Bagaimana Islam Wasathiyah bisa memberikan kontribusi di masyarakat di tengah wabah yang seperti tidak berhenti seperti saat ini. Tulisan ini coba mengulik perdebatan ini.
“Bagus sekali penyampaian-penyampaiannya, ini perlu ditulis dan dibukukan.” Dengan senyuman khas beliau yang selalu meneduhkan, Prof. Quraish memuji penyampaian Webinar tentang Wasatiyah oleh TGB Dr. Zainul Majdi (Ketua OIAA Cabang Indonesia) dan Bapak Lukman Hakim Saifuddin (Menag periode 2014-2019).
Apresiasi beliau atas pemaparan bukan tanpa alasan. Saya secara pribadi sangat sepakat bahwa pemaparan dari keduanya tentang tema Wasatiyah ini membawa banyak perspektif yang berbeda dari yang sudah saya dapatkan.
Kajian bulanan yang biasanya diselenggarakan KMQ (Kajian Membumikan al-Qur’an) di PSQ (Pusat Studi al-Qur’an), Ciputat, Tangerang Selatan ini akhirnya juga memanfaatkan Zoom pada 24/09/20. Tentunya dengan tujuan agar PSQ dapat terus menebarkan manfaat bagi semua masyarakat muslim meski di tengah pandemi. Diskusi via Zoom kali ini mengangkat tema tentang “Kontestasi Wasatiyah: Perebutan Makna dan Pembumiannya di Masyarakat”.
Mungkin sebagian dari kita sudah sering mendapatkan banyak pemahaman, informasi dan pemikiran tentang apa itu Wasatiyah. Akan tetapi, bukankah Tuhan sendiri mengingatkan bahwa ilmu yang Dia berikan kepada kita tidak lain hanyalah sedikit? (al-Isra’: 85). Untuk itulah dewasa dalam berislam—dengan cara terus belajar—menjadi sangat penting. Karena itu juga tulisan ini dihidangkan.
Pertanyaan tentang “Apakah Wasatiyah/moderasi dalam beragama itu sikap yang abu-abu, cari aman, relatif dan tidak tegas? Atau terkadang ia juga bisa “bermuka” tegas?” sempat muncul di antara jamaah Zoomers. Lalu, bagaimana agar sikap Wasatiyah ini, yang disinggung oleh al-Qur’an “Wakadzalika Ja’alnakum Ummatan Wasatan” bisa membumi di tengah masyarakat muslim? Untuk tulisan yang pertama ini, penulis akan tuangkan pandangan Pak Lukman terlebih dahulu.
Islam Wasathiyah Perspektif Lukman Hakim Saifuddin.
Sesi pertama langsung dimulai oleh Pak Lukmann, beliau coba menjawab pertanyaan yang ia ajukan sendiri. “Bagaimana parameter pemahaman yang tidak berlebihan atau ekstrim itu? Setidaknya ia menyebutkan empat hal:
Pertama, Ia harus selalu sesuai dengan nilai kemanusiaan. Kedua, tidak mudah menyalahkan terlebih mengkafirkan. Ketiga, ia mengandung keadilan dan keseimbangan. Keempat, tidak menggunakan agama sebagai alat untuk melanggar kesepakatan bersama (konsensus).
Dari sekian kriteria di atas, saya ingin mengomentari poin keempat. Memang, sikap ekstrim dan berlebihan seringkali menggunakan agama sebagai alat untuk melanggar kesepakatan bersama tadi. Sebagai contoh, dalam konteks Indonesia, para ulama’ dan pemimpin di negeri ini (setelah melalui berbagai macam proses dan perdebatan panjang tentang dasar negara) telah sepakat—kalaupun ada yang tidak sepakat jumlahnya hanyalah sedikit—bahwa Pancasilah adalah dasar negeri ini.
Menjadikan Pancasila sebagai kesepakatan bersama tentu tidak mudah. Ada pengorbanan yang disertai keringat dan kadang darah yang mengucur di dalam prosesnya. Nah, ketika di kemudian hari mayoritas ulama’ dan umara’ telah sepakat bahwa di negeri yang sangat plural ini pada akhirnya kok memandang bahwa Pancasila adalah landasan yang paling cocok untuk model Indonesia, maka kita tidak bisa misalnya ngotot ingin menjadikan Islam atau mendirikan Khilafah dengan dalil-dalil agama. Terlebih, menjadikan ayat “Wa man lam yakim bima anzalallahu faulaka humul kafirun” sebagai alat untuk dibenturkan dengan konsensus yang telah disepakati bersama demi kebaikan bangsa tentu tidak bijak. Inilah salah satu kriteria sikap Wasatiyah.
Adapun hal kedua yang disampaikan Pak Lukman adalah terkait pertanyaan utama, “Bagaimana caranya membumikan Wasatiyah di tengah masyarakat?” Terkait hal ini, ia memberikan beberapa poin penting di dalamnya:
Pertama, mendalami Islam adalah proses yang tiada akhir, maka jangan sampai merasa sudah benar dan final dalam keislamannya (siapapu kita.pen). Kedua, Tidak hanya memahami Islam dari kacamata fikih. Karena, pemahaman fikih yang seringkali “hitam-putih” membuat cara kita beragama menjadi kaku dan kering. Sesekali—lanjut pak Lukman—kita perlu mendekati Islam melalui ushul fikih (metode, dasar/alasan kenapa hukum fikih bisa muncul). Terlebih, penting juga bila kita mampu melihat Islam dari sisi Tasawuf agar kita mempu melihat keindahan Islam.
baca juga: Islam wasathiyah sebagai jalan keselamatan
Pembahasan lebih menarik lagi ketika memasuki sesi tanya jawab. Dalam sesi tanya jawab, Pak Lukman—hemat saya—memberikan banyak perspektif baru yang cukup komprehensif. Di antara pertayaan yang muncul dari para audience seperti, “Bagaimana batas toleransi dalam konteks Wasatiyah? Apakah Wasatiyah itu sikap keberagamaan yang abu-abu atau relatif? dll.”
Pertanyaan tentang “Bagaima batas toleransi” memang laik untuk dikaji, karena terkadang sebagian dari kita mempunyai semangat toleransi tinggi namun kebablasan. Dalam hubungannya dengan sikap Wasatiyah, tentu toleransi adalah suatu hal yang mesti dilakukan. Akan tetapi, menurut Pak Lukman ada poin penting yang perlu diperhatikan. Pertama, bahwa penghargaan atas yang berbeda (agama, pandangan, golongan, dll. pen) belum tentu pembenaran atau persetujuan atas perilaku mereka.
Kedua, mungkin—menurut saya—Ini penjabaran dari yang pertama, bahwa tidak boleh atas nama toleransi kita ikut ibadah mereka. Misalnya mengikuti kebaktian di Gereja dengan dalih toleransi. Karena dalam persoalan Tauhid (pengakuan bahwa Tuhan Esa) ini sudah melewati batas. Berbeda misalnya kita masuk gereja untuk bersih-bersih, atau acara lain. dsb.
Terkait dengan anggapan sebagian orang bahwa moderasi atau Wasatiyah itu sikap yang abu-abu, relatif atau bahkan cari aman, pak Lukman memberikan pandangannya. Baginya, moderasi adalah sebuah proses yang sangat dinamis (tidak saklek). Maka, cara kita berperilaku juga tergantung dengan dua kutub ekstrim itu sendiri. Baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Bila pada suatu saat sikap tegas dibutuhkan, maka tidak ada yang menghambatnya.
Mengomentari pendapat pak Lukman di atas, Wasatiyah hemat saya harus menyesuaikan bandul dua kutub ektrim di atas. Posisi Wasatiah salalu mencari titik tengah, meskipun tidak pas di tengah-tengah yang penting menjaga agar cara beragama umat Islam ini bisa proporsional.
Adapun pertanyaan pemungkas yakni terkait dengan “Siapa yang paling berhak menyandang gelar Wasatiyah?” Ia menjawab bahwa sebagai manusia, kita harus selalu rendah hati dalam berislam. Jadi tidak perlu kita (misalnya sebagi warga NU maupun MD sebagai mayoritas di Indonesia.pen) merasa paling Islam Wasathiyah. Penting juga merangkul dan mengajak dialog “tetangga” kita.