Anak saya yang kedua, namanya Gara, semenjak dua bulanan ini berada di pondok pesantren Pandanaran, Jogja. Suatu hari, ia mengatakan sesuatu yang membuat saya tercenung. Jumat itu, saya menjenguknya. Saya menawarinya mau makan apa. Ia menjawab: “Apa saja, Yah, yang penting halal….”
Itulah kalimat yang membuat saya tercenung.
Apa yang dikatakan Gara tentulah baik sekali. Sebuah kemajuan ungkapan dibanding sebelum-sebelumnya. Kalimat “yang penting halal” memperlihatkan adanya bingkai spiritual baru dalam dirinya. Tentu, ini karena lingkungan pesantren membentuknya demikian.
Dua hari kemudian, hari Minggu, saya berjumpa Cak Mahfud Ihwan, novelis kenamaan pengarang Kambing dan Hujan dan Dawuk itu. Di antara obrolan dan candaan kami ialah betapa beruntungnya kami yang pernah mencecap dunia pesantren beserta kekentalan spiritualitasnya sejak masa kecil sehingga kemungkinan meruahnya euforia-euforia spiritual itu di usia dewasa “telah selesai” di masa lalu.
Ya, ini dia letak poin yang ingin saya dedahkan: euforia-euforia spiritual.
Orang yang baru berkenalan dengan semesta Islam di usia dewasa dan mendalaminya kemudian –yang hari ini populer dengan sebutan “hijrah”—di satu sisi bukanlah soal sama sekali. Itu bisa ditempatkan sebagai karuniaNya yang kebetulan datang di usia dewasa saja. Selesai.
Hanya memang, di sisi lain, yang menjadikannya acap tak sesederhana itu, bagaimanapun secara alamiah kita mengerti bahwa apa-apa yang baru cenderung menisbatkan euforia-euforia. Baru kenal dangdut koplo, maunya menyanyikan itu terus. Baru punya motor King, obrolannya tentang derum knalpot bombongan King terus.
Jika yang baru adalah keintimannya dengan Islam, yang denyut ruhnya adalah hati, dan hati merupakan sumber bagi pancaran pikiran dan perbuatan, maka dampak euforia-euforia itu menjadi tak sederhana dampak hobi baru terhadap motor King lagi.
Tentu, sepanjang euforia itu berdenyar dalam aktivitas personalnya, itu hak dia mutlak. Namun, dan inilah fakta dominannya, bila euforia spiritual ini melimpas ke ruang publik ekses-eksesnya, di sinilah letak krusialitasnya.
Ia menjadi krusial dikarenakan seyogianya semua insan memahami dengan jernih bahwa ruang publik tidaklah homogen. Kemajemukan ruang publik seyogianya selalu kita senkuyung dalam harmonis kolektif dengan selalu “menekan warna diri” sampai pada derajat yang aman dari risiko benturan dengan warna-warna individu lain yang juga mesti turut ditekan pula.
Ini khittah obyektif ruang publik: di mana subyek-subyek kedirian setiap kita yang majemuk –termasuk kaum euforia tadi—berlebur dalam satu ruang dan masa yang berkumulasi pada “obyektivitas”.
Saya ingin mengatakan begini. Ruang publik adalah ruang obyekvitas. Mau siapa pun Anda, dalam keadaan galau, patah hati, stres, depresi, bahagia, bangga, herois, kaya, miskin, hingga Anda sedang mengalami euforia spiritual karena baru saja hijrah, sebagai subyek individu, semuanya berkewajiban satu sama lain untuk meleburkan ruang-ruang subyektifnya. Leburan inilah yang dimaksud “ruang obyektivitas”. Jadi, ruang pubik adalah milik subyek-subyek yang telah mengobyektif.
Jika prinsip ini dilanggar, misal karena euforia baru mengenal ayat “ud’u ila sabili rabbika, ajaklah ke jalan Tuhanmu” dan ayat “aqimis shalat wa’mur bil makrufi wanha ‘anil munkari, dirikanlah shalat dan serulah dengan kemakrufan dan cegahlah dari kemungkaran” serta hadis “ballighu ‘anni walau ayat, sampaikan dariku walau satu ayat”, lalu Anda menguar-uarkan subyektivitas Anda ke ruang publik tanpa “mekekan warna diri”, terjadilah anomali yang bisa memantik ketegangan publik.
Ini terjadi akibat dilanggarnya ruang obyektivitas kolektif tadi, sehingga logislah bila membangkitkan warna-warna primordial para subyeknya, dan akhirnya ruang obyektivitas itu terkoyak menjadi ruang subyek-subyek lagi. Anda bisa nembayangkan: dalam suatu ruang, terdapat individu-individu yang berjubel gumul satu sama lain dengan hentakan subyek masing-masing. Betapa riuh dan tricky-nya….
Seyogianya, secara ideal, ihwal tatanan ruang obyektif tadi telah selesai di level nilai hidup saja karena sejatinya setiap individu cenderung berkehendak kepada hidup yang collective civilized. Semakin mengakar nilai hidup demikian, dengan sendirinya fatsun obyektivitas kolektif berbasis ngawruhke dan nguwongke antarsubyek itu akan semakin terjamin. Dan sebaliknya, semakin lemah fatsun itu, maka semakin rentan koyak-moyaklah ruang obyektif kolekif itu.
Hanya memang di dalam suatu masyarakat, kadang terjadi penyempalan oleh satu atau sejumlah individu dan untuk alasan menjaga tananan inilai negara hadir dengan piranti hukum dan alat kekuasannya. Penyempalan itu bisa beraneka picuan, dan di antara ialah euforia spiritual itu.
Pertanyaannya kini mengapa nilai-nilai spiritual yang mutlak searas dengan collective civilized itu kadang malah mencetuskan anomali? Atau, dalam konteks yang lebih tajam, mengapa hijrahnya seseorang dari dhulumati ilan nur kadang tak benar-benar mampu menjadikannya bercahaya dengan holistik antara spiritual dan sosialnya?
Kendati euforia adalah biangnya, ia tak pantas dibenarkan begitu saja. Justru sewajibnya setiap individu yang sedang mengalami “gelora hijrah” senantiasa berpegang teguh kepada “asas kesamaan” yang menyatukan semua individu subyektif di ruang publik, yakni as human being.
Mari di titik ini kita catat satu hal besar: bahwa keteguhan memegang nilai collective civilized akan sangat dipengaruhi oleh kualitas pengetahuan tiap individu. Semakin kekar kualitas pengetahuannya, niscaya semakin mampulah ia memajemeni dirinya sendiri di tengah euforia apa pun. Termasuk pengetahuan agama cum spiritual itu sendiri.
Untuk alasan inilah, seyogianya gelora euforia spiritual yang sedang dituai karena baru saja berhijrah mesti diendapkan terlabih dahulu dalam olah ilmu, kemudian olah rasa. Memperkaya ilmu tentu jauh lebih berharga ketimbang tergopoh untuk memanggil dirinya berkhutbah perihal amar makruf nahi mungkar, misal.
Kiranya di sini pulalah letak konteks dawuh Rasul Saw bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap mukmin dan mukminah; menuntut ilmu lebih afdhal daripada beribadah sebanyak-banyaknya –yakni, untuk menggembleng diri kita agar bisa makin kaya perspektif sehingga makin dekat dengan kebijaksanaan, termasuk dekat kepada collective civilized tadi.
Sekali lagi, Gara tidak salah dengan celetukan “yang penting halal” itu, sebagaimana pula Anda tak salah untuk berhijrah. Membanggakan perjalanan rohani itu pun bukanlah kesalahan.
Akan tetapi, logika ini sulit dibantah: bila keilmuan kita semakin mendalam, lalu rasa kita semakin nenep, niscaya ungkapan-ungkapan (dan tindakan-tindakan) selebratif euforia yang berbenturan dengan asas collective civilized begitu tak lagi akan dikuarkan untuk menandai identitas diri. Identitas-identitas artifisial akan semakin tenggelam dilumat kedalaman rohani itu sendiri.
Mari kita lebih jauh memahami dengan saksama, bahwa ada nilai hidup yang jauh lebih substantif dan hakiki dalam perjalanan rohani kita sebagai muslim dan mukmin, yakni kebijaksanaan. Cinta. Ia oleh al-Qur’an diistilahkan hikmah.
Berislam dengan cara terus mengidentifikasikan diri dalam selebarasi-selebrasi lahirah sungguh dikhawatikan hanya akan membuat kita kehilangan peluang untuk membijaksana. Menyublimasikan nilai-nilai rohaniah Islam dalam ucapan dan perbuatan jauh lebih adiluhung tentunya. Dan dari ruang sublimasi nilai-nilai bijaksana inilah akan memancar dukungan kepada collective civilized tadi.
Itulah sebabnya mengapa lantangnya pekik euforia selebratif dalam berspiritual (misal gemuruh takbir di jalanan) tak kita saksikan pada diri tokoh-tokoh besar Islam, para ulama, para sesepuh, para bijak bestari, tanpa perlu sedikit pun kita gatal untuk mempertanyakan kompetensi kesalehan ritual mereka.
Inilah kondisi rohani yang belum dijangkau oleh Islamnya Gara. Maklumlah, Gara barulah anak kecil usia 13 tahun kurang. Tentulah rohani Islamnya masihlah Islamnya kanak-kanak. Dan itu masih sangat bisa berkembang, berkembang, dan berkembang.
Tapi, bayangkan, bagaimana bila situasi sejenis Gara itu dialami oleh orang yang usianya telah di atas 40 tahun, seperti selebtisis cum influencer pula?