Islamisasi Politik di Pilpres 2019

Islamisasi Politik di Pilpres 2019

Islamisasi politik adalah salah satu bagian penting dari proses Islamisasi yang terus berlangsung di Indonesia sejak berabad-abad lamanya, termasuk di Pilpres 2019.

Islamisasi Politik di Pilpres 2019

Pemilihan umum (pemilu) 2019 yang terdiri dari pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden memunculkan fenomena politik Muslim yang sangat riuh dan gaduh. Isu-isu sektarian pasca Orde Baru mewarnai polarisasi politik populer yang menguat sejak pemilihan presiden tahun 2014.

Penyampaian aspirasi politik yang melibatkan massa dalam jumlah yang sangat besar dan dilakukan terus-menerus menjadi penanda politik elektoral yang mungkin paling panas dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Apakah ini pertanda bahwa Indonesia mengalami kemunduran dalam demokrasi, ataukah ini indikasi bahwa demokrasi di Indonesia sedang berkembang menuju terwujudnya konsolidasi demokratis (democratic consolidation)?

Politik Muslim

Politik Muslim kontemporer tidaklah bersifat monolitis dan statis; ia sangat beragam dan terus berkembang. Dalam Islam, agama sering kali menjadi determinan identitas politik, fokus loyalitas, dan sumber otoritas utama (Vatikiotis 1991: 36).

Islam sebagai agama berinteraksi dengan dan terbentuk oleh determinan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu, kita tidak pernah menyaksikan Islam yang homogen dan tidak berubah dalam relasinya dengan politik dan masyarakat (Ismail 2004: 163). Kondisi politik Muslim di banyak negara didominasi oleh gerakan-gerakan yang berupaya mentransformasi bentuk-bentuk dan kebijakan negara dan mempertanyakan legitimasi pemerintah yang berkuasa, partisipasi publik, serta akses ke pemerintahan. Bagaimana dengan Indonesia?

Islam Indonesia

Di Indonesia, Islam telah berperan besar dalam membentuk landasan dalam hubungan antara agama dan politik; antara negara dan masyarakat; antara konflik dan akomodasi; dan antara kesalehan, tradisi, dan kekerasan (Pribadi 2018).

Walaupun masih tetap tidak seperti negara-negara mayoritas Muslim di Timur Tengah, Afrika Utara, atau Asia Selatan yang seringkali meletakkan aspek-aspek politik ke dalam praktik keislaman sehari-hari—di mana Islam Indonesia masih tetap lebih kental diwarnai oleh aspek-aspek sosial-budaya—Islam Indonesia kini juga semakin ramai dipenetrasi oleh aspek-aspek politik, terutama ketika ia berkaitan dengan politik elektoral.

Secara umum Indonesia telah menunjukkan artikulasi politik Muslim dalam konteks politik yang otoriter sekaligus demokratis setelah 1998. Sejak berakhirnya era Orde Baru yang otoriter, Indonesia telah mengimplementasikan reformasi politik secara besar-besaran yang memungkinkan ia ditempatkan dalam jajaran negara-negara demokrasi yang sehat.

Bahkan, menurut Indonesianis seperti Robert Hefner dan Jacques Bertrand, partisipasi Muslim di Indonesia dalam dukungan terhadap demokrasi membuat mereka mampu memformulasikan argumen-argumen religius untuk mendukung pluralisme, demokrasi, serta hak-hak perempuan (Hefner 2005: 4; Bertrand 2010: 45).

Konsolidasi Demokratis?

Secara umum, keriuhan dan kegaduhan dalam hubungan antara Islam dan politik dalam pemilu 2019 adalah bukti nyata bahwa sebagai sebuah negara demokrasi baru (baru 21 tahun jika dihitung sejak 1998), Indonesia telah memunculkan proses demokratisasi yang cukup baik dalam mentransformasi Indonesia dari negara otoriter sentralistik menjadi negara demokrasi desentralistik.

Indonesia telah cukup berhasil menggabungkan proses desentralisasi dengan proses demokratisasi di mana pemilu yang berjalan damai, bebas, dan fair adalah salah satu indikatornya. Oleh karena itu, dibandingkan dengan masa Orde Baru, negara-bangsa Indonesia sekarang ini jauh lebih kuat dalam hal politik dalam negeri dan berhasil melalui ujian-ujian disintegrasi, terutama setelah ia kehilangan Timor Timur dan setelah terjadinya konflik kemanusiaan dan separatisme di Papua dan Aceh.

Walaupun Indonesia telah beberapa kali mengalami stagnasi demokrasi setelah Reformasi, dan bahkan dipertanyakan kualitas demokrasinya, seperti dalam aspek ketiadaan masyarakat madani yang mandiri, partisipasi publik, representasi, dan hak-hak kewargaan, ia dapat dikatakan telah berhasil menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dibandingkan masa Orde Baru.

Walaupun Indonesia telah diwarnai oleh serangkaian kekerasan etnis dan keagamaan, munculnya klientelisme dan korupsi yang merajalela, ia relatif telah berhasil merealisasikan mantra “mendekatkan pemerintah kepada masyarakat” dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki sarana dan prasarana publik setelah diberlakukannya desentralisasi.

Di era demokratisasi ini, warga mulai memiliki kesempatan untuk melihat bagaimana kebijakan negara harus mampu memberdayakan mereka dan bagaimana negara dapat berfungsi dengan baik dalam good governance.

Namun, secara umum, permasalahan kewargaan (citizenship) sebagai aspek sosial-politik negara belum banyak menyentuh warga sebagai sebuah subjek yang mandiri secara optimal.

Bahkan, secara umum, konsep hubungan warga dan negara sebagai sebuah ruang politik tempat pertemuan antara berbagai kepentingan pun belum banyak diatur secara formal oleh negara, apalagi diimplementasikan secara gamblang dalam kehidupan sosial-politik sehari-hari.

Selain itu, proses Islamisasi politik di daerah-daerah berbasis Muslim memang cukup umum, walaupun hal tersebut juga tidak lantas mengindikasikan secara langsung bahwa Indonesia mengalami kemunduran dalam proses demokratisasi.

Saya berpendapat bahwa Islamisasi politik adalah salah satu bagian penting dari proses Islamisasi yang terus berlangsung di Indonesia sejak berabad-abad lamanya. Terlihat jelasnya Islamisasi politik di banyak daerah, termasuk dalam pemilu 2019, dan juga dalam pilkada DKI Jakarta 2017, memang mengindikasikan bahwa ia telah meraih simpati dan dukungan publik yang lebih leluasa berekspresi sejak tahun 1998.

Saat ini, banyak kelompok Muslim yang secara sepintas terlihat lepas kendali dalam menyuarakan aspirasi keagamaan mereka yang kadangkala berkembang menjadi isu-isu yang dipolitisasi. Namun, secara umum, riak-riak politik dalam pemilu 2019 harus disyukuri sebagai suatu tanda positif bahwa Indonesia sedang berada dalam suasana demokrasi yang sesungguhnya di mana perbedaan pendapat dan dukungan adalah indikasi sehatnya suatu demokrasi.

Lebih jauh, dalam hal politik elektoral dan juga desentralisasi, Indonesia telah berhasil memperkuat landasannya ketika ia mendapat dukungan publik dalam desentralisasi; perbaikan skema pemilu; penguatan identitas lokal; dan sejumlah peraturan lokal yang menandakan sehatnya desentralisasi.

Beragam kondisi yang mewarnai perkembangan demokrasi di Indonesia sejak tahun 1998 tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia adalah sebuah negara demokrasi elektoral yang sehat. Namun, jika kita bertanya apakah ia sudah mencapai konsolidasi demokratis, nampaknya pertanyaan tersebut belum dapat dijawab hingga beberapa waktu ke depan, setidaknya hingga kita dapat menyaksikan produk-produk demokratisasi dan desentralisasi yang produktif, yang bukan hanya berbentuk pemilu yang rutin berlangsung.

Produk-produk tersebut antara lain adalah munculnya hak-hak kewargaan (citizenship), representasi yang berimbang dalam keterwakilan di ruang publik, dan partisipasi publik yang positif dalam mewarnai proses demokrasi di tingkat nasional dan lokal. Pemilu 2019 tentu saja harus menjadi barometer tumbuhnya konsolidasi demokratis di Indonesia karena posisinya yang sentral dan strategis dalam perkembangan demokrasi di Indonesia.

Wallahu A’lam.