Apa yang menarik dari perbincangan saya dengan Romo Magnis seputar Islamophobia di Eropa, khususnya di Jerman, pagi itu adalah para “pembela” terhadap islamophobia justru kalangan gereja. Sedang para pengidapnya, umumnya kelompok sekuler dan ateistik.
Seorang perempuan peneliti dari Danmission, salah satu NGO tua di Denmark, menyimpulkan begini. Intoleransi dan radikalisme yang kita hadapi bukan berlangsung antaragama, tapi antar pemeluk agama dengan kelompok yang tak terlalu agamais bahkan ateis. Kesimpulan itu ia sampaikan dalam sebuah pertemuan di kantornya yang dibangun sejak tahun 1800-an.
Pandangan kedua tokoh ini menarik. Kesimpulan cepat saya mungkin karena orang yang tak agamais atau ateis sebetulnya tak terlalu mengenal dekat dan dalam agama atau pandangan mereka terhadap agama dibangun atas ketidaksukaan, setidaknya sangat kritis dan kecewa pada agama.
Bukan berarti masalah antarpemeluk agama tak terjadi. Dalam beberapa presentasinya, ia menyontohkan kasus Situbondo di pengujung kekuasaan Orde Baru. Gereja dibakar dan ketagangan antar kedua komunitas di sana menegang. Tapi, ia bersyukur ini tak berdampak luas dibluar Jawa.
Tapi, dari peristiwa semacam itu, kata Romo Magnis, justru mulai dibangun dialog dan komunikasi. Antara komunitas muslim dan Kristen saling mengunjungi. Dan salah satu penggagasnya adalah Gus Dur.
“Inilah pentingnya komunikasi, komunikasi, komunikasi”. Dengan saling belajar dan memahami, akan terbangun kepercayaan. Dalam hubungan mayoritas-minoritas, katanya, yang mayoritas melindungi dan menghormati minoritas, yang minoritas lebih peka terhadap mayoritas. []
Baca tulisan lain Catatan Denmark: Perjuangan Global Mengatasi Radikalisme
Kolom Alamsyah M. Dja’far lan, klik