akhirnya penting dipahami sebagai usaha kita melatih diri untuk senantiasa berjiwa besar dan sedapat mungkin menahan diri dari hal-hal yang merusak roso kemanungsan.
Itulah telaah saya terhadap Isra Mi’raj. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.