Isra-Miraj: Pengembaraan Spiritual Rasulullah Saw

Isra-Miraj: Pengembaraan Spiritual Rasulullah Saw

Isra-Miraj: Pengembaraan Spiritual Rasulullah Saw

Saat menjalani Isra Miraj, sebagaimana pendapat banyak ulama, Nabi Muhammad tak sekadar melakukan perjalanan fisik dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha kemudian menembus ke puncak Sidratil Muntaha, melainkan terutama mengalami perjalanan batin dan rohani yang luar biasa. Saat Miraj, (dalam salah satu pendapat menyebutkan) ruh Nabi Muhammad bergerak membelah semesta untuk berjumpa dengan Tuhan, sementara tubuhnya bersemayam di bumi. Inilah pengembaraan spiritual Sang Nabi untuk terus memaknai kehidupan dan merengkuh nilai-nilai kebaikan dan pencerahan, serta mewujudkannya dalam kenyataan riil di dunia.

 

Perjalanan Spiritual Menembus Ruang dan Waktu

Sebagai seorang Nabi dan Rasul, Muhammad terpanggil untuk menyebarkan hikmah, kebaikan, dan kebenaran. Selama hampir sepuluh tahun masa kenabiannya proses penyebaran kebaikan dan kebenaran yang diberi label “Agama Islam” itu tak sepenuhnya berjalan dengan mudah dan lancar. Bahkan, lebih banyak diwarnai rintangan dan tantangan yang berat. Muhammad sering menghadapi “teror” fisik dan mental dari masyarakat Makkah, terutama kaum kafir Quraisy.

Ajaran Islam yang dibawa Muhammad tergolong revolusioner dan mengguncang hegemoni kaum kafir Quraisy yang telah mapan. Muhammad, misalnya, menggugat berbagai budaya yang telah berurat berakar pada masyarakat Arab (atau lebih khusus masyarakat Makkah dan suku Quraisy). Budaya yang nyaris menjadi peradaban itu tergolong destruktif dan dekaden.

Masyarakat saat itu menerapakan kultur patriarki yang diwarnai perebutan harta dan kekuasaan. Mereka saling berebut pengaruh dan kewibawaan dan tak segan-segan melakukan kekerasan dan menumpahkan darah. Nilai-nilai perdamaian, kesetaraan, cinta kasih, dan asketisme duniawi (zuhud) yang dibawa Muhammad tentu berseberangan dengan budaya masyarakat Arab waktu itu, terutama kaum kafir Quraisy. Untuk itu, Muhammad mengalami teror fisik dan mental yang hebat, khususnya dari kaum kafir Quraisy.

Muhammad memang seorang Nabi dan Rasul yang istimewa, namun toh tetap manusia juga. Ada saatnya dia mengalami situasi yang sangat berat sehingga harus menarik diri dari hingar-bingar “duniawi” untuk melakukan uzlah, berzikir, dan tafakur.

Saat bertafakur mendekatkan diri kepada Allah, Muhammad mendapatkan energi dan semangat baru untuk terus menyiarkan Islam sebagai suatu ajaran yang sarat hikmah, keindahan, kebaikan, dan kebenaran.

Namun, saat sebelum peristiwa Isra Miraj terjadi, Muhammad benar-benar dihadapakan pada situasi yang sulit. Perlawanan dari masyarakat Makkah, terutama kaum kafir Quraisy yang berperadaban “jahiliyah” kian mengeras dan menjadi-jadi, sementara dua orang yang sangat dicintai Muhammad dan menjadi ujung tombak utama dalam menyiarkan Islam telah meninggal dunia. Kedua sosok itu adalah Khadijah dan Abi Thalib.

Khadijah adalah istri Muhammad, sementara Abi Thalib adalah paman Muhammad. Keduanya adalah sosok yang sangat berpengaruh dan berwibawa sehingga menjadi ujung tombak utama dalam proses penyiaran Islam. Mereka punya peran besar membantu bahkan melindungi Muhammad dari kejahatan siapa pun—terutama kaum kafir Quraisy—saat menyebarkan ajaran Islam.

Dalam kondisi yang sangat berat seperti itulah tampaknya Muhammad mengalami deraan batin yang luar biasa sehingga terkondisi untuk melakukan pengembaraan spiritual menembus ruang dan waktu. Muhammad lalu mengalami peristiwa Isra Miraj. Dalam Isra Miraj, Muhammad melakukan “persentuhan” intens dengan Sang Khalik.

Saat Miraj, ruh Nabi Muhammad bergerak membelah semesta untuk berjumpa dengan Tuhan, sementara tubuhnya bersemayam di bumi. Muhammad melakukan pengembaraan spiritual yang berdimensi batin dan rohani kemudian memeroleh “pencerahan”. Saat mendekatkan diri kepada Allah, Muhammad memeroleh pencerahan sehingga tersingkaplah baginya semua rahasia kehidupan.

Maka, kata “Isra” bukan sekadar bermakna perjalanan malam hari dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina, melainkan terutama bermakna “sebuah pencarian”. Hal ini bisa dilacak dari kosakata bahasa Arab “Sariyah” yang masih satu dasar kata dengan “Isra”. Sariyah dalam bahasa Arab berarti “suatu pencarian”. Untuk itu, Isra punya makna sebagai pencarian Sang Nabi menuju pencerahan yang hakiki sehingga kian teguh dan kukuh menyebarkan nilai-nilai pencerahan itu di bumi, khususnya pada masyarakat Arab kala itu.

Sementara, “Miraj” berasal dari kata “Araja” yang berarti “naik” atau “meninggi”. Saat mengalami Miraj, Muhammad melakukan pengembaraan rohani yang intens sehingga naik dan meninggilah kecerdasan dan spiritualitasnya, serta kian tertempa kekuatan mentalnya. Sebelum menjalani Isra Miraj sebagai peristiwa luar biasa dalam episode kehidupannya, Muhammad dikondisikan dulu dengan peristiwa yang tak biasa. Yaitu, kedatangan Malaikat Jibril yang kemudian “membelah” dada Muhammad dan “membersihkan” hatinya.

Ini adalah peristiwa simbolik bahwa sebelum melakukan pengembaraan spiritual menuju pencerahan, seseorang seyogyanya menjernihkan pikiran dan membersihkan hatinya. Saat batin dan rohani telah siap, maka Isra Miraj sebagai pengembaraan spiritual menuju pencerahan bisa dicapai oleh Muhammad, bahkan juga oleh siapa pun yang mau dan mampu menapakinya.

 

Shalat adalah “Miraj”-nya Orang Beriman

Saat Isra Miraj, Nabi Muhammad juga menerima risalah berharga yakni “Shalat” sebagai salah satu ibadah yang punya makna mendalam. Shalat tak sekadar ritual belaka, melainkan juga mengandung makna mendalam dan luar biasa bagi kehidupan manusia. Shalat diawali dengan takbir dan banyak diwarnai dengan ucapan takbir saat berpindah-pindah gerakan.

Takbir “Allahu Akbar” bermakna “Allah-lah yang Maha Besar” dan layak disembah bukan “sesuatu” selain-Nya entah itu bernama manusia, jabatan, kekuasaan, uang, harta benda, dan hal-hal yang fana dan sementara lainnya.

Saat shalat, seseorang selalu mengucap basmalah dan surah Al-Fatihah yang di dalamnya ada kata “Al-Rahman” dan “Al-Rahim”, yakni sifat Allah yang berarti “Maha Pengasih” dan “Maha Penyayang”. “Pengasih” dan “Penyayang” adalah salah satu sifat utama Tuhan yang harus diamalkan oleh seseorang yang beribadah Shalat. Artinya, Pengasih dan Penyayang atau “Cinta Kasih” kepada sesama adalah hal yang sangat utama dan mulia dalam hidup dan merupakan salah satu esensi dan saripati dari Agama Islam juga agama-agama lainnya.

Begitu juga saat mengakhiri shalat, seseorang selalu menoleh ke kanan dan ke kiri sembari mengucapkan salam yang berbunyi “Assalamu’alaikum Warakhmatullah”; yang berarti “semoga keselamatan dan rahmat Allah selalu terlimpah kepadamu semua”. Inilah doa sekaligus tegur sapa kemanusiaan yang tulus kepada sesama manusia sehingga “selamat” dan memeroleh “rahmat”. Inilah, antara lain, makna shalat sebagai salah satu ibadah penting yang diperoleh Muhammad saat melakukan Isra dan Miraj dan diumumkan kepada umat Islam.

Maka, shalat yang dilakukan dengan khusyu’ dan benar (bukan sekadar ritual kosong belaka), bisa meningkatkan kualitas hidup seseorang. Hal ini sesuai dengan bunyi Hadis Nabi: “Ashshalatu mirajul mu’minin”. Yang artinya, “Shalat adalah miraj-nya orang-orang yang beriman”. Dengan shalat yang benar, khusyu’, dan penuh makna, maka kualitas kehidupan seseorang akan terangkat dan meningkat. Yaitu shalat yang tak sekadar ritual kosong belaka melainkan berimplikasi pada kehidupan nyata seseorang.

Isra Miraj, dengan demikian, bukan sekadar peristiwa yang dialami Nabi Muhammad, namun juga bisa dialami dan dilakukan oleh siapa pun. Yakni kita semua yang terus berupaya melakukan pengembaraan batin, rohani, dan spiritual menuju pencerahan yang hakiki.

Wallahu A’lam Bisshawab.