Beberapa bulan lalu, saya menerbitkan buku berjudul Tuhan Maha Santai, Maka Selowlah…. dan jika Anda kenal saya atau berkesempatan membaca buku ringan tersebut, saya yakin Anda takkan pernah berkomentar kasar sejenis ini –yang benar-benar saya terima dari sosok entah di sosmed: “Ada di urutan keberapa asma Allah Maha Santai tersebut? Jaganlah main-main sama Allah, Dia adalah Tuhan, berani benar melecehkanNya….”
Karena saya telah memutuskan untuk tidak bersitegang, juga berdebat, dengan siapa pun via media sosial, saya jawab kalem komentar tersebut: “Ayo adu hafalan Asmaul Husna aja….” Tentu, sambil saya kasih emot tertawa.
Sekilas, pilihan judul buku tersebut, jika tidak dibaca dulu isinya, atau tergesa komentar, rawan mengesankan nyepelekan Tuhan. Na’udzubiLlah min dzalik. Insya Allah saya tak begitu.
Judul tersebut, sebagfai info saja, justru bersumber dari al-Qur’an, dan banyak ayat bertema sejenisnya. Di antaranya ialah surat Yunus ayat 99-100. Silakan Anda cek sendiri saja, ya.
Dalam ayat tersebut, Allah memperlihatkan diriNya sebagai Tuhan Maha Kuasa yang sengaja tak menjadikan semua manusia satu iman, apalagi satu amaliah, satu mazhab, satu organisasi. Begitu Dia menghendakinya. Jika Allah mau, tentu saja semua orang Indonesia sangat bisa untuk dijadikan NU semua atau Muhammadiyah semua. Apa yang musykil bagiNya?
Saya lalu mengambil pemahaman dari khazanah ayat tersebut betapa Allah yang bersikap “sesantai” itu kepada beriman-tidaknya manusia, setelah diberikanNya akal sehat, hari nurani, Rasul Saw, hingga kitab suci, dan segala tajalli sebagai “jalan hidayah”, seyogianya cukuplah menjadikan kita pun bisa bersikap santai kepada kemajemukan manusia –dalam paham, mazhab, amaliah, pun iman.
Lalu ketika ada kalangan muslim lain yang berbeda penggalian pemahaman dengan saya, sehingga misal dia bersikukuh dengan jalan amar ma’ruf nahi munkar yang terang, lugas, bahkan tegas, niscaya itu pun punya landasannya dalam al-Qur’an. Misal surat Luqman 17. Sebagaimana logis saya mendulang pemaknaan begitu tadi, logis pula liyan mendulang makna lain. Walau sama-sama membaca al-Qur’an yang sama, bahkan ayat yang bisa saja sama.
Nah, tepat pada posisi beginilah kita bagai berada di dua ujung. Anda bayangkan kini ada sebuah bambu panjang dengan dua ujung: ujung kanan dan kiri sama-sama ujung (pemahaman) dan berbeda (posisinya). Pada ujung kanan dan kiri itu sama-sama ada khazanah rujukan dalil, kebaikan pemahaman, pula potensi minusnya tentu saja. Sama belaka. Ini seyogianya mudah dipahami sebagai konsekuensi logis dan alamiah dari ketidaksamaan latar kita dalam memahami ayat al-Qur’an, posisi, dan konteks serta orientasi masing-masing.
Muslim yang berdiri di ujung kanan, sebut saja begitu, cenderung bersikap terang, lugas, dan bahkan tegas, berbeda karakter dengan muslim yang berdiri di ujung kiri, sebutlah begitu. Jika yang kanan dan kiri sama-sama bersiteguh dengan posisinya masing-masing, bagaimana mungkin kedua ujung itu bisa berjabat tangan, apalagi bersinergi –bukan menjadi satu? Tentu saja Mustahil
Ilustrasi tersebut –tentu Anda bisa membuat sampel masing-masing dengan tak terbatas—memperlihatkan musykilnya relasi korelasional-dialektis antara khazanah kanan dan khazanah kiri. Dan, tepat dalam cara demikianlah apa yang kita sebut Islam Radikal versus Islam Liberal terus gontok-gontokan, berdenyar terus-menerus.
Kalangan yang mengidentifikasi radikalisme Islam harus ditangkal dengan deradikalisasi, tentulah frame of knowledge yang dijedulkannya ialah hendak menarik ujung kanan ke ujung kiri. Begitupun sebaliknya, pihak kanan yang memandang pihak kiri sebagai liberal kebablasan mesti ditarik ke ujung kanan. Begitu terus karakternya. Walhasil, tak pernah ada titik temu atarkeduanya, sebab keduanya terus berdiri di ujung masing-masing sambil saling meneriaki.
Ada tawaran yang jauh lebih optimistik kini dalam khazanah kajian keislaman kita pada konteks kontestasi kanan-kiri tersebut, yakni ide wasathiyah, moderasi, keseimbangan. Wasathiyah bukan lagi berhasrat pada menarik dan memasukkan ujung kanan ke dalam ujung kiri, maupun sebaliknya. Apa yang disebut radikalisme tak lagi perlu dipandang sebagai “keluputan”, sebagaimana kekirian tak lagi perlu divonis sebagai “kesesatan”. Kedua ujung itu hendaknya dibiarkan berada di titik pijak masing-masing, hanya saja dalam bentuk korelasi-dialektis yang berkeseimbangan. Segala teriakan buruk mesti dihentikan.
Tentu, ini bukan kerjaan sederhana. Sebab ini terkait dengan mindset, konteks, latar, bahkan ideologi orang. Ini adalah sebuah wawasan kritis kini, wacana, epistemologi, yang tetulah secara metodis memerlukan langkah-langkah praktis, struktural dan kultural, yang lebih detail dan berkesinambungan, tentu pula humanistik.
Wasathiyah bukan pula memaksudkan untuk menggabungkan kedua ujung itu, bersikap tengah-tengahan menca-mencle, atau memoderasi kanan-kiri bagaikan angka tengah yang pasti, yakni 5 antara 1-10. Tidak begitu.
Wasathiyah adalah keseimbangan hidup, jalan hidup, dalam pelbagai aspeknya, pula dalam berislam. Bahwa di satu sisi seorang muslim mestilah kokoh tauhidnya, itu niscaya. Tetapi di detik yang sama, ekspresi keislaman seyogianya juga aware kepada khittah kemajemukan manusia dalam ragam konteks dan karakter serta kompetensinya. Ada Tuhan, ada manusia. Ada Maha Mutlak, ada maha nisbi. Ada khusyuk menekuk kepala, ada tawa ceria. Ada kepastian, ada kerelatifan. Ada nafsi-nafsi, ada kebersamaan. Dan seterusnya.
Prof. Quraish Shihab memberikan contoh ilsutrasi keren tentang paraktik wasathiyah ini, yakni sedekah. Untuk bisa bersedekah, Anda mesti mengeluarkan uang. Sikap ini adalah pemborosan. Itu satu ujung. Tapi jika Anda menyangkal penuh pemborosan sedekah ini, hasilnya Anda akan jatuh pada kekikiran. Ini ujung lainnya.
Sedekah lalu mengantarai keduanya dalam proporsi yang seimbang. Unsur keborosan untuk mengatasi kekikiran dan unsur kekikiran diatasi oleh keborosan. Titik seimbang kedua ujungnya inilah sedekah.
Maka diajarkan bahwa sedekah itu seyogianya dijalankan dengan seimbang, proporsional. Karenanya sedekah tak bisa distandarisasikan, digebyah-uyah. Boleh jadi seseorang bersedekah 100 juta sebagai titik seimbangnya antara kekikiran dan keborosan tadi, pun boleh jadi orang lain bersedekah 50 ribu sebagai titik seimbangnya.
Pada kasus radikalisme yang terekspresikan dalam wujud negasi kepada liyan, seyogianya ia didudukkan dalam korelasi-dialektis wasathiyah sejenis sedekah tadi. Bukan dinegasi –istilah populernya dideradikalisasi.
Korelasi-dilekatis, dalam konsep Hegel, memuat dua aspek, yakni “destruksi” dan “rasional”. Orang untuk berdialektika dari ujung ke ujung mesti “mendestruksi” dirinya, dan praktiknya niscaya ditakar secara rasional, sesuai dengan batas-batas ideologis yang diyakininya selama ini. Adanya gerak destruksi-rasional itulah yang akan membuka ruang kemungkinan bagi wasathiyah, bersambut-gayut dengan gerak destruksi-rasional dari ujung lainnya juga. Bagaikan orang berjabat tangan, kedua pihak saling menjulurkan tangan kanannya masing-masing hingga bertemu di satu titik. Inilah titik keseimbangan itu.
Titik keseimbangan ini tidak bisa dibakukan paten dan general. Tidak. Ia bersifat dinamis, kontekstual, dan bahkan mungkin personal. Sebab itulah suatu konsep relasi dalam suatu konteks tak bisa diderakan otomatis kepada konteks lainnya, seseorang di suatu ujung tidak bisa dipandang begitu saja secara otomatis dari ujung lainnya.
Sebagai sebuah wawasan, wacana, wasathiyah menjanjikan spirit saling pengenalan, saling pengertian, dan saling pemahaman. Sebuah khittah yang paling primordial bagi keberlangsungan kehidupan harmonis setiap kita. Niscaya semua kita secara asasiah mengidamkan spirit hidup demikian, bukan?
Saya kira wasathiyah bisa menjadi jalan strategis bagi semua kita kini, dengan tetap pada pijakan masing-masing, untuk bisa bersama-sama mereguk air bening Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’lam bish shawab.