Pada pembukaan ISRL (International Symposium of Religious Life) 2018 di Yogyakarta, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin menyampaikan bahwa agama dan budaya tak dapat dipisahkan. Pada lanskap yang plural, seperti Indonesia, budaya dan agama dapat berjalan beriringan secara harmonis. Hal tersebut adalah alasan mengapa sampai saat ini keutuhan bangsa dapat terjaga.
Berkenaan dengan agama dan budaya, kritik Menteri Agama kepada para akademisi adalah jangan hanya piawai membuat karya ilmiah belaka, namun juga harus memiliki sense of crisis. Sehingga para akademisi memiliki peran dalam pencegahan konflik di akar rumput. Menteri Agama benar, memang sudah seharusnya para akademisi tidak hanya bersembunyi di atas menara gading. Kaum cerdik pandai itu dituntut peka dengan kondisi terkini lalu meresponnya, tidak sekadar duduk manis di belakang meja.
Apa yang disampaikan Menteri Agama tersebut rupanya selaras dengan apa yang kami diskusikan di kelas Islam dan Budaya Jawa. Ketika itu kami sedang berdiskusi tentang Pribumisasi Islam dan Universalisme Islam. Antara agama dan budaya memang tidak perlu dibenturkan. Tidak pula saling mengalahkan. Jika dapat dibangun jembatan, untuk saling melihat titik temu dan persamaan, mengapa tidak?
Beragama sejatinya sederhana saja, yang rumit adalah kekanak-kanakkan pemeluknya. Dalam Islam misalnya, ada sesuatu “yang universal” dan ada “yang lokal”. Jika dua hal itu dipahami, kiranya ribut-ribut pertentangan antara agama dan budaya dapat berkurang. Karena memang “rumusnya” mudah belaka.
Sesuatu yang “universal” dalam Islam itu misalnya masjid. Di manapun tempatnya, masjid adalah sama, sama-sama temat untuk beribadah, khususnya salat (berjamaah). Sebagai tempat ibadah, masjid mestilah suci. Namun yang “lokal” dari masjid adalah arsitekturnya. Tidak aneh jika kita pergi ke Kudus, Demak, Solo, Jogja atau tempat-tempat lain akan mendapati arsitektur masjid yang khas. Sebab, memang tidak pernah ada kewajiban penyeragaman arsitektur masjid.
Contoh lain, menutup aurat bersifat “universal”. Semua muslim di seluruh dunia melakukannya. Cuma, perkara apakah aurat itu ditutup dengan batik, ulos, lurik, katun atau jenis kain yang lain adalah hal “lokal”.
Nabi tak pernah, katakanlah, mendeklarasikan jubah/gamis sebagai “pakaian orang Islam”. Sehingga kita bisa saksikan warna-warni ekspresi lokal kaum muslim dalam menutup aurat. Beragam bahan dan model pakaian tak jadi soal.
Jika mau, kita bisa memperpanjang contoh-contoh itu. Puasa adalah universal tapi kolak bersifat lokal. Idul fitri adalah universal namun ketupat lokal sifatnya, dst dst. Segala yang lokal bukan berarti bergerak tanpa batas. Selama tidak menyalahi landasan-landasan dasar agama, masih diperbolehkan.
Maka ketika ada sekelompok orang yang begitu ngotot ingin memisahkan agama dan budaya, saya tidak habis mengerti. Apakah mereka ingin memisahkan lebaran dan ketupat, ramadhan dan kolak? Apakah Islam Indonesia ingin mereka samakan 100 % dengan Islam di Arab?
Islam sangat adaptif dan elastis, akulturasi terjadi di mana-mana. Pemahaman ini, semoga saya salah, tampaknya sudah makin terkikis. Sehingga kasus pembubaran sedekah laut dan sejenisnya masih terus terjadi. Kini, pesan Menteri Agama, yang saya kutip di awal pararaf, perlu kita renungkan kembali.