Islamisme: Malapetaka Jika Agama Digunakan untuk Kepentingan Politik

Islamisme: Malapetaka Jika Agama Digunakan untuk Kepentingan Politik

Islam dan politik selalu menarik menjadi perbincangan.

Islamisme: Malapetaka Jika Agama Digunakan untuk Kepentingan Politik
Pict by TheCounterJihadReport

Belakangan ini, di Indonesia sedang marak fenomena munculnya simbol-simbol Islam dalam ruang publik. Seperti yang kita ketahui bersama bahwasanya dalam fenomena munculnya simbol-simbol Islam dalam ruang publik tersebut juga diiringi dengan mencuatnya slogan tentang “NKRI Bersyari’ah”, maupun slogan-slogan lainnya yang intinya berkaitan dengan Islamisasi negara. Sebuah keinginan untuk menjadikan Islam sebagai landasan negara.

Berkaitan dengan fenomena tersebut, relevan untuk kita renungkan apa yang oleh Bassam Tibi (2016) sebut sebagai Islamisme. Menurutnya Islamisme merupakan “Islam sebagai politik keagamaan, yang menggunakan simbol agama untuk tujuan politik”. Apa yang dimaksud oleh Bassam Tibi terkait dengan Islamisme adalah Islam yang digunakan untuk tujuan politik. Atau secara lebih jelas lagi adalah menjual Islam untuk kepentingan politik.

Lebih lanjut, Bassam Tibi juga menjelaskan bahwa Islamisme berbeda dengan Islam. Menurutnya, Islam sebagai keyakinan itu berbeda dengan Islamisme, di mana Islam digunakan sebagai alat untuk meraih tujuan-tujuan politik. Oleh Bassam Tibi, yang terakhir ini tidak mempunyai rujukan historis dalam Islam.

Islamisme, Menjual Islam untuk Mendulang Simpati

Penting bagi kita semua untuk mencermati apa yang telah disampaikan oleh Bassam Tibi di atas. Bahwasanya antara Islam dengan Islamisme itu berbeda. Karena apa, belakangan ini kita sering mudah begitu saja mempercayai kampanye-kampanye yang menggunakan simbol Islam. Padahal, tujuan utama dari kampanye-kampanye tersebut adalah untuk tujuan-tujuan politik semata.

Islam, sebagaimana agama yang kita hayati dan kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari tak bisa dipungkiri sebagai bagian dari identitas kita. Akan tetapi, justru kesadaran bahwa Islam, agama yang kita hayati tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dan digunakan untuk tujuan-tujuan politik mereka.

Terlebih lagi kampanye-kampanye dengan menggunakan simbol agama untuk kepentingan politik tersebut terjadi dalam era media sosial. Di mana persebaran informasinya begitu cepat. Yang mana disaat bersamaan sulit bagi kita untuk melakukan verifikasi terhadap kebenaran dari isi yang tertuang dalam kampanye tersebut seperti apa. Kita cenderung menerima hal tersebut tanpa adanya sikap yang kritis. Kita cenderung percaya jika hal itu menggunakan agama, yaitu Islam sebagai bungkusnya.

Islamisme dan Diskriminasi

Kenapa kemudian penting bagi kita untuk membedakan Islam dengan Islamisme. Seperti yang kita ketahui bahwa Islam sendiri telah mendeklarasikan sebagai agama rahmatan lil alamin, rahmat untuk seluruh alam. Artinya, Islam sendiri sejak awal telah menegaskan sebagai agama untuk seluruh umat manusia. Islam memberikan kasih sayang untuk siapa saja, apapun sukunya, kebangsaannya, bahkan apapun agamnya. Islam memberikan jaminan akan kehidupan dan keselamatan bagi mereka semua.

Akan tetapi, justru Islamisme berbeda dengan semangat rahmatan lil alamin. Agenda politik Islamisme adalah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara atau bertujuan melakukan Islamisasi negara. Agenda politik mengislamkan negara oleh para Islamis secara otomatis bertentangan dengan Islam yang mendaku sebagai agama untuk seluruh alam.

Islamisasi negara sebagaimana yang dimaksud oleh kelompok Islamis adalah bentuk eksklusivisme tatanan politik. Mereka menghendaki ajaran Islam sebagai landasan sebuah negara. Padahal, baik di Indonesia sendiri maupun di dunia ini jumlah agama sangatlah banyak dan beragam. Artinya, kita memaksakan salah satu agama saja sebagai landasan konstitusi sebuah negara, maka secara otomatis akan melakukan diskriminasi terhadap pemeluk agama-agama yang lainnya.

Ketika sebuah negara berhasil diislamkan atau Islam yang notabene adalah salah satu agama di antara banyak agama menjadi dasar konstitusi sebuah negara, maka kemudian akan mempengaruhi terhadap turunan undang-undangnya. Jika sejak sumber hukumnya saja sudah diskriminatif, maka tak bisa kita bayangkan bagaimana turunan undang-undangnya.

Padahal, idelanya, dalam situasi masyarakat yang beragam, mempunyai etnis maupun agama yang berbeda-beda, seharusnya konstitusi negaranya mengakomodasi dari keberagaman tersebut. Dimana juga menjamin bahwa setiap pemeluk masing-masing agama mempunyai kebebasan untuk melangsungkan ibadahnya masing-masing.

Untuk konteks Indonesia sendiri, wacana yang menginginkan Islam sebagai landasan negara sebenarnya sebuah wacana yang tidak belajar dari sejarah. Dalam sejarah Indonesia, perdebatan terkait dengan Islam dan negara sudah selesai lebih dari 70 tahun yang lalu. Perdebatan itu terjadi pada Sidang BPUPKI pada tahun 1945 menjelang proklamasi kemerdekaan. Pada masa itu awalnya kelompok Islam bersikeras untuk menjadikan Islam sebagai landasan negara. Keinginan kelompok Islam tersebut ditentang oleh kelompok Nasionalis (Maarif, 2017).

Setelah terjadi perdebatan panjang hingga diperlukan membentuk “Panitia Sembian” untuk mendiskusikan pertentangan tersebut. Panitia Sembilan terdiri dari wakil-wakil kelompok Nasionalis, Islam dan Nasrani. Akhirnya terjadi kompromi bahwa Pancasila menjadi dasar negara. Di mana agama tidak menjadi landasan konstiusi negara, akan tetapi agama menjadi inspirasi dalam Pancasila.

Pancasila, yang pada saat itu akhirnya ditetapkan sebagai landasan sebuah negara yang akan merdeka, yaitu Indonesia, merupakan sebuah keputusan yang sangat tepat. Dalam konteks masyarakat yang beragam seperti Indonesia, sebuah konstitusi yang mampu menampung perbedaan ragam agama sangatlah dibutuhkan. Di mana dibutuhkan jaminan sebuah negara untuk semua pemeluk masing-masing agama dapat melaksanakan aktifitas ibadahnya secara tentram.

Hal ini berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh Islamisme. Di mana yang menjadi orientasi mereka adalah Islam sebagai landasan formal sebuah negara. Seperti yang banyak terjadi di Timur Tengah terjadi, setelah kelompok Islamis memenangkan kekuasaan politik dan melakukan perubahan konstitusi dengan Islam dijadikan konstitusinya yang baru. Malah terjadi pemberangusan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Semuanya diarahkan untuk seragam, yaitu Islam. Tentunya hal ini bertentangan dengan doktrin Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah rahmat untuk semesta alam. Tidak untuk satu golongan saja.

M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.