Dalam sebuah acara, mantan politisi partai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyinggung metode quick count sebagai sihir sains. Ia yang dulunya getol memperjuangkan khilafah ternyata mulai melirik demokrasi sebagai salah satu jalur perjuangannya. Namun mengapa ia menolak metode ilmiah yang sudah dilakukan sejak pemilu langsung pertama diselenggarakan pada tahun 2004? Apalagi hasil-hasil quick count dari tahun ke tahun selalu mendekati real count manual penyelenggara pemilu.
Lalu mengapa di tahun 2019 ini quick count dipermasalahkan dan bahkan dicibir oleh orang yang belum pernah mengenyam indahnya kehidupan berdemokrasi?
Ada beberapa asumsi yang bisa kita gunakan untuk melihat fenomena ini. Pertama, para pejuang HTI memang tidak pernah peduli terhadap sistem demokrasi yang dianggapnya kufur. Sehingga metode-metode hitung cepat dalam pemilu tidak pernah diketahuinya. Hasil pemilu 2004, 2009, dan 2014 yang terbukti tepat pun tidak pernah dipedulikannya.
Kedua, pada dasarnya mereka mengakui metode ilmiah ini. Namun karena hasilnya tidak sesuai dengan keinginannya, maka diciptakanlah narasi-narasi yang menentang ilmu pengetahuan itu dengan dalih kecurangan, bayaran, dan lain sebagainya. Masyarakat awam semestinya tidak perlu terkejut dengan pernyataan pejuang khilafah yang mendeligitimasi metode ilmiah. Lha, sistem demokrasi Pancasila yang sangat islami saja dianggap tidak sesuai dengan Islam? Sementara model khilafah yang mereka perjuangkan, yang sangat jauh dari ajaran bernegara ala Nabi, diperjuangkan sepenuh tenaga.
Ketiga, para pejuang khilafah tidak menemukan metode quick count dalam Al-Qur’an dan Hadis sehingga dianggap tidak sesuai ajaran Islam. Bukankah mereka terbiasa dengan doktrin semua diatur dalam Al-Qur’an dan Hadis? Meski pun asumsi ini hanyalah lelucon di kalangan masyarakat yang geram dengan maneuver politik eks-HTI, namun bisa jadi bagian sebagian di antara mereka memang berpikir demikian. Sebab metode quick count memang baru berusia satu abad.
Bagaimana Islam melihat metode ilmiah? Jika kita merujuk pada era keemasan Islam, yang menjadi pusat kemajuan bukanlah sistem khilafah yang selalu berubah-ubah setiap pergantian imperium. Era keemasan Islam ditandai dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dengan berbagai penemuan di bidang sains, teknologi, kedokteran, dan lain sebagainya. Sementara era kemunduran Islam ditandai dengan menjauhnya peradaban Islam dari ilmu pengetahuan. Umat Islam pada saat itu lebih mendahulukan perdebatan dalam bidang fikih (termasuk di dalamnya politik) dibanding memikirkan perkembangan sains yang pernah membawa ke era kejayaan.
Tidak mengherankan jika saat ini membicarakan sains selalu merujuk pada dunia Barat. Hal ini disebabkan bukan hanya karena minimnya ilmuwan muslim yang muncul di permukaan, tetapi kondisi internal umat muslim masih banyak yang mengabaikan metode sains yang sangat empiris. Bagi sebagian umat, Islam hanya mengajarkan hal-hal yang sakral, melangit, dan bersifat kewahyuan. Padahal fakta sejarah membuktikan bahwa Islam bisa mempertemukan hal-hal yang empiris dan supranatural.
Jika kesadaran sains masih jauh dari kehidupan umat Islam, akan sangat sulit membawa peradaban Islam ke titik gemilangnya. Khilafah sebagai sebuah sistem politik tidak mengajarkan umat Islam untuk maju dengan cara-cara yang kongkrit. Para pejuangnya hanya menawarkan ilusi imajinatif tanpa pernah menawarkan gagasan-gagasan kemajuan. Karena tidak memiliki gagasan, yang dilakukan adalah berusaha mendeligitimasi semua aspek yang dianggap mengganggu. Masalah kemiskinan disebut akibat dari demokrasi. Solusinya? Khilafah. Banjir disebabkan murka Allah SWT karena menerapkan sistem kufur. Solusinya? Khilafah. Apakah mereka akan mengatakan kemacetan lalu lintas di kota-kota besar, matinya ratusan hiu di laut Karimunjawa, serta hilangnya monyet-monyet dari hutan Kalimantan akibat sistem demokrasi dan menawarkan khilafah sebagai solusinya?
Bagaimana pun hasil pilpres seharusnya tidak disikapi secara berlebihan. Apalagi sampai menuduh lembaga-lembaga survei sebagai aktor kecurangan. Agaknya pihak-pihak, terutama politisi yang mengaku ustad, yang bersuara keras menuduh lembaga hitung cepat sebagai pelaku kecurangan harus dinasehati bahwa jika tuduhan mereka tidak benar, maka Islam menyebut perbuatan mereka sebagai fitnah.
Apakah mereka tidak pernah membaca Al-Qur’an yang menyebut dosa fitnah lebih besar dari pada pembunuhan? Karenanya, bersikap adil untuk menantikan hasil pilpres adalah pihak yang arif. Jika terbukti ada perilaku menyimpang, sistem demokrasi memberi peluang untuk menggugat. Agaknya pendidikan politik demokrasi harus diberikan kepada politisi eks-HTI yang mencoba bertarung di jalur konstitusi. Sebab selama menjadi bagian HTI, mereka didoktrin untuk tidak mematuhi sistem kufur.
Andai mereka insyaf dan mulai bersaing secara sehat, menjadi kewajiban kita untuk memberitahu dan menasehati bahwa konstitusi memiliki aturan main. Inilah kesepakatan kita sebagai masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah ajaran ulama dan warisan para pejuang yang mengorbankan jiwa dan raganya untuk memerdekakan bangsa ini. Wallahua’lam.