Banyak masyarakat Muslim yang langsung terburu-buru emosional, menolak, marah, dan mengecam ketika mendengar dan dihadapkan pada istilah ‘homoseksualitas’, dengan anggapan-anggapan dan ketakutan-ketakutan besar yang menempatkan keragaman seksualitas sebagai ‘produk Barat’, musuh utama Islam yang harus dilawan.
Ketakutan yang berlebihan terhadap homoseksualitas (atau homofobia) ini sama mengerikannya dengan ketakutan berlebihan terhadap Muslim atau Islamofobia yang dialami masyarakat Muslim di Amerika, Eropa dan negara-negara lainnya seperti India. Padahal, propaganda yang tengah ‘mengintai’ umat Islam dunia justru datang dari homonasionalisme atau homokolonialisme, yang sengaja menguji dan meminggirkan umat Islam dalam peta modernitas dunia, sejak dua dekade belakangan.
Istilah homonasionalisme ditulis pertama kali oleh Jasbir Puar (2007) dalam Terrorist Assemblage: Homonationalism in Queer Times yang mengungkap strategi politik imperialisme Amerika Serikat untuk memperkuat propaganda anti-Islam di dunia Barat melalui upaya-upaya agresif yang menantang umat Islam dalam menyikapi keragaman gender dan seksualitas.
Tujuh tahun kemudian, Momin Rahman, seorang profesor Muslim Bangladesh di bidang sosiologi, menulis sebuah buku berjudul Homosexulities, Muslim Cultures, and Modernity (2014) yang melanjutkan catatan Puar. Ia menelurkan istilah ‘homocolonialism’ yang merupakan strategi global untuk meminggirkan dunia Muslim dan Arab melalui isu gender dan seksualitas. Momin Rahman sendiri adalah seorang gay Muslim yang melalui aktivisme dan kerja-kerja akademisinya melakukan kritik-kritik dan analisis yang tajam tentang framing Barat terhadap Islam.
Baik menurut Puar ataupun Rahman, homoseksualitas menjadi ‘marker’ politik yang dimainkan oleh Barat untuk meminggirkan masyarakat Muslim, juga negara-negara lain yang non-Barat. Artinya, semakin umat Muslim marah, menolak dan menindas kelompok minoritas gender dan seksualitas, atau sering disebut LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseskual, Transgender, Intersex, Queer), semakin Barat berhasil mendesak masyarakat Muslim ke pinggiran, lalu memudahkan labelling terhadap Islam sebagai agama dan masyarakat yang ‘terbelakang’, anti peradaban, dan tidak kompatibel dengan modernitas.
Dengan cara ini, Islamofobia semakin mudah dijalankan karena menemukan justifikasinya melalui ‘pancingan’ kemarahan, antipati, ketakutan berlebihan atau fobia, dan kebencian yang membabi buta masyarakat Muslim terhadap kelompok minoritas gender dan seksualitas atau LGBTIQ.
Strategi ini bisa dilihat misal dalam isu Israel-Palestina melalui upaya-upaya Israel dalam melakukan agenda-agenda pinkwashing, yakni strategi mempolitisasi isu LGBTIQ, mencitrakan diri seolah-olah demokratis dan civilized dalam menerima dan mendukung hak-hak LGBTIQ, sebagai cara untuk menutupi dan memanipulasi penindasan terhadap warga Palestina.
Seperti yang ditulis di kanal resmi Al-Qaws, sebuah kolektif Palestina untuk keragaman gender dan seksualitas, juga dalam buku Queer Palestine and The Empire of Critique yang ditulis Sa’ed Atshan (2020) yang mengingatkan publik tentang upaya kolonial Israel demi mencitrakan dirinya sebagai negara humanis yang ramah LGBTIQ, dan pada saat yang bersamaan mencitrakan Palestina sebagai negara yang menolak LGBTIQ. Dengan cara ini, Palestina akan dianggap ‘layak’ untuk ditindas, diasingkan, dipinggirkan, dan dijajah.
Padahal, hal-hak minoritas gender dan seksualitas tak sepenuhnya terjamin di dunia Barat. Citra bahwa dunia Barat adalah surga bagi LGBTIQ juga banyak dikritik karena superioritas dan supremasi kulit putih patriarkis yang lebih banyak mendominasi ruang-ruang aktivisme dan diskursus tentangnya, rasisme juga menjadi masalah pelik yang masih kerap terjadi di dalamnya. Bahkan baru-baru ini, dengan menguatnya populisme dan politik identitas di dunia Barat, hak-hak minoritas baik etnis, agama, gender, dan seksualitas juga semakin ditekan dan dipinggirkan.
Menemani yang Terasing
Lalu bagaimana Muslim mesti bersikap? Spektrum penafsiran dalam Islam sama beragamnya dengan spektrum ketubuhan. Individu-individu dan identitas-identitas keragaman gender dan seksualitas sesungguhnya sudah eksis sebelum istilah LGBTIQ muncul, dan bahkan telah menjadi perbincangan para fuqaha sejak ratusan tahun lamanya. Beberapa istilah fiqh telah dirumuskan, seperti mukhannaṡ, mutarajjilāt, dan khunṡā yang mencoba dipahami oleh para fuqaha untuk mengeksplor khazanah keragaman tubuh dan ketubuhan manusia. Artinya, fiqh klasik justru pernah sangat maju bahkan sebelum pengetahuan gender dan seksualitas dikembangkan di era modern.
Hari ini, berbagai fatwa kontemporer telah dikeluarkan dalam memahami kerumitan ketubuhan atau gender dan seksualitas ini. Sayangnya, pendekatan yang digunakan lebih banyak melalui kacamata klasik, dan belum mencakup ilmu-ilmu lain yang relevan yang hari ini terus dikembangkan, terutama pengetahuan tentang psikologi dan SOGIESC (orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, serta karakteristik seksual).
Padahal, dua pengetahuan ini dapat membantu kita melihat kerumitan gender dan seksualitas yang tak bisa secara gegabah gebyah uyah hanya dilihat melalui stigma perilaku menyimpang, penyuka sesama jenis dan sebagainya. Ada irisan-irisan rumit yang tak bisa didekati hanya melalui cara pandang yang ‘terburu-buru menghakimi’. Bahkan teks-teks suci pun tak bisa didekati melalui yang literal semata. Begitu pula manusia beserta keragamannya.
Untuk memahami kerumitan itu, salah satunya, kita perlu mempertanyakan kembali cara pandang dan mitos yang menempatkan identitas LGBTIQ sebagai ‘kaum yang diazab’. Ustad Arif Nuh Safri, seorang dosen Hadis dan Pemikiran Hadis di Institut Ilmu Al-Qur’an An-Nur, dalam bukunya berjudul Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas; Tafsir Kontekstual Islam (2020) menguraikan secara panjang lebar bahwa azab yang ditimpakan kepada kaum nabi Luth adalah dikarenakan adanya tradisi rasisme, penyamunan, serta eksploitasi seksual dan pelecehan yang dilakukan oleh kaum nabi Luth terhadap pendatang asing yang datang ke kampung mereka.
Artinya, yang dikutuk dan dikecam adalah perilaku pelecehan terhadap orang lain. Maka spirit kecaman yang diturunkan oleh Allah terhadap kaum Nabi Luth adalah pesan tegas melalui penolakan atas perilaku rasis atau anti-asing, perilaku pelecehan dan eksploitasi seksual, apapun orientasi seksual si pelaku maupun korban. Baik laki-laki, perempuan, hetero, gay, lesbian, transgender. Siapapun yang melakukan pelecehan, maka perilakunya bertentangan dengan misi Islam yang hakikatnya hadir untuk memberikan rahmat di muka bumi, kepada siapa saja yang diciptakan oleh-Nya.
Kalaupun tak sependapat dengan orientasi seksualnya, kita bisa tetap menghargai hak-hak kemanusiaannya. Hal ini sejalan dengan pesan Allah dalam Al-Quran (Al-Maidah: 108) wa lā yajrimannakum syana`ānu qaumin ‘alā allā ta’dilụ, i’dilụ, huwa aqrabu lit-taqwā: (Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa).
Keadilan dan perdamaian adalah inti keislaman. Ketika umat Muslim ‘diuji’ dan ‘dipancing’ untuk membenci, melakukan tindakan-tindakan tidak adil, dan meminggirkan identitas tertentu, maka di situlah umat Muslim mesti mengumpulkan reruntuhan keterasingan baik dari luar maupun dalam. Sebab Islam hadir dalam keterasingan, maka keterasingan itu sudah selaiknya menjadi ‘ruh’ yang menyala untuk menemani mereka yang juga sama-sama diasingkan oleh dunia.
Di tengah lingkaran kezaliman, kebencian, prasangka, keterasingan, dan stigma-stigma yang disebar untuk menakut-nakuti umat hari ini, umat Islam diuji tentang keistiqamahannya menjadi pelipur lara bagi yang dizalimi, menjadi pintu kemanusiaan bagi yang ditindas, menjadi cahaya salām: kedamaian, perdamaian, keadilan bagi siapa saja yang diasingkan. Hanya jika berhasil melewati ujian-ujian prasangka dan penindasan hari ini, umat Muslim dapat membuktikan janji-janji ke-Islam-annya yang mengentaskan kemanusiaan dari segala bentuk kezaliman. (AN)